Ini tentang sebuah perselisihan dua puluh Tahun lalu antara Atmaja dan Biantara
Mereka berperang pertumpuhan darah pada saat itu. Atmaja kalah dengan Biantara, sehingga buat Atmaja tak terima dengan kekalahannya dan berjanji akan kembali membuat mereka hancur, sehancur-hancurnya
Hingga sampai pada waktunya, Atmaja berhasil meraih impiannya, berhasil membawa pergi cucu pertama Biantara yang mampu membuat mereka berantakan.
Lalu, bagaimana nasib bayi malang yang baru lahir dan tak bersalah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25 - Menantu terbaik
"Kenapa buburnya belum di makan juga?" tanya Kaivan saat buburnya masih utuh di atas nakas.
"Enggak lapar," jawab Aruna.
"Enggak lapar atau gengsi buat makannya?" tanya Kaivan dengan nada mengejek membuat Aruna mendengus kesal.
Kaivan mendekati sang istri yang bersandar di kepala ranjang. Ia mengenggam tangan istrinya.
"Saya senang kamu sudah sembuh dari sindrom peter pan ini, tapi saya juga sedih dengan perubahan kamu, Aruna. Saya suka sama Aruna yang manja sama saya."
"Berarti kamu mau terus aku seperti anak kecil? peter pan terus?" tanya Aruna sewot.
"Enggak, enggak gitu. Saya hanya kangen dengan Aruna gadis kecilku, tapi saya juga bahagia kamu bisa sembuh."
"Aku mau istirahat," ucap Aruna melepaskan genggaman Kaivan.
Kaivan masih setia berlutut di bawah ranjang, menatap punggung Aruna yang membelakanginya.
Aruna mengusap air matanya yang membasahi pipinya, sebenarnya dia ingin memeluk Kaivan, tetapi apa yang dikatakan Kaivan ada benarnya, dia sangat gengsi.
Ia juga berpikir, Kaivan hanya mencintai dirinya versi gadis peter pan. Bukan dirinya yang sekarang.
"Aruna, saya sangat mencintaimu," ucap Kaivan. "Tolong jangan seperti ini, kamu menyiksaku. Saya menunggumu sadar dua hari dari koma, saya ingin memelukmu."
Aruna yang sudah tak tahan, ia juga sangat merindukan suaminya. Akhirnya menyerah juga.
"Una juga kangen sama Ipan." Aruna turun dari ranjang lalu memeluk Kaivan.
Kaivan tersenyum, membalas pelukan istrinya tak kalah erat. Akhirnya, dia bisa merasakan pelukan ini lagi.
"Saya sangat merindukanmu, Aruna. Tolong tetaplah seperti ini, jangan diami saya lagi," pinta Aruna.
"Una minta maaf sama Ipan, kalau Una seminggu ini diamin Ipan, Una gengsi."
Kaivan hanya diam, menaroh wajahnya di leher Aruna.
"Udahan dong pelukannya, Una sesak."
Kaivan melepaskan pelukannya, menghapus air matanya.
"Tetap manja seperti ini kepadaku Aruna, saya lebih suka kamu begitu. Tapi untukku saja kamu begini."
"Una lihat Ipan gk senang kalau Una sembuh."
"Saya senang."
"Ipan enggak senang, Ipan hanya cinta Una gadis peter pan itu."
"Iya! Jujur saya enggak senang, saya mau Aruna yang manja kepadaku di mana pun itu berada. Yang selalu merengek untuk diikatkan rambutnya. Aruna yang banyak tingkah, selalu membuat saya pusing."
"Saya juga bakal kangen dengan Arunaku yang polos, yang tidak malu jika saya mandikan. Enggak kaya kemarin kamu malu pas saya bantu buat mandi."
"Itumah kamunya yang modus."
Kaivan terkekeh. Entahlah, dia bahagia tapi dia juga sedih, dia bakal kangen tingkah istrinya yang dulu.
"Tapi soal mencintai, saya mencintai kamu apapun versi kamu. Saya mencintai pemilik raga ini." Kaivan menaroh tangannya di dada Aruna.
"Sekarang kamu makan, ya!"
Kaivan mengambil bubur yang ada di nakas, ia panas ke dapur dulu sebelum istrinya makan.
Usai memanaskan bubur, Kaivan kembali ke kamar.
"Ayo buka mulutnya."
Aruna membuka mulutnya lebar-lebar.
"Enaknya masakan suaminya Una," puji Aruna membuat Kaivan tersipu malu.
"Una mau belajar masak sama mama deh, biar jadi istri yang baik."
"Kamu bersantai aja sudah menjadi istri yang baik. Buat apa saya mempekerjakan banyak pelayan kalau istriku yang harus memasak? No, kamu tidak boleh menyentuh peralatan dapur."
"Jangan manjain aku, kamu mau kan aku sembuh total? Kalau kamu terus perlaku-in aku kek anak kecil seperti sebelumnya, gimana aku sembuh?"
"Mau, tapi saya enggak mau istri saya lecet dan capek."
"Aku hanya belajar memasak ke mama, biar bisa masakin kamu. Hanya untuk kamu tidak membuat aku capek, Ipan."
"Setelah kejadian yang membuat kamu kritis sampai koma, saya sangat takut kamu kenapa-napa lagi."
"Makasih sudah sangat khawatir sama aku, Ipan. Makasih sudah membawaku pergi dari orang-orang jahat itu."
Kaivan menggeleng. "Sudah jangan di bahas tentang masalalu, saya tidak ingin membahas masalalu, nanti keadaan kamu drop lagi."
Usai menghabiskan buburnya, Aruna beristirahat. Tubunya belum fit, jadi masih butuh istirahat banyak.
Kaivan mengecup kening Aruna berulang kali, sedangkan sang empuh sudah berada di dalam mimpi.
Malam hari tiba, orang tua Kaivan berkunjung ke mansion untuk menjenguk sang menantu.
Pharita sangat senang mendengar Aruna sudah sembuh dari sindrom peter pannya. Namun, beberapa hari ini Aruna tidak ingin diajak jadi mereka belum sempat menemui Aruna setelah siuman.
Pharita menatap putranya bermaksud meminta persetujuan, apakah ia sudah bisa menemui menantunya.
Melihat Kaivan mengangguk. Pharita pun tersenyum bahagia, ia berjalan masuk ke dalam kamar.
"Mama bisa masuk?" tanya Pharita saat Aruna menoleh ke arah pintu.
"Boleh mama," jawab Aruna, berdiri dari tempatnya, dia sedang belajar.
"Maaf ya ganggu waktu belajar kamu."
"Enggak kok, mah."
"Mama boleh peluk?"
Aruna mengangguk. Mereka berpelukan satu sama lain.
"Mama baru bisa datang hari ini, kemarin-kemarin mama di larang Kaivan. Katanya keadaan kamu belum stabil, tidak ingin ketemu siapa pun."
"Maaf ya mama."
"Enggak apa-apa sayang, mama sangat senang sekali. Nanti kalau kamu sudah sembuh total, mama bisa ajak kemana aja, punya teman shoping deh."
"Una belajar dulu, mah. Biar nanti enggak malu-maluin mama kalau lagi jalan sama Una. Nanti mama dikira punya menantu bodoh, enggak bisa membaca, enggak bisa menulis."
"Bodoh ah tentang pikiran orang-orang, yang jelas menurut mama, mantu mama yang paling terbaik sedunia."