Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jelita Pergi
Malam itu, Rian resah di kamarnya. Lampu sudah ia redupkan, namun rasa gelisah tak ikut meredup. Sudah dua hari ia tidak bertemu dengan Jelita. Dua hari yang terasa seperti berminggu-minggu.
Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor kelurahan, ia selalu menyempatkan diri melewati depan rumah Kakek Doni. Bahkan ia sengaja memperlambat laju motornya, berharap bisa sekadar melihat bayangan Jelita di teras, atau mendengar suara motor yang sedang dinyalakan. Tapi harapan itu selalu berakhir sia-sia.
Dua hari ia lewat.
Dua hari pula ia tak melihat apa-apa.
Ia tak tahu apakah Jelita sudah berangkat bekerja lebih awal, atau justru dirinya yang terlalu cepat. Yang jelas, setiap kegagalan untuk melihat gadis itu membuat dadanya semakin sesak.
Rian tak pernah lagi menginjakkan kakinya ke rumah itu, untuk menumpang sarapan atau makan malam seperti yang biasa ia lakukan kemarin. Tidak… ia merasa belum sanggup. Inginnya ia berbicara terlebih dahulu dengan Jelita, meminta maaf secara pribadi karena gosip kemarin yang menarik-narik nama gadis itu.
Rian bersandar pada sandaran tempat tidur, memijat pelipisnya yang pegal. Rindu yang menumpuk rasanya seperti beban besar yang menekan dadanya.
“Orang lain kok kayaknya gampang banget ya urusan kayak gini,” gumamnya lirih. “Kenapa aku susah banget…”
Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menghela napas panjang dan berat. Di usia 29 tahun, baru kali ini ia merasakan tertarik pada perempuan. Bukan sekadar suka, tapi tertarik yang membuatnya rela bangun lebih pagi, berputar arah, atau menahan malu di hadapan banyak orang.
Dan rasanya… sulit. Bahkan menyakitkan.
Rian kembali berbaring, memandang langit-langit kamar yang temaram. Ia tidak tahu apakah Jelita sedang marah, kecewa, atau memang ingin menjauh dulu. Yang ia tahu, ia merindukan gadis itu dengan cara yang sulit ia mengerti.
*
*
*
Pada waktu yang hampir bersamaan, Jelita duduk sendirian di kursinya, mematikan lampu kamarnya hingga hanya lampu tidur yang menyala. Cahaya kecil itu membuat ruangan tampak redup dan tenang, namun justru itulah yang mengungkapkan kesunyian yang ia rasakan.
Sudah dua hari ia sengaja berangkat lebih cepat dari biasanya. Dua hari pula ia menunggu waktu pulang lebih lama agar tidak bertemu Rian di jalan. Ia tidak ingin memikirkan alasan yang terlalu rumit.
Ia hanya… belum siap bertemu pria itu.
Setiap kali membayangkan tatapan Rian yang tegas dan hangat, atau suaranya yang memanggil namanya dengan lembut, dadanya terasa penuh. Terlalu penuh. Perasaan yang menghampiri itu membuatnya takut, bingung, dan belum berani menghadapinya.
Namun yang aneh, di tengah usahanya menghindar, ada sesuatu yang kosong.
Hening di kamarnya terasa lebih sepi dari biasanya. Jalan kecil depan rumah yang biasanya ramai suara jangkrik terasa sunyi. Bahkan aktivitasnya di rumah sakit hari ini terasa… datar.
Seolah ada sesuatu yang hilang.
Jelita menyandarkan punggungnya pada dinding, memeluk lutut, dan memejamkan mata. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi hatinya merindukan sesuatu. Atau… seseorang.
“Kenapa jadi begini, sih…” bisiknya.
Ia menarik napas pelan, tetapi tidak mampu menenangkan dirinya. Dua hari menghindar, dua hari pula perasaannya seperti bolong.
Ia tidak tahu apakah ini rindu atau hanya sekadar kebiasaan baru. Yang jelas, tanpa melihat Rian dua hari ini… dunia terasa sedikit kurang lengkap.
*
*
*
Ternyata kejadian ‘kucing-kucingan’ ini berlangsung hingga seminggu penuh. Dan di setiap hari yang berjalan, keresahan Rian semakin menjadi-jadi. Konsentrasinya mudah pecah, pikirannya sering melayang entah ke mana, dan rapat-rapat kecil di kantor kelurahan pun sering kali harus diulang karena dirinya tidak fokus.
Adam dan Nina yang setia mendampingi Rian tentu menyadari perubahan itu. Bahkan mereka berdua sudah hafal kalau Rian tiba-tiba melamun sambil mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja, itu tandanya pikirannya sedang berada di ruangan rumah sakit umum daerah.
