**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. AKU ADA DI SINI UNTUKMU
Hujan belum juga mereda saat Nadra melangkah satu langkah lebih dekat ke Arven. Tanpa peringatan, tubuh kecil itu merangkul erat tubuh Arven, memeluknya dengan kekuatan yang lahir dari penyesalan, haru, dan rasa bersalah yang membuncah. Tubuhnya sedikit gemetar. Hujan membasahi rambutnya yang tergerai, dan wajahnya bersandar di dada Arven.
Arven diam, tangannya sempat terangkat, tapi tak langsung membalas pelukan itu. Ia tertegun, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang ia tahu hanya sementara. Matanya menatap kosong ke depan, lalu menunduk pelan, meresapi detik yang mungkin jadi satu-satunya kesempatan baginya merasakan dekatnya gadis yang ia cinta.
Beberapa karyawan yang belum pulang, termasuk Cynthia, ikut menoleh ke arah mereka. Sejenak, keheningan menyelimuti teras kafe. Semua hanya saling pandang, bisu, tapi mereka tahu, Arven dan Nadra memang dekat sejak lama. Pelukan itu mungkin bukan hal yang asing.
Tapi tidak dengan Cynthia. Matanya menusuk tajam ke arah mereka, rahangnya mengeras, bibirnya tertarik kaku menahan amarah. Di balik genangan air hujan, ada bara dalam hatinya yang nyaris membakar akal sehat.
"Aku sungguh minta maaf, Arven," bisik Nadra, suaranya lirih di dada pria itu. "Aku benar-benar tidak tahu tentang perasaanmu. Aku selalu berpikir kau hanya kasihan padaku, hanya ingin jadi seperti seorang kakak."
Ia menarik napas panjang. Tangannya masih menggenggam erat kain seragam Arven. "Maafkan aku, karena tak bisa membalas perasaanmu. Bukan karena kamu kurang, tapi karena hatiku telah lebih dulu jatuh pada seseorang yang bahkan aku sendiri tak mengerti alasannya. Dan kamu tahu, rasanya menyakitkan saat menyadari bahwa seseorang sebaik dirimu harus disakiti hanya karena aku tak bisa membalasnya."
Arven tersenyum tipis. Tangannya akhirnya bergerak, mengelus pelan puncak kepala Nadra, menyibak rambut lembap yang menempel di wajahnya. "Tidak apa-apa," ucap Arven tenang. "Sudah bisa berada di sampingmu, melindungimu, melihatmu tertawa, itu sudah cukup buatku. Aku hanya ingin kau bahagia, Nadra."
Dan di tengah kehangatan pelukan yang tak biasa itu, suara mobil memasuki lahan parkir kafe. Lampu depan mobil menyala terang, menciptakan bayangan panjang tubuh Nadra dan Arven yang masih berpelukan.
Dari balik kemudi, Agra mematikan mesin dan mengambil payung. Ia membuka pintu dengan tenang, lalu berdiri tegak di bawah hujan yang belum juga lelah mengguyur. Matanya tajam, namun tetap tenang, saat melihat Nadra dalam pelukan pria lain.
Para karyawan mulai berbisik. Ada yang mencolek teman di sebelahnya, ada yang mengeluarkan senyum kagum.
"Itu, itu Om ganteng yang suka jemput Nadra, kan?" bisik salah satu pekerja.
"Iya. Astaga, tinggi banget, dewasa banget," sahut yang lain sambil terpana. Semua seolah terpukau, kecuali Cynthia yang kini mengepalkan tangan di balik punggungnya.
Nadra pun menyadari kehadiran Agra. Dengan gugup, ia melepaskan pelukan dari Arven dan melangkah cepat ke arah pria dewasa itu. Ia berdiri di bawah payung yang dibuka Agra, menoleh ke belakang, lalu melambaikan tangan kecilnya ke arah Arven dengan senyum tulus namun penuh haru. Arven membalas lambaian itu dengan anggukan kecil.
Agra menatap Arven sesaat, kemudian menganggukkan kepalanya sopan. Suaranya dalam dan tenang, "Terima kasih sudah menemani Nadra."
Arven hanya tersenyum ringan. "Itu hal kecil," ujarnya. Lalu dengan suara yang lebih rendah, hampir tak terdengar oleh siapa pun selain Agra, ia berkata, "Jaga dia, untukku."
Agra diam sebentar, lalu mengangguk mantap. "Tentu." Tak ingin membuat Nadra terlalu lama di udara dingin, Agra membimbing gadis itu masuk ke dalam mobil.
Hujan mulai reda. Rintiknya tak lagi menggebu, hanya sisa gerimis yang jatuh perlahan membasahi aspal halaman kafe. Di tengah udara yang kini dingin menusuk, Arven masih berdiri di tempatnya. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di dahinya, namun ia tak peduli.
Sorot matanya tak lepas dari mobil hitam yang masih menyala di kejauhan. Di dalamnya, duduk gadis kecil yang ia sayangi, kini bersama pria lain. Mobil itu belum bergerak, namun lampu remnya menyala seperti tanda perpisahan yang terang-terangan.
Arven menatapnya dalam diam. Matanya kosong, tapi menyimpan bara. Tangannya yang berada di sisi tubuh perlahan mengepal. Ia mencoba menahan perasaan yang mengganjal di dadanya, perasaan yang tak pernah ia duga bisa tumbuh menjadi sebegini menyakitkan.
"Hanya butuh hitungan minggu untuk pria itu membuat Nadra merasa nyaman, sementara aku, aku yang telah menemaninya, mendengarkan keluhnya, menjaga dari jauh, ternyata tak cukup berarti."
Mobil itu mulai berjalan perlahan, menyusuri jalan keluar dari halaman kafe. Roda-rodanya meninggalkan bekas basah di aspal yang mengilap. Arven tetap berdiri di tempat, menatap tanpa mengedip, seolah tak ingin melewatkan detik terakhir kepergian Nadra dari pandangannya.
"Aku ingat," gumamnya pelan, nyaris seperti desahan tertelan angin. "Benar, aku pernah melihat pria itu. Di pemakaman kedua orang tua Nadra," pikir Arven. "Waktu itu, dia datang dalam diam. Mengenakan baju kemeja putih, berdiri tegak di antara kerumunan pelayat."
Itulah pertemuan pertama mereka. Saat itu Arven hanya menganggapnya sebagai salah satu kerabat Nadra. Tapi siapa sangka, pria itu kini mengambil tempat di hati gadis yang sejak awal ingin ia lindungi.
Di balik tiang beton teras, berdiri Cynthia. Ia menyandarkan tubuhnya diam-diam, seolah ingin menyatu dengan dinding agar tak terlihat. Namun pandangannya jelas tertuju pada Arven. Matanya tak berkedip, menatap punggung pria yang menunduk itu.
"Begitu bodohnya kau, Arven." Batin Cynthia. "Kau lebih memilih mencintai seorang gadis yang tak bisa membalas perasaanmu, daripada aku. Aku yang sudah lama mengagumimu dalam diam, memperhatikanmu, bahkan diam-diam menghapus air matamu dari jauh."
Hatinya mencelos. Sakit itu nyata. Terlebih ketika ia tahu, Arven tak pernah sekalipun melirik ke arahnya, bahkan ketika dirinya berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya saat ini.
Hujan kini benar-benar reda, hanya rintiknya yang tersisa, jatuh pelan di atas daun-daun, menetes di tepian atap, mengisi keheningan sore dengan suara yang lirih.
Satu per satu karyawan mulai bersiap pulang. Mereka mengenakan mantel hujan yang tipis, beberapa mengencangkan helm di kepala, lalu berlari kecil menuju motor atau mobil mereka yang terparkir di halaman kafe. Suara langkah tergesa dan deru mesin mulai terdengar, mengisi udara yang basah dan sejuk.
Namun di antara keramaian yang perlahan bubar, Cynthia masih berdiri diam di ambang pintu. Tubuhnya bersandar ringan pada kusen kayu. Pandangannya tak lepas dari punggung Arven yang kini berjalan menjauh, menyusuri sisi bangunan sambil mengenakan jaketnya yang basah. Tak sekali pun ia menoleh.
Cynthia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak di dadanya. Perih itu belum reda, tapi rasa cintanya lebih kuat dari itu. Hatinya tetap memandang pria itu dengan penuh kasih, walau tatapan itu kini menyakitkan bagi dirinya sendiri.
"Arven," bisiknya pelan, seperti angin yang lewat saja pun nyaris tak bisa mendengarnya. "Kau menyakitiku tadi," lanjutnya dalam hati. "Tapi aku tahu, bukan salahmu. Aku yang terlalu berharap." Matanya mulai memanas, tapi ia menolak air matanya jatuh. Ia ingin tetap terlihat kuat. Bahkan jika hanya untuk dirinya sendiri.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang penuh sesak. Pandangannya tetap tak berubah, lembut, tulus, dan berharap. "Aku tahu, Nadra mungkin ada di hatimu sekarang. Tapi, Arven," Cynthia menunduk sesaat, lalu menegakkan tubuhnya lagi dengan mantap. "Aku masih di sini. Jika suatu hari kau lelah menunggu yang tak berpaling padamu, lihatlah ke arahku. Aku akan tetap berdiri di tempat yang sama."
Arven, tak menyadari tatapan di belakangnya, telah menghilang di tikungan. Suaranya, keberadaannya, perlahan larut bersama rintik terakhir hujan.
...Bersambung.......