NovelToon NovelToon
Merebutmu Kembali

Merebutmu Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Anak Genius / Romansa / Menikah Karena Anak / Lari Saat Hamil / Balas Dendam
Popularitas:909
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Napas Megan tercekat. Pemantik perak itu terasa dingin di telapak tangannya, kontras dengan kehangatan jerami dan lumpur yang mengotori sepatunya. Itu bukan sekadar pemantik; itu adalah cap stempel, simbol tak terbantahkan dari organisasi Xylos. Logo ukiran naga yang melilit huruf 'V' memancarkan aura kekuasaan yang mengingatkannya pada malam paling mengerikan dalam hidupnya.

Ia kembali ke kamar, mengunci pintu kayu tipis itu. Cahaya bulan yang masuk dari celah jendela jatuh tepat di wajah Axel yang pulas. Bayi itu tampak damai, namun mata tajam Vega seolah tercetak di wajah polosnya. Pemantik itu adalah bukti bahwa masa lalu tidak pernah tidur. Mereka sudah mencium baunya.

Megan menjatuhkan diri ke tepi kasur, memegang pemantik itu seperti bara api. Aroma samar parfum mahal, yang melekat di logam perak itu, tiba-tiba membanjiri indranya. Bukan aroma khas kota, melainkan aroma tembakau kelas atas bercampur patchouli yang dingin—aroma yang sama persis dengan yang ia hirup di bawah tekanan kemeja Vega malam itu.

“Kau pantas lebih dari sekadar hadiah,” bisik ingatan itu, suara Vega yang berat dan berkuasa terdengar di benaknya. Megan menutup matanya erat-erat, mencoba mengusir sensasi yang menyerang tubuhnya.

Ia ingat bagaimana tangan besar itu memegang wajahnya, jari-jarinya yang kuat menyentuh rahangnya. Bukan sentuhan kasih sayang, melainkan sentuhan kepemilikan. Malam itu, tubuhnya telah dikhianati oleh obat bius, namun otaknya, otaknya mencatat setiap detail. Rasa silk yang dingin di kulitnya, kontras dengan kehangatan tubuh Vega yang panas, kulitnya yang kencang, dan otot-ototnya yang mematikan. Itu adalah pengalaman yang brutal dan memabukkan, sebuah perpaduan antara teror dan kekuatan maskulin yang absolut. Dan gairah yang membara penuh kenikmatan yang baru Megan rasakan. menakutkan tapi memabukkan dan buat nagih, penuh kengerian gila. Awww

Megan menggigil. Sensasi itu, meskipun sudah enam bulan berlalu, masih bisa membuatnya panik sekaligus merasa sangat terancam. Dia ingat mata Vega—mata elang yang tak pernah berkedip—yang menatapnya bukan dengan nafsu murahan, melainkan dengan ketertarikan yang mendalam, seolah ia sedang mengklaim harta karun langka.

“Tidak,” bisik Megan pada dirinya sendiri, membuka mata. “Aku tidak akan membiarkanmu atau ingatanmu menghancurkanku lagi.”

Ketakutan memicu adrenalin. Ini bukan waktunya untuk nostalgia yang menyakitkan. Ini waktunya untuk bergerak.

Ia segera membangunkan Nyonya Asih, yang tidur nyenyak di kamarnya di depan.

“Bu Asih, bangun! Kita harus bicara,” bisik Megan, suaranya dipenuhi urgensi yang membuat wanita tua itu tersentak.

Nyonya Asih menyalakan lampu minyak, menggosok matanya. “Ada apa, Nak? Kau pucat sekali.”

Megan menunjukkan pemantik perak itu. “Saya tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ini adalah tanda bahaya. Tanda bahwa orang-orang yang saya hindari sudah menemukan lokasi kita. Kita harus pergi. Sekarang.”

Nyonya Asih menatap pemantik itu, lalu ke wajah Megan. Ia tidak bertanya siapa orang-orang itu, ia hanya melihat ketakutan murni di mata putri angkatnya.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Nyonya Asih, meskipun ia sudah tua, ia segera menangkap situasi genting itu.

“Bukan kita, Bu Asih. Hanya saya dan Axel. Saya tidak mau melibatkan Ibu. Ini adalah perang saya. Mereka tidak akan menyentuh Ibu jika saya pergi. Saya harus lenyap tanpa jejak sebelum subuh,” ujar Megan, suaranya tegas.

Nyonya Asih menggelengkan kepalanya. “Kau gila, Nak. Kau baru saja pulih. Ke mana kau akan pergi di tengah malam?”

“Ke tempat yang lebih sunyi. Saya sudah memikirkannya. Saya akan pergi ke timur, jauh dari jalur transportasi utama. Saya punya sedikit tabungan tunai. Ibu harus berpura-pura tidak pernah mengenal saya. Buang semua barang yang berhubungan dengan saya dan Axel. Dan jangan pernah bicara pada siapapun tentang kami.”

Nyonya Asih memeluk Megan erat-erat. Pelukan itu adalah perpisahan yang menyakitkan. “Jaga dirimu, Nak. Jaga Axel. Tuhan memberkatimu.”

Sepuluh menit kemudian, Megan telah menggendong Axel, yang ia selimuti dengan jaket tebal, dan membawa satu ransel kecil berisi uang tunai, dokumen palsu sederhana yang ia buat sendiri, dan beberapa popok. Ia meninggalkan peternakan tanpa menoleh ke belakang.

Di bawah kegelapan dini hari, ia berjalan menyusuri jalan setapak berlumpur. Tujuannya: sebuah kota kecil bernama Cikadongdong, yang terkenal karena perbukitan terpencil dan peternakan domba yang jarang dikunjungi orang luar. Ia harus mencari pekerjaan apa pun, asalkan tidak membutuhkan identitas resmi atau koneksi digital.

Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti upaya mati-matian untuk mengungguli takdir. Ia tahu, orang-orang seperti Vega Xylos tidak pernah bermain-main. Mereka akan mengirimkan mata-mata terbaik. Mereka akan mengawasi pergerakan tunai, logistik, dan jaringan komunikasi.

Megan memutuskan untuk melakukan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh mungkin, menghindari bus atau angkutan umum yang bisa meninggalkan jejak. Setelah hampir tiga jam berjalan, ia berhasil mencapai persimpangan jalan desa yang sepi.

Saat fajar mulai menyingsing, Megan menyewa sebuah becak tua. “Ke Cikadongdong,” pintanya, menyerahkan beberapa lembar uang tunai pada pengemudi yang kebingungan.

“Jauh sekali, Nona. Jalanan ke sana rusak,” keluh si pengemudi.

“Saya bayar lebih. Jangan banyak bertanya,” balas Megan dingin, membuat si pengemudi bungkam.

Perjalanan itu berlangsung lambat dan menyiksa. Axel mulai rewel, dan Megan harus menyusui sambil terus menatap ke belakang, waspada terhadap setiap kendaraan yang lewat. Ia harus menjadi paranoid, sampai terasa akan mati. Jantungnya berdegup lebih keras dan cepat.

Saat mereka melewati sebuah tikungan tajam, jantung Megan hampir melompat keluar. Di tepi jalan, terparkir sebuah mobil SUV hitam legam, berkilauan meskipun diselimuti debu. Mobil itu tampak sangat tidak pada tempatnya di jalan desa yang terpencil ini. Terlalu mewah, terlalu modern.

Di samping mobil, seorang pria berpakaian rapi sedang berbicara di telepon satelit. Wajahnya asing, tetapi pakaiannya—kemeja linen yang bersih, jam tangan mahal—berteriak "Orang Kota Berbahaya".

Megan segera menundukkan kepalanya, menyuruh pengemudi becak untuk mempercepat laju, meskipun itu mustahil.

“Kenapa Nona?” tanya pengemudi becak, bingung.

“Jangan pedulikan. Cepat!” desak Megan. Ia menarik topi jeraminya lebih rendah, menutupi sebagian besar wajahnya dan Axel.

Saat becak mereka melewati SUV hitam itu, Megan merasakan tatapan tajam pria itu menyapu mereka. Itu hanya sekilas, tetapi cukup untuk membuat seluruh ototnya menegang.

Setelah beberapa menit, ketika mereka sudah berada cukup jauh, Megan menghela napas lega. Mereka lolos. Hanya kebetulan. Mungkin pria itu hanya tersesat atau sedang berbisnis di desa sebelah.

Namun, saat ia mencoba menenangkan Axel, matanya tanpa sengaja menyentuh ranselnya. Ia ingat bahwa di saku kecil ransel itu, ia menyimpan beberapa lembar uang kertas yang ia lipat rapi.

Ia membuka saku itu, ingin memastikan uangnya aman.

Uang itu ada di sana. Tetapi di tengah lipatan uang kertas, ia menemukan sesuatu yang baru. Sesuatu yang pasti bukan miliknya.

Itu adalah sebuah kartu memori kecil, seukuran kuku jari kelingking. Kartu memori kelas militer, yang digunakan untuk menyimpan data dalam jumlah besar dan dilindungi enkripsi. Kartu itu diselipkan di antara uangnya. Tidak mungkin ia tidak menyadarinya saat ia mengepak barang.

Seseorang telah menyentuh ranselnya. Seseorang telah berhasil menyusup, bukan untuk mencuri, melainkan untuk menanam sesuatu.

Megan menatap kartu memori itu, darahnya seolah membeku. Ini bukan pekerjaan pencuri amatir yang lapar. Ini adalah pesan. Sebuah penanda. Sebuah peringatan.

Ia menyadari kengerian sebenarnya: Laki-laki yang datang ke peternakan malam itu, yang berpura-pura menjadi pencuri, bukanlah mata-mata Vega Xylos. Ia adalah umpan yang menanam pelacak. Dan pelacak itu, kartu memori ini, jelas dikirim oleh seseorang yang cerdas dan licik.

Rommy Ivanov. Musuh bebuyutan Vega, yang juga mencari dirinya. Rommy sudah tahu bahwa ia sedang bersembunyi. Dan Rommy mengirim kartu memori ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai undangan.

Apakah kartu ini berisi informasi? Atau pelacak GPS yang akan membimbingnya langsung ke markas Rommy? Megan mencengkeram kartu itu, menyadari bahwa ia baru saja berlari dari satu kandang harimau, hanya untuk langsung menuju kandang singa yang lain. Dia sekarang berada di papan catur dua bos mafia besar.

Ia menatap Axel, wajahnya dipenuhi tekad. "Kita tidak akan lari lagi, Nak. Kita akan tahu apa yang mereka mau."

Megan memegang kartu memori itu erat-erat, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menemukan cara untuk membacanya, tidak peduli betapa berbahayanya isi data tersebut.

"Atau itu benar-benar sebuah alat pelacak canggih yang harus Megan buang jauh?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!