Namun meski mereka tahu, mereka tidak bisa banyak membantu. Hingga suatu siang, Nina mendapat kabar yang membuatnya menoleh berkali-kali menuju ruangan atasan mereka itu.
“Kamu serius, Nin?” tanya Adam ketika mereka hanya berdua di meja luar ruangan Rian.
“Iya, bener ini, Pak Adam. Kemarin saya dengarnya gitu,” bisik Nina, jelas-jelas tidak ingin suaranya terdengar ke dalam.
“Mbak Jelitanya ikut bareng Kakek Doni juga?” Adam kembali memastikan.
Nina mengangguk mantap. “Iya, Pak. Tetangga saya itu ternyata orang kepercayaannya Kakek Doni. Rumahnya itu lho, yang ada kebun jambu di sampingnya. Katanya, Kakek Doni nitip rumah ke dia. Beliau sama cucunya mau balik ke Jakarta.”
Adam kaget. “Hah? Terus… nggak balik lagi ke sini?”
Nina mengangkat tangan. “Nggak tahu. Udah saya tanya juga. Tetangga saya bilang, Kakek Doni nggak bilang apa-apa. Cuma nitip rumah. Titik.”
Adam langsung melangkah mundur satu langkah, seolah berita itu terlalu berat untuk diterima. “Waduh…” gumamnya sambil menggeleng-geleng. “Makin galau yang ada ini lurah kita, Nin.”
Nina menghembuskan napas. “Iya, Pak. Saya juga bingung harus cerita atau nggak…”
Sebelum kalimat itu selesai, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.
“Cerita apa?”
Adam dan Nina serempak terlonjak. Perlahan mereka menoleh dan benar saja, Rian berdiri di sana. Wajahnya datar, namun sorot matanya tajam. Rupanya ia sudah cukup lama berdiri di sana dan mendengar sebagian pembicaraan mereka.
Adam dan Nina langsung saling pandang. Panik.
“E—eh… i-ini, Pak Lurah…” Nina gagap.
Namun Rian mengangkat tangan, tanda ia tidak ingin mendengar alasan. “Saya pulang dulu.”
Adam spontan menatap jam di pergelangan tangannya. “Lho, Pak? Baru jam dua…”
“Saya nggak enak badan,” jawab Rian singkat.
Tanpa menunggu tanggapan apa pun, Rian langsung masuk sebentar ke ruangannya, mengambil kunci lalu keluar lagi. Gerakannya cepat, matanya tidak benar-benar menatap mereka.
Nina menggigit bibir. “Pak Adam… duh… gimana ini…”
Adam hanya mengusap wajahnya. “Mampus… ini makin runyam.”
Sementara itu Rian ternyata langsung pulang ke rumahnya. Rian tiba di rumah dengan langkah lesu. Ia masuk ke rumah sambil melepaskan sepatu dengan malas, lalu langsung duduk di sofa ruang tamu. Punggungnya ia sandarkan, namun rasanya tidak ada posisi yang membuatnya nyaman.
Ada sesuatu di dadanya yang menekan. Sedih. Bingung. Takut kehilangan.
Dan yang paling menyakitkan… ia merasa semuanya terlambat.
Baru beberapa menit ia duduk seperti patung, suara langkah terdengar dari dalam rumah.
“Rian?” panggil Bu Sri sambil menghampiri. Wajahnya langsung panik. “Lho, Nak? Pulang cepat? Kamu sakit?”
Rian menggeleng, memaksakan senyum kecil. “Nggak, Bu. Cuma… lelah.”
Bu Sri menyentuh kening anaknya, mengecek suhu tubuh. “Kamu pucat banget. Dari tadi pagi Ibu merasa aneh… ternyata benar kamu nggak enak badan. Sini, masuk kamar. Ibu ambilin teh anget.”
“Ibu…” Rian menahan lembut tangan ibunya. “Aku beneran nggak sakit.”
“Lalu kenapa lesu begini?” tanya Bu Sri, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran.
Rian mengalihkan pandang. “Capek, Bu. Banyak pikiran.”
Bu Sri menatap anaknya beberapa detik, lalu mengangguk kecil. “Kalau begitu istirahat. Ibu nggak maksa kamu cerita, tapi Ibu tahu… kamu lagi berat.”
Rian hanya menghela napas panjang.
Ketika Bu Sri membalikkan badannya, hendak kembali ke area dapur, Rian tiba-tiba memanggilnya dengan suara pelan namun terdengar putus asa.
“Ibu tahu nggak… kalau Kakek Doni pulang ke Jakarta?” tanya Rian.
Bu Sri menoleh, lalu mengangguk santai. “Tahu. Kemarin sempat ke rumah, pamit sama Ibu.”
Rian sontak bangkit dari duduknya. “Kenapa Ibu nggak bilang?”
“Ibu pikir kamu tahu,” jawab Bu Sri dengan nada biasa saja.
