Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 - MENCARI JAWABAN TENTANG ZAINE (6)
Malam itu, Revan pulang dengan kepala penuh pikiran. Rencana Leonard terdengar masuk akal, tapi juga sangat berisiko. Jika Robert curiga, bukan cuma dia yang dalam bahaya, tapi juga Farel dan Emma.
Tapi ini satu-satunya cara untuk tetap selangkah di depan.
Keesokan harinya, di sekolah, Revan tetap berusaha bersikap biasa. Tapi saat istirahat, ia mendapat pesan dari nomor tak dikenal.
"Datang ke gudang tua di distrik selatan. Malam ini. Sendirian."
Jantung Revan berdegup kencang. Ia tahu persis siapa yang mengirim pesan ini.
Farel, yang duduk di sebelahnya, melirik ke layar ponselnya. "Siapa?"
Revan dengan cepat mengunci layar. "Nggak ada, cuma spam."
Farel menyipitkan mata curiga. "Lo yakin?"
"Yakin," jawab Revan cepat. "Ayo ke kantin."
Ia segera berdiri sebelum Farel bisa bertanya lebih lanjut.
...***...
Malamnya, Revan berdiri di depan gudang tua yang disebut dalam pesan. Tempat itu gelap dan sepi, hanya diterangi oleh lampu jalan yang redup.
Ia menarik napas dalam, lalu mendorong pintu kayu tua itu.
Di dalam, seseorang sudah menunggunya.
Robert Marvolo.
Duduk santai di kursi besi dengan rokok di tangan, pria itu tersenyum tipis begitu melihat Revan masuk.
"Revan," katanya dengan nada ramah yang terdengar mengancam. "Akhirnya kita bisa bicara langsung."
Revan menelan ludah, tapi ia tetap memasang wajah datar. "Lo mau apa?"
Robert menghirup rokoknya sebelum menjawab. "Gue mau kasih lo kesempatan. Kesempatan buat berdiri di sisi yang benar."
Revan mendengus. "Dan lo pikir sisi lo itu yang benar?"
Robert terkekeh pelan. "Revan, lo anak yang cerdas. Lo tahu sendiri gimana dunia ini bekerja. Kalau lo tetap melawan gue, lo bakal mati sia-sia. Tapi kalau lo kerja buat gue… lo bisa dapat jauh lebih banyak dari yang lo bayangin."
Revan menatap Robert tajam. Inilah saatnya memainkan perannya.
Ia berpura-pura berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kalau gue setuju… apa yang lo mau dari gue?"
Robert tersenyum lebar. "Pintar. Gue suka itu."
Ia lalu bersandar ke kursinya. "Gue cuma butuh lo buat kasih gue informasi. Orang-orang yang mencurigakan, pergerakan yang nggak biasa… dan terutama, kalau ada orang yang coba-coba ngejatuhin gue."
Revan berpura-pura berpikir keras.
"Dan kalau gue nolak?" tanyanya akhirnya.
Senyum Robert menghilang. "Maka orang-orang yang lo sayang bisa kena imbasnya."
Revan mengepalkan tangannya, tapi ia tetap memasang wajah tenang.
"Oke," katanya akhirnya. "Gue ikut lo."
Robert tersenyum puas. "Keputusan yang tepat."
Revan menatapnya, menyembunyikan rasa muaknya.
Permainan sudah dimulai. Sekarang, ia harus memastikan dirinya tidak kalah.
Malam itu, setelah keluar dari gudang, Revan langsung menghubungi Leonard.
"Gue udah masuk."
Tak butuh waktu lama sebelum balasan datang.
"Bagus. Tapi lo harus hati-hati. Mereka nggak akan percaya sama lo sepenuhnya sampai lo kasih sesuatu."
Revan menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini bukan sekadar menyusup, ini permainan bertahan hidup.
Di sekolah, Revan kembali berusaha bertingkah normal, tapi kali ini lebih sulit. Ada sesuatu yang berbeda—sebuah beban yang membuatnya terus waspada.
Saat jam istirahat, Farel datang dan menjatuhkan dirinya ke kursi di depan Revan.
"Lo makin aneh, Van," katanya sambil menatapnya curiga.
Revan meneguk minumnya. "Maksud lo?"
"Lo kayak… ada di dunia lain. Kayak pikiran lo nggak pernah ada di sini," ujar Farel, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Lo ada masalah?"
Revan ingin jujur, ingin cerita ke Farel. Tapi itu bukan pilihan.
"Serius, Far. Gue cuma lagi banyak mikir aja," katanya sambil berusaha tersenyum.
Farel masih menatapnya lekat, lalu mendesah. "Ya udah. Tapi jangan keterusan, oke?"
Revan mengangguk. "Iya."
Tapi dalam hati, ia tahu… ini baru permulaan.
...***...
Malam itu, Revan menerima pesan lain.
Revan membaca pesan itu berulang kali. Ini ujian. Robert ingin melihat apakah ia benar-benar bisa dipercaya.
Ia menghela napas, lalu membalas,
Tanpa membuang waktu, ia mengambil jaketnya dan keluar rumah.
Setibanya di bawah jembatan lama, ia melihat seseorang berdiri di sana, wajahnya tertutup tudung jaket.
