Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Janji
Mata Bayu membeku, terpaku pada satu benda kecil yang tampak sederhana namun menampar perasaannya dengan keras:
sebuah cincin perak, usang tapi terawat, masih melingkar di jari manis Ayla.
Di tempat yang sama. Tepat di tempat yang seharusnya.
Ia mengenali cincin itu seketika—tak mungkin lupa.
“Cincin ini… Ini cincin yang kuberikan dua puluh tiga tahun lalu. Di taman itu. Di tengah gerimis sore yang tak sempat kami pedulikan…”
Dadanya sesak.
Cincin itu adalah janji:
janji pria muda yang berani bermimpi menjadi pria yang pantas. Janji untuk kembali, untuk menggantinya suatu hari nanti… dengan berlian.
Dan kini, janji itu ternyata tak pernah benar-benar hilang—karena Ayla… masih memakainya.
Bayu membisu. Jantungnya berdegup tak karuan, matanya nyaris berembun. Ia tahu tak ada yang kebetulan hari ini. Tak ada yang benar-benar berakhir.
Tidak saat cincin itu masih di sana.
Tidak saat ia melihat bukti bahwa Ayla belum sepenuhnya melepaskannya.
Ayla menyadari arah pandangnya, dan seketika darahnya naik ke wajah. Panas.
Matanya membelalak kecil. Tangannya refleks mencoba menutupi cincin itu,
tapi sudah terlambat.
“Astaga… Aku lupa. Aku tak pernah melepas cincin ini… Bahkan setelah menolaknya. Bahkan setelah berulang kali mengusirnya dari hidupku…”
Malu. Terluka. Dan di saat yang sama, hati kecilnya bergetar hebat.
Cincin itu bertahan lebih lama dari semua penyangkalan.
Lebih setia dari semua mulut yang mengatakan “tidak.”
Dan kini, ia tak bisa berdalih lagi.
Bayu menghela napas panjang. Hening. Lalu tersenyum.
Bukan senyum ringan. Tapi senyum seorang pria yang hampir kehilangan segalanya—dan akhirnya tahu, ia tidak pernah benar-benar ditinggalkan. Hanya tertunda. Hanya diuji.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik, nyaris seperti mengucap doa yang sudah ia tunggu selama dua dekade.
“Meski terlambat… aku tetap menepati janjiku. Mengganti cincin ini dengan berlian.”
Dan untuk pertama kalinya—setelah dua puluh tahun lebih yang penuh luka, perpisahan, dan penyangkalan—ia menggantikan cincin itu.
Dengan gemetar, ia menyentuh tangan Ayla, membuka cincin perak itu dengan hati-hati, lalu menyematkan cincin baru di tempat yang sama. Di jari yang sama. Tapi kali ini, dengan ikatan yang sah. Dengan nama Tuhan terucap dalam akad mereka.
Mengukuhkan bukan hanya janji masa lalu, tapi juga masa depan yang kini tak ingin lagi mereka abaikan.
Ia lalu membungkuk pelan, mengecup kening Ayla.
Kening wanita yang dulu ia rindukan dari jauh, kini menjadi miliknya. Sepenuhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka—tanpa rasa bersalah, tanpa keraguan—Bayu mencium istrinya.
Ayla memejamkan mata, menahan air mata yang akhirnya jatuh tanpa bisa dicegah.
Bukan karena sedih.
Tapi karena ia tahu…
Cinta yang sejati, tak pernah benar-benar pergi.
Ia hanya menunggu waktu yang tepat…
Untuk pulang.
Setelah resmi menjadi pasangan suami istri secara agama, Bayu menggenggam tangan Ayla erat. Matanya menatap wajah perempuan yang kini sah menjadi istrinya, namun terasa masih begitu jauh.
"Kita pulang," ucap Bayu lembut. "Untuk sementara… tinggalah di apartemenku."
Ayla menunduk sesaat. Lalu, dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Aku akan kembali ke Swiss."
Bayu membeku. Tangannya masih menggenggam tangan Ayla, tapi hatinya seketika terasa kosong.
Sebelum Bayu sempat membuka mulut, Ayla melanjutkan cepat, seolah tak ingin emosinya membelokkan keputusannya.
"Kau belum resmi bercerai, Bay. Jadi… lebih baik kita tinggal terpisah. Jauh. Untuk sementara waktu."
Diam. Ruang seolah membatu sejenak. Bayu menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.
Ia tahu Ayla tidak salah. Ayla hanya menjaga batas, menjaga harga dirinya, menjaga agar cinta mereka tidak kembali dipandang hina.
"Baiklah," akhirnya Bayu menjawab. Suaranya berat, namun penuh penerimaan.
"Aku akan menjemputmu saat waktunya tiba. Saat aku sudah menyelesaikan semuanya."
Lalu ia melangkah satu langkah lebih dekat, menatap mata Ayla dalam-dalam.
"Tapi Laras…" suaranya merendah namun penuh ketegasan. "Jangan pernah berpikir untuk pergi dariku lagi. Jangan. Karena kali ini, aku tak akan membiarkanmu pergi."
Ayla menatapnya. Ada genangan air di sudut matanya. Tapi ia hanya mengangguk perlahan, tanpa kata. Mereka tahu, perjalanan mereka belum selesai—tapi setidaknya, mereka kini berjalan ke arah yang sama.
-----
Langkah-langkah sepatu terdengar menggema di lorong keberangkatan. Bayu berjalan di belakang Ayla, matanya tak lepas menatap punggung perempuan yang baru beberapa jam lalu ia panggil sebagai istri.
Bandara itu ramai. Tapi bagi Bayu dan Ayla, dunia seolah mengecil. Suara pengumuman keberangkatan, panggilan nama-nama penumpang, dan lalu lalang orang tak lagi terdengar jelas. Yang tertinggal hanya sunyi yang menyakitkan.
Mereka berhenti di depan gerbang imigrasi. Titik terakhir.
Ayla menyerahkan boarding pass pada petugas, lalu berbalik perlahan menatap Bayu.
"Jaga dirimu," katanya pelan, seolah kata-kata itu menahan sesuatu yang lebih dalam—keraguan, kecemasan, dan rasa bersalah.
Bayu menahan napas. Ia menggenggam tangan Ayla, erat, seakan tak ingin melepaskannya sama sekali.
"Aku akan menjemputmu. Tunggu aku."
Ayla menatapnya, matanya mulai basah. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya mengangguk.
"Akan kutunggu."
Bayu mengangguk pelan, lalu melangkah mendekat. Tanpa berkata apa-apa, ia menunduk dan mengecup kening Ayla—lama, penuh makna.
Kecupan itu bukan sekadar pamit. Tapi seolah ingin menenangkan luka, menegaskan rasa, dan menyimpan janji.
Namun saat hendak melepaskan, tubuhnya menolak.
Rasa tak rela membuncah, menuntunnya menarik Ayla ke dalam pelukan.
Mereka terdiam dalam dekap yang sunyi.
Tak ada kata.
Hanya detak jantung dan kehangatan yang saling menyampaikan pesan:
“Tunggu aku.”
“Jangan pergi lagi.”
Dalam pelukan itu, waktu seperti melambat.
Sejenak mereka lupa semua batas, semua luka, semua penyangkalan.
Hanya ada mereka—dua jiwa yang sempat terpisah, kini saling genggam dalam harapan yang belum benar-benar utuh, tapi juga tak sepenuhnya patah.
Saat Ayla mulai melangkah masuk, Bayu menahan tangan Ayla satu detik lebih lama.
"Kalau kau rindu…" suaranya serak. "Lihat cincin itu. Karena aku memakainya juga, dan tak 'kan melepaskannya."
Ayla menunduk. Bibirnya bergetar menahan tangis. Ia tak sanggup menjawab. Ia hanya berjalan menjauh, langkah demi langkah, hingga sosoknya menghilang di balik dinding kaca pembatas.
Bayu berdiri di sana cukup lama, menatap ke arah yang sama, bahkan setelah Ayla tak lagi terlihat.
Tak ada air mata yang jatuh dari matanya. Tapi dadanya terasa sesak—karena separuh jiwanya baru saja terbang menjauh.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar berdoa dalam diam.
"Tuhan, jagalah dia… sampai aku bisa menjemputnya, sebagai pria yang utuh, bukan hanya suami dalam diam."
Bayu melangkah keluar dari bandara dengan langkah mantap. Ia langsung menuju pesawat pribadinya. Langit London sudah menantinya, tapi pikirannya masih tertinggal di gerbang imigrasi tadi—pada sorot mata Ayla yang menyimpan luka dan harapan dalam satu tarikan napas.
Namun Bayu tak tahu, di sudut terminal bandara, sepasang mata tajam tengah mengawasinya.
Seorang pria berpakaian kasual dengan topi hitam menyembunyikan lensa panjang di balik jaketnya. Ia telah mengambil puluhan foto dari jarak jauh—mulai dari tatapan mesra, kecupan di kening, bahkan pelukan yang Bayu berikan pada Ayla sebelum berpisah.
Pria itu tersenyum tipis, puas, lalu menyimpan kameranya. Ia mengetik pesan singkat.
> Target berhasil terekam. Bukti cukup kuat untuk menghancurkan reputasinya. Mengirimkan sekarang.
Beberapa detik setelah Bayu menaiki pesawat, jauh di London, sebuah ponsel bergetar pelan. Notifikasi masuk.
Ellen duduk di ruang kerja pribadinya—ruangan rapi, minimalis, dan dingin. Persis seperti dirinya. Tak tergesa, ia meraih ponsel, mengusap layar, dan membuka pesan itu.
Satu per satu, foto-foto kebersamaan Bayu dan Ayla di bandara terpampang di hadapannya.
Ciuman di kening. Pelukan hangat. Tatapan yang hanya diberikan seorang pria pada wanita yang paling dicintainya.
Rahang Ellen mengeras. Giginya bergemeretak. Jemarinya mencengkeram ponsel begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
“Kau bahkan berani mencium dan memeluk mantanmu di tempat umum?” desisnya pelan, beracun.
“Selama dua dekade aku menjadi istri sahmu, Bayu… tak sekalipun kau memelukku seperti itu.”
Beberapa detik kemudian, sebuah senyum terangkat di sudut bibirnya. Bukan senyum lega. Tapi getir. Penuh bara.
"Jika aku tak bisa memiliki Bayu, maka tak satu wanita pun boleh memilikinya."
Tatapan Ellen mengeras. Penuh kebencian yang telah dipupuk bertahun-tahun.
"Kau akan lihat, Bay… bagaimana aku menghancurkan perempuan yang selama ini kau lindungi mati-matian."
Suara tawa meluncur dari bibirnya—rendah, nyaris seperti bisikan. Tapi penuh luka. Penuh obsesi.
Bukan tawa bahagia, tapi tawa seseorang yang baru saja menemukan celah untuk membalas dunia.
"Kau ingin bebas? Baik. Tapi aku pastikan, kebebasan itu tak akan pernah semanis yang kau bayangkan."
Ia bangkit perlahan. Menatap keluar jendela kaca yang mengarah ke kota London.
Langit mulai gelap. Awan menggantung berat. Hujan akan turun.
Dan Ellen tahu, itu bukan sekadar cuaca.
Perang ini baru dimulai.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa
Syailendra sekali ini saja, tunjukkan cinta & tanggung jawabmu pada kebahagiaan keturunanmu