Rian langsung terduduk kembali. Kedua tangannya memegang kepala, seolah dunia mendadak runtuh. Sorot matanya kosong, wajahnya jelas menunjukkan putus asa yang selama ini ia tahan.
Melihat itu, Bu Sri mengerutkan kening. Ia melangkah mendekat lagi, duduk di samping putranya. “Kamu kenapa sih, Mas? Eh… tunggu dulu…”
Tatapan Bu Sri menyipit, lalu bibirnya terangkat pelan.
“Kamu seperti ini… karena cucunya Kakek Doni itu, ya?”
Tepat sasaran.
Rian tidak menjawab. Tidak mengangguk, tidak menggeleng. Diam. Tapi diamnya sudah lebih keras dari pengakuan.
Bu Sri menarik napas, menepuk pelan paha anaknya. “Mas… kok kamu lamban sekali, Nak.”
Rian menutup wajah. “Ibu… mereka ke Jakarta itu… buat apa? Mereka bakal balik lagi atau nggak?”
Nada suaranya pelan tapi jelas penuh kecemasan. Pertanyaan yang lahir dari hati yang takut kehilangan.
Bu Sri mengangkat bahu. “Nggak tahu pasti. Yang Ibu dengar cuma satu.”
Rian langsung menatap ibunya, menanti jawaban sang ibu.
“Katanya, di sana ada acara syukuran. Ibu juga nggak paham untuk apa.”
Rian terdiam. Ekspresinya mencerminkan ketakutan akan jawaban berikutnya.
Dan Bu Sri dengan sengaja menambahkan sedikit bumbu untuk menggoda anaknya yang terlalu lamban.
“Bisa jadi…” katanya sambil menahan senyum, “syukuran lamaran Mbak Jelita.”
Warna wajah Rian langsung hilang. Matanya membesar, seperti baru ditusuk jarum.
“I—Ibu… jangan bercanda.”
“Lho, Ibu nggak bilang itu bener. Ibu cuma bilang bisa jadi.” Bu Sri terkekeh pelan. “Namanya juga cucu sulung. Cantik. Mandiri. Sudah kerja. Siapa yang nggak mau?”
Rian memalingkan wajah, napasnya memburu. Dadanya sesak.
Melihat itu, Bu Sri menghela napas panjang lalu berbicara lebih lembut. “Kamu suka dia, kan?”
Hening. Rian tidak menjawab. Tapi matanya sudah mengatakan semuanya.
Bu Sri akhirnya menepuk bahu putranya.
“Kalau kamu memang suka… kejar lah, Mas. Jangan cuma bisa ngelamun di sudut rumah, terus nyalahin nasib.”
Rian menoleh, masih pasrah. “Terus aku harus bagaimana?”
Bu Sri tersenyum, seperti sudah menyiapkan jawaban sejak tadi. “Pergi saja ke Jakarta. Susul.”
Rian terbelalak. “Hah? Ke Jakarta? Sekarang?”
“Lho, kenapa nggak? Kamu lurah. Punya sedikit keleluasaan. Kalau alasannya jelas, orang-orang juga tidak akan mempermasalahkan. Lagipula, ini urusan masa depan kamu. Kampung kita ini sudah membutuhkan Bu Lurahnya, Ibu Ketua PKK nya. Ibu juga capek, masa ibu yang jadi ketuanya.”
Bu Sri mencondongkan tubuh, menatap lurus ke mata anaknya.
“Kalau kamu diam saja… orang lain bisa datang duluan. Dan kamu akan nyesal seumur hidup.”
Kalimat itu menggetarkan dada Rian.
Dan akhirnya, matanya menunjukkan cahaya setelah beberapa hari terlihat suram.
Bu Sri tersenyum kecil melihat perubahan itu. “Nak… perempuan baik tidak datang dua kali. Ibu sudah tua. Ibu cuma ingin lihat kamu bahagia, Rian.”
Rian menunduk, suaranya pelan namun mantap. “Aku… akan pikirkan, Bu.”
“Terserah kamu mau mikir berapa lama,” jawab Bu Sri sambil bangkit. “Tapi kalau nanti dia benar-benar dilamar orang… jangan nangis di pangkuan Ibu.”
Rian langsung menatap ibunya yang sudah berjalan ke dapur. Ucapan itu begitu menusuk, namun membangunkan sesuatu dalam dirinya.
Malam itu, Rian benar-benar mempertimbangkan untuk menyusul Jelita ke Jakarta.
“Harus langsung pergi sekarang, ni?”
*****
Nggak apa-apa, Pak Lurah pergi aja. Kami sebagai warga Pak Lurah mengizinkan kok Pak Lurah pergi dulu.
Cepat susul Jelita sana. Dengar dengar sih Jelita lagi di pingit sama Papa Fadi. Ayooo gimana ini??? 😅🤣🤣
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