Orang itu menyerahkan sebuah tas hitam kecil ke Revan tanpa sepatah kata pun.
Revan menerimanya, lalu melangkah pergi.
Tapi sebelum ia bisa jauh, suara familiar membuatnya terhenti.
"Revan?"
Ia menoleh cepat.
Riko berdiri beberapa meter darinya, wajahnya penuh kebingungan.
Revan merasakan jantungnya mencelos.
"Sialan..." kata hati Revan.
Malam terasa semakin dingin, tapi bukan karena cuaca—melainkan karena situasi yang tiba-tiba berubah jadi berbahaya.
Revan dan Riko saling bertatapan dalam keheningan. Riko jelas kebingungan, sementara Revan mencoba secepat mungkin mencari alasan yang masuk akal.
"Apa yang lo lakuin di sini?" tanya Riko dengan suara pelan, penuh curiga.
Revan menggenggam erat tas hitam di tangannya. "Harusnya gue yang nanya. Kenapa lo ada di sini?"
Riko melangkah lebih dekat. "Gue pulang dari markas kita sama Emma, lewat sini buat jalan pintas. Tapi kenapa lo ada di sini, tengah malam, bawa tas mencurigakan?"
Revan berusaha menenangkan napasnya. "Gue cuma—"
"Kalo lo bohong, gue bakal tahu, Van," potong Riko cepat.
Sial. Revan tahu Riko cukup pintar buat sadar ada yang nggak beres.
"Ini bukan urusan lo, Rik," ujar Revan akhirnya, berusaha terdengar setenang mungkin.
Tapi Riko malah semakin menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Bukan urusan gue? Lo serius? Lo temen gue, Revan, ya walaupun gue rivalnya Zaine. Dan sekarang lo jelas-jelas ngelakuin sesuatu yang mencurigakan!"
Revan menahan napas, otaknya berputar cepat. Jika Riko terlalu banyak tahu, Robert bisa menargetkannya.
Pilihan terbaik? Membuat Riko menjauh.
"Lo nggak perlu ikut campur," kata Revan dingin. "Pulang aja."
Riko mendengus, jelas frustrasi. "Gue nggak bakal pergi sampai lo jelasin semuanya!"
Langkah kaki terdengar di kejauhan. Revan langsung sadar—dia masih di wilayah pengawasan orang-orang Robert. Jika mereka melihat Riko terlalu dekat dengannya, itu bisa jadi masalah besar.
Tanpa berpikir panjang, Revan mencengkeram bahu Riko dan berbisik cepat, "Lo mau bantu gue? Pergi sekarang. Jangan biarin mereka tahu lo ada di sini."
Riko terdiam, matanya masih penuh pertanyaan.
"Rik, tolong," desak Revan. "Jangan bikin ini makin sulit."
Akhirnya, meski masih terlihat ragu, Riko menghela napas panjang. "Gue bakal biarin ini untuk sekarang. Tapi kita bakal ngomong nanti."
Revan mengangguk cepat. "Ya. Nanti."
Riko akhirnya berbalik dan berjalan menjauh.
Begitu dia menghilang di kejauhan, Revan mengeratkan genggamannya pada tas hitam itu dan melanjutkan langkahnya.
Satu hal yang pasti—ini semakin rumit
Revan berjalan cepat, memastikan tidak ada lagi yang mengawasinya selain orang-orang Robert. Ia menuju lokasi yang sudah ditentukan, sebuah gang sempit di belakang gudang tua.
Saat ia sampai, seorang pria berbadan besar dengan jaket kulit sudah menunggunya.
"Lo telat," gumam pria itu dengan suara berat.
Revan menyerahkan tas hitam itu tanpa komentar.
Pria itu menerimanya, lalu menatap Revan dengan tatapan tajam. "Lo nggak buka tas ini, kan?"
Revan menggeleng. "Gue bukan orang bodoh."
Pria itu tersenyum tipis. "Bagus. Lo lulus tes pertama."
Revan tetap diam, menunggu instruksi berikutnya.
"Robert bakal senang denger ini," lanjut pria itu sambil memasukkan tas ke dalam jaketnya. "Tapi dia masih butuh bukti lain kalau lo benar-benar bisa dipercaya."
Revan menahan napas. "Apa lagi?"
Pria itu menepuk bahunya keras. "Santai aja. Lo bakal tahu nanti."
Setelah itu, pria itu pergi, meninggalkan Revan sendirian di gang gelap.
...***...
Di rumah, Revan duduk di kasurnya, memikirkan kejadian malam ini.
Riko hampir mengetahui semuanya. Itu masalah besar.
Leonard harus tahu soal ini.
Ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan.
Tak butuh waktu lama sebelum balasan datang.
Revan memijat pelipisnya. Itu yang paling ia takuti.
Ia menaruh ponselnya dan menghela napas panjang.
Besok, ia harus cari cara buat menjauhkan Riko dan Emma —tanpa membuat mereka semakin curiga.
Tapi ada satu masalah lagi.
Robert belum selesai menguji kesetiaannya. Dan ia tidak tahu apa ujian berikutnya.
Tapi yang pasti, itu tidak akan mudah.