Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#23
Happy Reading...
.
.
.
Pagi itu, sinar matahari menembus melalui celah jendela kamar yang baru saja dibuka oleh Naira. Ia berdiri di sana sambil memandangi ruangan kosong yang selama ini dibiarkan tertutup tanpa fungsi apa pun. Ruangan itu berada tepat di sebelah kamar Jingga dan semalam ia sudah meminta izin kepada Raka untuk menjadikannya kamar calon anak mereka meskipun nantinya saat ia lahir ia akan tetap tidur di kamar utama bersama mereka dan Jingga. Raka hanya menganggukkan kepalanya. Tetapi bagi Naira, itu sudah cukup untuk membuatnya bersemangat.
Karena itu, sejak pagi dirinya sibuk membersihkan setiap sudut kamar itu bahkan menolak bantuan dari bi Sumi. Sesekali ia menunduk sambil mengusap perutnya yang semakin menonjol lebih jelas, seolah ingin memberi tahu sang bayi bahwa ia sedang menyiapkan tempat istimewa untuknya.
“Sedikit lagi.” Gumamnya sambil mendorong sebuah meja kecil di pojok ruangan.
Meja kecil itu sedikit berdebu. Naira sedikit menunduk untu menarik laci dengan perlahan. Dan saat laci terlepas sepenuhnya, sedikit debu langsung beterbangan. Ia batuk pelan sambil menutup hidung. Tak lama kemudian pandangannya tertuju pada beberapa benda di dalam laci tersebut. Ada sebuah buku kecil dengan sampul hitam, beberapa foto yang sedikit memudar, dan beberapa lembar kertas yang tampak seperti hasil pemeriksaan kesehatan.
Awalnya Naira tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia mengira mungkin barang-barang itu adalah milik dari pemilik sebelumnya atau mungkin hanya barang-barang lama yang terselip. Namun saat ia mengambil lembaran pemeriksaan itu, hatinya berdebar aneh. Di pojok kanan atas, tercetak jelas namanya. Nayla...
Naira mengerutkan alisnya. Ia membalik lembaran lain, lagi- lagi nama Nayla, bahkan lengkap dengan tanggal pemeriksaan yang tidak ia ingat kapan melakukannya.
“Apa... ini?” bisiknya lirih.
Tangan Naira kemudian mengambil buku hitam itu. Sebuah buku harian. Tidak ada nama di sampulnya, tetapi saat ia membuka halaman pertama, ia langsung terpaku. Tulisan tangan itu terasa familiar, namun bukan miliknya.
"Hari ini aku kembali mengintip ke dalam kamarnya.. Aku melihat Naira menangis diam-diam. Dia tidak tahu bahwa aku selalu memperhatikannya."
Halaman berikutnya berisi catatan lain yang membuat tenggorokan Naira terasa tercekat.
"Aku berharap dia tidak perlu merasakan apa yang aku rasakan.. Jika aku bisa melindunginya...maka aku akan melakukan apa saja untuknya."
Naira menelan ludah. Ia berusaha tetap tenang, tetapi tangan yang memegang buku itu mulai gemetar. Ia membalik satu halaman lagi.
"Aku dibuang.. Hanya karna aku tidak bisa hidup normal seperti Naira.. aku penyakitan..."
Naira langsung menutup buku harian itu dengan cepat. Nafasnya naik turun, dada terasa sesak dan pikirannya langsung dipenuhi ribuan tanda tanya yang saling bertabrakan.
“Apa maksud dari semua ini...?” gumamnya pada dirinya sendiri. Suaranya bergetar.
Namun ia tak punya waktu untuk merangkai lebih banyak pertanyaan, karena tiba-tiba saja rasa sakit menyambar di kepalanya. Ia meringis sambil memegangi pelipisnya.
“Akkhh...” Naira semakin kesakitan, seperti ada palu yang memukul dari dalam. Naira terhuyung ke belakang dan duduk di lantai. Nafasnya memburu. Ia menutup kedua telinganya, tetapi suara-suara itu tetap terdengar. Suara tawa, suara langkah kecil berlari dan suara seorang anak perempuan.
“Lihat, aku duluan! Nayla, cepat!” ujar suara anak perempuan itu.
Suara itu terdengar ceria, penuh kebahagiaan. Namun beberapa detik kemudian suara tawa itu berubah menjadi tangis histeris. Seorang anak perempuan menangis keras sambil berteriak. Berulang-ulang memanggil satu nama.
“Nayla! Naylaaa!!”
Naira menggeleng. Ia menekan lebih kuat kedua sisi kepalanya.
“Berhenti.. Hentika.. ” bisiknya lirih, tetapi suara-suara itu terngiang- ngiang.
Adegan dalam kepalanya beralih begitu cepat, seperti potongan adegan dalam film. Ia melihat sepasang anak perempuan kembar. Mereka berdua kembar identik hanya berbeda pita di rambutnya saja. Salah satunya tersenyum ceria, sementara yang satunya lagi tampak lebih pendiam namun selalu mengikuti saudaranya ke mana pun saudaranya itu pergi.
Kemudian adegan itu berubah lagi.
Ia melihat dirinya sendiri, lebih muda mungkin masih berusia belasan tahun. Ia duduk di bawah lampu yang temaram sambil memegang sebuah buku. Di seberangnya, seorang pria dengan wajah tegas berdiri sambil menatap tajam.
“Kamu harus bisa. Tidak ada alasan. Lakukan seperti yang Papa katakan.”
