Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 #Mulai Manja
“Ma, buruan usir dia! Dia tidak waras, jangan sampai anakku tertular penyakitnya,” desak Balchia menimang tubuh beby Zee agar bayi itu berhenti merengek.
“Shiiittt… bayinya kenapa nggak bisa diam juga? Apa karena ada Ibunya di sini, dia mulai manja?” gerutu Balchia mengumpat dalam hati.
Mauren hendak bicara, tetapi Balchia lebih dulu membentak Sahira. “Suruh bayimu diam juga, bodoh! Jangan hanya diam saja! Dasar wanita sinting!” hardik Balchia membuat Mauren tak menduga akan melihat sisi lain Balcia yang kasar. Kemana menantunya yang anggun dan manis itu?
“Ci-Chia, kau tenang dulu, Nak. Mungkin kau salah orang. Mama rasa, Sahira bukan pasien rumah sakit jiwa. Dia masih normal,” belanya ingin mengambil beby Zee tapi secepatnya Balchia mundur.
“Sial, bagaimana aku harus membantahnya?” pikir Balchia bingung.
“Nyo-nya, saya memang pasien rumah sakit jiwa.”
Sudut bibir Balchia tertarik mendengar Sahira jujur, sementara Mauren mengerjap seolah tak percaya.
“Tapi saya tak pernah gila, Nyonya,” sambung Sahira sambil menghibur bayi girl-nya.
“Hahaha…” Balcia tertawa, sehingga Mauren segera merebut beby Zee. Balchia menunjuk ke arah Sahira dengan tatapan sengit.
“Namanya rumah sakit jiwa, orangnya sudah pasti gila! Kau jangan mengelak!”
Sahira mendekap bayinya, mundur selangkah ke belakang, ia takut Balchia menyakitinya.
“Tapi, Chia. Dari kemarin Mama melihat sendiri Sahira bisa bekerja dengan baik,” bela Mauren membuat Balcian mencebik.
“Mama, aku menantumu, bukan dia. Harusnya Mama dukung aku, bukan bela dia.” Pungkas Balchia pura-pura menangis, merasa tersakiti.
Seorang pembantu pun datang ke kamar beby Zee. Di saat itu juga, Mauren menyerahkan beby Zee ke pembantu itu untuk dibawa keluar agar beby Zee tenang. Lantas, bagaimana dengan bayi girl Sahira yang juga tak henti menangis?
“Ba-baiklah, saya akan pergi dari sini,” ucap Sahira sudah tak tahan lagi.
“Sahira, jangan pergi! Kalau kau pergi, siapa yang akan menyu-sui cucuku?” mohon Mauren mencegah Sahira.
“Ma, nggak usah tahan dia. Kita bisa cari Ibu Susu yang lain,” sungut Balchia.
“Tidak, Mama nggak mau. Sahira harus tetap di sini. Nak, jangan pergi dulu. Tunggu Zander pulang,” mohon Mauren sampai menitikkan air mata.
“Sekarang kembalilah ke kamarmu, tenangkan bayimu di sana.” Mauren kemudian menyuruh Sahira balik ke kamarnya sendiri. Namun tak semudah itu karena Balchia menghalangi pintu.
“Chia, buka jalan, Nak,” pinta Mauren.
“Ma, aku mau dia pergi dari rumah ini, bukan cuma keluar dari kamar ini,” timpal Balchia.
“Chia, bagaimana dia bisa keluar kalau kau berdiri di situ?”
Balchia pun menunjuk ke arah jendela. “Keluar lewat situ bisa kan, Ma?”
Mauren dan Sahira tersentak kaget. “Chia, ini lantai dua, tingginya lima meter, Nak. Sahira tidak mungkin bisa keluar dari sana. Sahira bisa terluka atau mati,” jelasnya.
Ya, itulah yang diinginkan. Ia ingin Sahira cepat-cepat mati agar masa depannya tak terancam. Balchia takut, Sahira merebut posisinya di keluarga Raymond.
Tapi Balchia tidak akan menyerah begitu saja, ia langsung menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai saat Raymond datang.
“Chia… ada apa denganmu?” tanya Raymond cemas melihat Balchia kesakitan.
Balchia pura-pura menjerit sambil menuduh ke arah Sahira. “Kakek, wanita itu baru saja mendorongku.”
Raymond menatap Sahira dengan geram.
“Kakek, harus usir dia! Wanita itu pasien dari rumah sakit jiwa. Penyakitnya bisa tertular ke beby Zee,” rengek Balchia.
“Ayah, Sahira tidak seperti itu. Bukan dia juga yang mendorong Chia. Mama lihat sendiri dia jatuh sendiri,” terang Mauren. “Dia…”
“MAUREN! CUKUP! JANGAN BELA WANITA GILA INI. SEKARANG KAU PERGI SEBELUM SAYA DENGAN KASAR MENYERETMU KE LUAR SANA!”
Raymond membentak habis-habisan Sahira yang ketakutan.
Sahira langsung berlari sebelum pertengkaran itu berdampak buruk pada bayinya. Mauren pun mengerang sejadi-jadinya di sebelah Raymond. Ayahnya setega itu mengusir Sahira sementara ada bayi yang membutuhkannya.
“Segera kejar wanita itu terus bereskan malam ini juga!” titah Balchia dalam panggilan rahasia ke anak buahnya.
Kini, Sahira tiba di jalan umum, ia berjalan kaki sambil memeluk bayinya. Lalu, ia berhenti sejenak. Ia bingung harus kemana setelah diusir tanpa sepeserpun uang. Apalagi ia pergi dengan perut kosong dan sinar matahari mulai terasa terik membakar kulit. Bayi girlnya pun menjerit dalam tangis, seakan bisa merasakan kesedihan hati Ibunya.
Tiba-tiba, mobil hitam menepi di depannya. Sahira mundur, berpikir itu dua pria yang dulu mengincarnya. Tapi dugaannya salah, orang yang menurunkan kaca mobil ternyata Hansel.
“Oh, mbak? Kenapa Mbak bisa sampai di sini?” Hansel bertanya, kemudian membuka pintu di sebelahnya sebelum mengajak Sahira masuk. Setelah duduk, Sahira terkesiap sesaat setelah mendengar Zander berdeham di belakangnya.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Zander dengan tenang. Dadanya bergetar kemudian begitu melihat sebelah pipi Sahira merah. Bos mafia itu mencondongkan wajahnya ke depan, menarik dagu Sahira cepat.
“Siapa yang sudah memukulmu?!”
Dalam hati, Hansel sedikit terkejut. Ini kali pertama, dia melihat ekspresi Zander yang biasanya tenang sekarang tampak menakutkan.
Sahira hendak membuka mulut, tapi tiba-tiba saja ada suara kecil memecah suasana. Bukan tangisan bayi, melainkan suara perut Sahira yang lapar.
“Maaf, apa saya boleh makan dulu?”
“Kau belum sarapan?” tanya Zander.
Sahira mengangguk cepat, kemudian Zander memerintahkan Hansel menuju ke restoran. Dalam hati, Sahira merasa lega tertolong oleh Zander.
“Tidak apa-apa, sayang. Kita sudah aman,” bisik Sahira dengan lembut menyapu air mata bayinya yang tertidur. Hatinya bagai teriris belati. Malaikat kecilnya yang tak bersalah harus mengalami deritanya juga.
“Andaikan Ayahmu tidak membuang kita, kau tidak akan hidup susah seperti ini, Nak.”
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