Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. My Stupid Heart
“So how’s your feeling now?” Ghani duduk di belakang kemudi sambil menyeruput jus jeruk yang kami pesan tadi. Dia kemudian menatapku dengan salah satu alis terangkat tinggi di dahi. It means that he’s already know the answer. Pertanyaan basa basi khas Ghani.
“You know ....” Aku ragu-ragu, tidak tahu entah dari mana harus memulai.
“I know, Kay, I know. Lalu, sehabis itu gimana?” Dia mencondongkan tubuhnya padaku. Meski gesturnya terkesan ofensif, akan tetapi suaranya tetap saja lembut. Lagi pula, aku tidak yakin Ghani akan dengan sengaja menyinggung aku seperti itu. “Lalu habis itu gimana, apa, Kay? Gak bisakah kamu mengakui bahwa kamu memang masih kangen sama dia? Masih mikirin dia? Kenapa kamu gak bisa jujur sama diri kamu sendiri kalau kamu masih pengen sama dia? Hm?”
Ghani tidak bisa menjadi seseorang yang lebih baik lagi dari ini. Dia tahu betul bagaimana He knows exactly how bad the longing of someone’s presence could be. He’s been in it in this past few years. “Yes, Ghan. Kamu benar. Dan kamu tahu bahwa aku ... aku .... And I’m so afraid now.”
Ini pertama kalinya aku menangis setelah kembali dari liburan sempurnaku. Di depan Ghani, nonetheless. Di dalam mobil Honda CR-V putih metalik yang sedang terparkir di pinggir jalan tepi pantai. Setelah akhirnya melakukan traktiran makan malam yang pernah aku janjikan padanya saat video call bersama Genta beberapa waktu yang lalu.
Pertama kalinya setelah liburan sempurna yang ternyata tidak berkahir sesempurna yang kurencanakan pada awalnya.
Seketika itu muncul tangan yang jelas merupakan tangan Ghani di dalam pandanganku dan jelas pula aku segera menyambutnya. Genggaman tangan laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu membuat aku menjadi sedikit demi sedikit lebih tenang. Tidak ada yang lebih baik daripads mengetahui bahwa ada seseorang bersamamu di saat kau merasa sangat buruk.
Terima kasih banyak untuk tangan kiri dan kehangatan genggaman Ghani, akhirnya aku bisa menghapus air mata terakhir yang tak terasa telah mengaliri kedua pipi. Aku di kalakian membersihkan hidung dengan tisu dan menoleh pada sosok yang telah memegang sebuah arti yang begitu signifikan di hidupku hanya dalam kurun waktu hampir dua tahun itu sambil tersenyum. “Thank you so much, Ghan. Thank you so much for being here with me now. Terima kasih banyak karena kamu udah ada di saat aku butuh seseorang untuk mencurahkan apa yang aku rasakan di dalam hati ini.”
Ghani pun tersenyum. Dia kemudian memutar posisinya sedikit sehingga kini dia bisa menatap lurus padaku. “Anytime for you, Kay.” Diulurkan tangannya untuk mengelus pipiku dengan lembut. Semua yang dilakukan Ghani selama ini padaku selama ini selalu dikerjakannya dengan penuh kelembutan itu. “Tapi, apa aku boleh bilang sesuatu sama kamu?”
Senyumnya tetap terukir di wajah itu. Aku ikut mengubah posisiku agar kami bisa saling berhadapan. “Emangnya kamu mau bilang apa?” Tanganku masih hangat dalam genggamannya.
“There’s no need to be scared of anything between Alex and you, Kay. Nothing. But one thing for sure, God must have a great plan for both of you. Pertemuan kemarin mungkin bisa jadi tanda kalau masih ada urusan yang belum selesai di antara kalian. And no matter what, I will always be by your side.”
He’s the great Al Ghani Akbar and he is this great from the first time we met. Orang-orang yang melihat akan mengira kami adalah pasangan. We both know that we would be great together, but for now we’re nothing but best friends. Because there’s one and another business we can do nothing about.
****
Tanggal pernikahan Bang Rian dan Mimi sudah ditentukan. Persiapan di rumah juga sudah mulai dilakukan, yang berarti Mama sudah menghubungi kembali orang-orang yang sebelumnya pernah mengurusi acara pernikahan Bang Bian. Mimi juga mulai nyinyir mengajakku untuk menemaninya ke sana dan kemari. Libur semester ganjil baru saja dimulai, berarti ada rentang waktu empat sampai lima minggu untuk Mimi bisa bebas mendesakku mengikuti semua keinginannya. Kapan saja.
Kay, ayo temenin aku perawatan. Ayo, temenin nyari fotografer. Ayo, temenin nyari WO yang bagus. Blah blah blah. And all I can do is granting her wish like a good fairy godmother that I am not. Mending jadi ibu peri daripada dicerewetin Mimi dengan segala macam ke-“rempong”-annya.
Dan tentu saja yang menjadi tempat pelampiasan kepenatanku adalah Bang Bian, Ghani, dan tak terkecuali Bang Rian itu sendiri. Para Teletubbies yang lain akan selalu bilang, “iya, ngerti kok. kayra yang sabar ya, namanya juga mau nikahan. Pasti Mimi lagi grogi banget sekarang. Kayra udah baik mau temenin Mimi. Eh, iya, kan mau jadi adik ipar? Yang akur, yaa.”
Yang ada mereka malah ngeledek!
Bang Bian dan Bang Rian-lah yang paling mengerti adik mereka. Setelah hari panjang bersama Mimi, biasanya aku akan langsung menelepon Bang Bian yang sedang berada di kantor atau Bang Rian, kalau Bang Bian tidak bisa menjawab panggilanku dan dia sedang tidak berada di rumah. Aku akan menuangkan unek-unek yang ada di dalam kepalaku kepada mereka berdua yang selalu senantiasa mendengarkan. Pada sore harinya, Bang Bian akan mampir ke rumah bersama Uni Cya dan Genta dengan beberapa kantong makanan di tangan atau Bang Rian akan pulang lebih awal dari mana saja dia sebelumnya juga dengan berbagai oleh-oleh. Bahkan kemarin sebuah paket dari luar negeri sampai ke rumah. Paket internasional itu berisi Funko Pop Tees Vinyl - Captain America Marvel Avengers End Game t-shirt yang sudah kuincar selama ini.
Seketika saja aku bisa lupa pada hal-hal yang sudah terjadi di hari itu.
Sebenarnya aku tidak membenci Mimi karena akan menikah dengan Bang Rian, aku tidak akan pernah melakukan hal yang sangat picik seperti itu, hanya saja saat ini dia menjadi sedikit lebih cerewet. Lebih ribet. Lebih nyolot. Lebih menyebalkan. Ditambah dengan kondisi hati yang kembali tidak jelas, aku rasa aku hanya tidak siap untuk menerima semua itu sekaligus.
Iya, iya, aku mengerti. Para Teletubbies benar, mungkin Mimi sedang grogi sekali saat ini. Di satu sisi, dia bisa saja luar biasa bahagia karena rencana pernikahannya. Namun, di sisi yang lain, dia juga merasakan kecemasan yang berlebihan, gugup, dan entah apa lagi karena alasan yang sama. Apalagi dia memutuskan untuk mengurusnya sendiri. Papa dan mamanya hanya diminta untuk mengurusi para undangan nanti. Meskipun demikian, tetap saja, seberapa besar pun kekesalanku padanya hari itu, aku masih menyayangi Mimi yang sebentar lagi akan resmi menjadi salah satu anggota dari keluarga kami.
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️