Naira kecil menggigit bibirnya. Tangannya bergetar, tetapi ia tetap melakukannya.
Sementara itu, seorang wanita berdiri di pintu. Tanpa ekspresi. Tanpa suara. Tanpa ada niatan untuk menghentikan apa yang di lakukan lelaki itu.
“Mama...” Panggil Naira lirih, suaranya bergetar saat kenangan itu mulai menghilang perlahan.
Air mata mengalir dengan sendirinya. Rasa sakit di kepalanya perlahan mereda, tetapi hatinya justru berdenyut lebih sakit.
“Ada apa sebenarnya.. ?” bisiknya lirih sambil menangis terisak.
Naira memeluk lututnya sambil duduk di lantai yang dingin. Ingatan itu berhenti begitu saja, tetapi meninggalkan lubang besar di dadanya. Sebuah lubang yang berisi kebenaran yang sepertinya selama ini terkubur dalam-dalam.
Ia menatap kembali buku harian di lantai.
“Nayla.. siapa sebenarnya dia?”
Rasa takut perlahan mulai merasuki hatinya. Ketakutan bahwa seluruh hidup yang ia jalani sekarang bukan hidupnya.
.
.
.
Sudah dua minggu berlalu sejak hari itu. Sejak hari ketika Naira menemukan buku harian yang seharusnya tidak pernah ia lihat, lembaran-lembaran foto serta dokumen yang membuat pikirannya berputar tak karuan. Setelah menutup buku itu dan menyimpannya jauh ke dalam lemari pakaiannya, hidupnya tidak lagi sama. Begitu juga sikapnya terhadap Raka.
Perubahan itu memang tidak besar, tetapi cukup terasa. Ia masih berbicara kepada Raka, masih menjalankan perannya sebagai seorang istri, tetapi ada jarak samar di antara mereka. Jarak yang tidak begitu jauh untuk membuat Raka merasakannya, tetapi cukup untuk membuat tubuhnya menegang setiap kali menatap wajah lelaki itu.
Dan tanpa Raka ketahui, ingatan-ingatan Naira mulai kembali perlahan. Tidak semuanya, tetapi sepotong demi sepotong seperti puzzle yang mulai menemukan bentuknya. Kadang hanya sekilas suara. Kadang hanya visual yang muncul sekejap. Namun itu cukup untuk membuat dadanya terasa sesak setiap kali mengingat nama itu... Nayla.
Meski begitu, Naira tetap melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Pagi itu, seperti biasa ia menyiapkan pakaian kerja Raka. Kemeja putih yang sudah disetrika rapi, lengkap dengan dasi biru yang Raka sukai. Ia juga menyiapkan air hangat di kamar mandi, memastikan semuanya siap sebelum Raka keluar dari ruang kerja kecil yang ia gunakan setiap pagi.
“Nai... ?”
Suara itu membuatnya tersentak. Raka berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan dahi berkerut. Naira memegang dadanya pelan, mencoba untuk menetralkan detak jantungnya.
Raka melangkahkan kakinya mendekat. “Kamu kenapa?” ulangnya, kali ini lebih lembut. “Beberapa hari ini kamu terlihat berbeda. Apa terjadi sesuatu? Atau... ada yang sakit?”
Nada khawatir itu membuat jantung Naira berdetak tidak karuan. Ia menatap wajah Raka lama, tanpa berkata apa pun. Dan di saat itulah ia merasa benar-benar bingung. Jika benar apa yang ia baca di buku harian itu bahwa Raka menyimpan niat balas dendam padanya, pada keluarganya tapi mengapa lelaki ini terlihat begitu peduli? Mengapa sikapnya tidak sejalan dengan isi buku itu?
Naira tidak mampu menyembunyikan ekspresi bingungnya. Ia bahkan tidak sadar menatap Raka terlalu lama sampai lelaki itu memanggilnya lagi.
“Nai…”
Suara itu lembut, seperti biasa. Seakan sudah menjadi kebiasaan bagi Raka untuk memanggilnya demikian.
Naira mengedip beberapa kali, berusaha kembali fokus.
“Kamu kenapa?” tanya Raka lagi, kali ini lebih pelan dan disertai usapan lembut di pipi Naira. Sentuhan itu membuat tubuh Naira menegang sejenak. Bukan karena takut, tetapi karena hatinya terasa campur aduk antara harapan dan keraguan.
Beberapa detik kemudian, Naira tersenyum tipis. Senyum yang ia paksa agar terlihat seperti biasanya.
“Aku tidak apa-apa.” Jawabnya lirih. “Mungkin hanya sedikit stres karena sudah mendekati waktunya melahirkan.”
Raka menarik napas lega, tetapi matanya tetap memandang Naira seakan ingin memastikan kebenaran ucapannya. “Kalau ada apa-apa, bilang ya. Jangan dipendam sendiri.”
Naira kembali mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Iya.”
Namun dalam hati, ia tahu semuanya tidak baik-baik saja. Ia masih menyimpan buku harian itu dan nahkan setiap malam ia memikirkannya. Ia masih bertanya-tanya apakah Raka benar-benar suami yang mencintainya atau seseorang yang sedang memainkan peran yang bukan dirinya. Dan ia masih belum berani menanyakan kebenaran itu secara langsung.
Tapi untuk sekarang, ia memilih diam. Membiarkan semuanya berjalan sambil menunggu ingatannya kembali sepenuhnya.
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK...