NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 Tidak Ingin Menyakiti Hatinya

“Apa yang terjadi padaku? Dan tadi… gadis kecil itu siapa? Dia memanggilku Ayah.”

Nic hanya menghela napas pelan mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, ia sudah memprediksi hal ini sejak malam kecelakaan itu terjadi.

Dengan luka seberat yang dialami Alex—terutama di kepala—ada dua kemungkinan besar: kehilangan sebagian ingatan, atau kehilangan segalanya. Dan sekarang, hal itu benar-benar terjadi.

“Kau tahu, waktu kau kecelakaan, aku benar-benar takut gagal menyelamatkanmu,” ujar Nic lirih. “Aku lega operasimu berhasil, tapi kondisimu sempat sangat kritis. Cedera di kepalamu serius, Alex. Melihatmu sadar saja sudah lebih dari cukup untukku sekarang. Jangan memaksakan diri untuk mengingat apa pun dulu. Aku akan jelaskan semuanya perlahan.”

Ia menatap Alex hati-hati. “Gadis kecil tadi adalah putrimu, Daisy. Dan wanita yang bersamanya … apa kau masih mengenalinya?”

“Tentu saja. Dia Eve, istriku. Tapi … aku pikir dia sudah meninggal dalam kecelakaan. Aku benar-benar tidak mengerti, Nic. Aku—”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Alex meringis. Rasa sakit menyalak di kepalanya seperti ditusuk pisau tajam.

“Berhenti berpikir, Alex!” seru Nic cepat, khawatir. “Kau dengar aku? Jangan paksa ingatanmu. Aku sudah katakan, biar aku yang menjelaskan semuanya. Kau sudah melalui banyak hal.”

Nic menarik napas dalam. “Eve memang pernah kecelakaan … tapi itu tujuh tahun yang lalu. Alex, kau kehilangan sebagian ingatanmu.”

Alex terpaku. “Jadi … Eve benar-benar masih hidup? Aku tidak sedang bermimpi?”

“Tidak,” jawab Nic pelan. “Wanita di luar sana memang istrimu. Dan anak itu—Daisy—adalah putrimu.”

Nic menatap Alex dengan iba. Sebagian besar ingatan yang hilang mungkin adalah yang paling berharga bagi pria itu.

“Apa yang terjadi padaku, Nic? Bagaimana aku bisa kecelakaan? Dan … di mana Rayyan?”

Pertanyaan itu membuat Nic terdiam. Jika ingatan Alex berhenti tujuh tahun lalu, artinya bukan hanya Daisy yang terhapus dari memorinya—tapi juga Damien.

Dengan suara rendah, Nic akhirnya berkata, “Seminggu yang lalu … malam kau kecelakaan, aku datang membawakan kabar buruk. Damien meninggal. Eve keguguran. Aku tidak tahu kalau Daisy juga mendengar percakapan itu—dia sangat terpukul. Dia berlari keluar rumah ke arah jalan raya, dan kau mengejarnya. Kau menyelamatkan putrimu … dengan tubuhmu sendiri.”

Wajah Alex menegang, matanya memejam, seolah menolak kenyataan yang tidak bisa ia pahami. Meski ingatannya kabur, suara tangis Daisy dan permintaan maafnya terus terngiang di kepalanya.

Beberapa suara itu masih membekas—suara kecil yang memanggil Ayah, meski di alam tak sadarnya.

“Damien … siapa Damien? Aahh ….” Nama itu seperti ditorehkan dengan api di dalam kepala Alex. Ia menggeram, kedua tangan mencengkeram rambutnya sekuat tenaga.

“Cukup, Alex! Jangan paksa dirimu lagi!” Nic memotong tegas, nadanya penuh kekhawatiran. “Kalau kau terus memaksa mengingat, cedera di kepalamu malah bisa makin parah. Aku masih punya waktu untuk menjelaskan semuanya.”

Nic menunggu sampai napas Alex sedikit tenang, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lembut namun tegas. “Untuk sekarang, tidak penting seberapa banyak yang kau ingat atau yang hilang. Yang terpenting: sambutlah istri dan anakmu. Mereka sudah ada di sisimu sejak lama, menunggumu sadar.”

Ia menatap pria itu lurus. “Daisy terus menangis karena merasa bersalah. Dia percaya kalau apa yang menimpamu—semua ini—adalah salahnya. Eve … ia juga hancur. Dia sempat mengandung, tapi keguguran tepat saat kau kecelakaan. Banyak hal sudah terjadi, Alex. Saat ini yang mereka butuhkan hanyalah melihatmu, mendengar suaramu, merasakan kau ada di sini bersama mereka. Lupakan dulu apa yang hilang—biarkan mereka merasakan kehadiranmu.”

Kata-kata Nic tulus. Ia berbicara bukan hanya sebagai dokter, tapi juga sebagai orang yang melihat keluarganya rapuh dan sudah terlalu banyak menanggung.

“Aku—” Alex terhenti, matanya samar menatap jauh. “Nic.”

“Ya?”

“Tolong… jangan sampai Daisy tahu kalau aku tidak mengingatnya. Aku tidak ingin melukai hati anakku.” Suara Alex serak, napasnya tersengal.

“Tentu. Aku juga tak tega kalau dia tahu.” Nic menjawab cepat. “Aku hanya akan mengatakan ini dengan Eve dulu.”

Setelah menenangkan diri, Alex mengangguk pelan. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—rasa rindu yang tak sepenuhnya jelas, tetapi nyata. Ia menyiapkan dirinya, dan Nic pun pergi memanggil Eve dan Daisy.

Ketika mereka datang, Nic memberi pengantar ringan pada Eve. “Alex sudah lebih baik,” katanya.

Eve menatap suaminya, mata berkaca. “Nic … apa dia benar-benar baik-baik saja? Dia terlihat linglung.”

“Cedera kepalanya memang parah.” Nic menjelaskan jujur, tapi selektif. “Hal seperti ini wajar setelah beberapa hari koma. Untuk sekarang, tolong jangan sebutkan soal Damien padanya. Dia masih sangat emosional.”

Eve menunduk, menelan air mata, lalu menatap Daisy. “Daisy, kau mengerti apa yang dikatakan Dokter? Ayahmu mengalami luka di kepala yang cukup berat. Jadi sekarang, aku harap kau tidak menyebut soal Kakakmu di depannya. Beri Ayah waktu untuk pulih. Nanti, ketika sudah lebih kuat, kita bicarakan semuanya bersama.”

Daisy mengangguk cepat, wajahnya masih sembap tapi tegas. Mungkin ia belum sepenuhnya mengerti alasan detailnya, namun ia paham: Ayah butuh waktu.

Saat Daisy masuk, ia berlari memeluk Alex dengan spontan. Tangan mungilnya melingkari dada sang ayah, sementara kepalanya bersandar di lengan pria itu. “Ayah, kau sudah lebih baik? Apa kau masih merasa sakit?”

Suara lembut Daisy menggema di telinga Alex, menembus sesuatu yang kosong dalam pikirannya. Ia memang tidak mengingat anak itu, tapi kehangatan yang menjalari dadanya terasa begitu familiar.

Jemarinya bergerak perlahan, menyentuh rambut lembut Daisy, lalu mengusap pipinya yang hangat. “Lebih baik … setelah melihat kalian.”

Eve menatapnya, dan matanya perlahan memanas. Ia sempat diliputi ketakutan—khawatir bahwa kecelakaan itu telah mengubah segalanya. Tapi kini, mendengar suara itu lagi, nada lembut yang sama, ia tahu: Alex masihlah Alex yang dikenalnya.

Eve mencondongkan tubuh, memeluknya erat. Ia merasakan bibir pria itu menempel lembut di pipinya.

“Maaf … sudah membuat kalian khawatir,” bisik Alex pelan.

“Ayah, aku merindukanmu …,” ucap Daisy lirih.

“Ya,” jawab Alex, suaranya hampir pecah. “Aku juga merindukan kalian.”

Untuk sesaat, dunia mereka terasa utuh kembali. Tapi ketenangan itu hanya berlangsung sebentar, hingga Nic mengetuk pintu dan memanggil Eve untuk berbicara di ruangannya.

“Ada apa, Nic? Kenapa kau terlihat serius?”

Nic menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ini tentang Alex. Aku tidak bisa membicarakannya di depan Daisy.”

Eve menatapnya dengan tegang.

“Alex mengalami amnesia retrograde. Dia kehilangan ingatan selama tujuh tahun terakhir. Lebih tepatnya, ingatannya berhenti di masa ketika dia percaya bahwa kau telah meninggal dalam kecelakaan.”

Eve terdiam. Dunia seolah berhenti berputar.

“Artinya … dia tidak ingat Daisy? Tidak ingat Damien? Bahkan saat aku mengandung?”

Nic menunduk pelan. “Ya, Eve. Dia tidak mengingat apa pun tentang mereka. Dan … saat aku menyebut nama Damien, reaksinya sangat kuat. Nyeri hebat, hampir seperti traumatik.”

Eve menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang. “Apa dia bisa mengingatnya lagi?”

“Aku tidak bisa memastikan,” jawab Nic jujur. “Bisa saja sementara, bisa permanen … atau justru memburuk. Kita harus melihat perkembangan Alex dulu.”

Lama sekali Eve terdiam, mencoba mencerna semuanya. Setelah melewati begitu banyak luka, ternyata penderitaannya belum benar-benar usai.

“Eve,” kata Nic lembut, “Aku tahu ini sulit, tapi tolong bersabarlah sedikit lagi. Dengan cedera seberat itu, segala kemungkinan bisa terjadi.”

Eve menatap lantai, lalu tersenyum tipis. “Aku mengerti, Nic. Aku tidak akan memaksanya mengingat. Melihat dia sadar saja sudah cukup bagiku. Setidaknya … dia masih mengingatku. Aku akan bantu dia perlahan, dengan caraku.”

Nic mengangguk, matanya melembut. “Aku tahu kau akan mengatakannya seperti itu.”

“Tapi Daisy … aku takut dia kecewa jika tahu Ayahnya tidak mengingatnya.”

“Alex juga berkata hal yang sama,” ujar Nic. “Dia tidak ingin Daisy tahu.”

Eve mengangguk mantap. “Baiklah. Aku akan membantunya. Aku akan menuntun Alex untuk mengingat Daisy, sedikit demi sedikit.”

Nic menarik napas dalam. “Dan … tentang Damien.” Ia menatap Eve dengan hati-hati. “Aku tahu aku tidak punya hak memutuskan ini. Tapi melihat reaksi Alex saat mendengar nama Damien … aku khawatir itu memicu sesuatu yang lebih buruk. Untuk sementara, bisakah kita menyimpannya dulu sampai kondisinya stabil?”

Eve menunduk. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

“Jika menurutmu itu yang terbaik untuknya … aku akan mengikutinya.”

Nic tersenyum lega, suaranya lembut tapi tegas. “Terima kasih, Eve. Sampai saatnya tiba, tolong bantu aku menjaga agar Daisy tidak membicarakan Damien di depan Ayahnya.”

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!