Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curiga
Dan tiba-tiba —
grep.
Tanpa sadar, Lucy memeluk pinggangnya erat.
Sadewa sempat kaku beberapa detik, lalu menghela napas perlahan. Senyum kecil muncul di wajahnya.
Ia tak berniat melepaskan genggaman itu.
Hanya menurunkan kecepatan motornya, membiarkan angin malam Bandung, langit berbintang, dan detak jantungnya yang berdebar menjadi satu irama diam-diam yang hanya mereka berdua yang dengar.
Motor itu berhenti perlahan di depan lobby apartemen. Lampu malam dari kanopi memantul lembut di helm mereka.
Sadewa memutar sedikit badan, ragu-ragu.
Waduh gimana cara banguninnya ini?
“Kak…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
“Maaf, udah sampai.”
Lucy yang semula terlelap mulai bergerak pelan. Matanya terbuka separuh, dan di detik berikutnya, ia menyadari posisinya.
Tangannya masih melingkar di pinggang sang driver.
Mata Lucy langsung membulat.
“ASTAGA!” serunya spontan, buru-buru menarik tangannya dan hampir menjatuhkan helmnya sendiri.
“P-punten pisan, Kang! Saya… saya ketiduran barusan.”
Sadewa menahan senyum di balik helmnya
“Gak apa-apa, Kak. Abis lembur ya? Keliatan cape nya.”
Nada suaranya tenang, nggak menghakimi sama sekali. Justru ada sedikit kehangatan yang bikin Lucy makin salah tingkah.
“I-iya, hehe…”
Lucy cepat-cepat melepas helm, menyerahkannya, lalu menunduk dalam.
“Sekali lagi maaf ya, Kang. Makasih udah nganterin.”
“Siap, Kak.”
Lucy berbalik, berjalan cepat menuju pintu lobby.
Begitu pintu kaca tertutup di belakangnya, ia menepuk pipinya sendiri.
“Ya ampun Lucy sumpah lo malu-maluin banget! Keiduran di ojol, peluk pula!"
Sementara di luar, Sadewa masih diam di atas motornya.
Melihat sekilas bayangan Lucy yang menghilang di balik pintu kaca, bibirnya terangkat kecil.
Sesaat setelah sampai di rumahnya. Sadewa memarkir motor di garasi kecil di samping teras.
Begitu masuk, ia langsung menyalakan lampu ruang tamu yang temaram, meletakkan helm dan jaket di gantungan, lalu berjalan ke kamar mandi.
Air dingin mengalir membasuh tubuhnya, menghapus lelah sekaligus sisa aroma minyak goreng dari outlet.
Beberapa belas menit kemudian, Sadewa keluar dengan kaus longgar dan celana training. Ia menuju kamarnya di ujung lorong kecil, membuka jendela sebentar untuk mengintip langit Dago yang masih bertabur bintang, lalu menutupnya rapat.
Seperti biasa, sebelum tidur, ia memastikan semua pintu dan jendela terkunci dengan baik—kebiasaan yang selalu ia lakukan sejak dua tahun terakhir tinggal di Bandung.
Tak ada yang tahu, kalau kebiasaan itu bukan sekadar karena takut maling.
Sadewa menarik napas panjang, menatap pintu kamar yang kini terkunci rapat.
Dalam hati, ia bergumam
“Semoga malam ini gak aneh-aneh…"
Satu kebiasaan yang kadang membuatnya khawatir, karena dalam tidurnya, Sadewa tak selalu sadar di mana ia akan terbangun.
Begitu berbaring di kasur, matanya menatap langit-langit putih yang sepi.
Dan di antara hening itu, bayangan wajah Lucy tiba-tiba melintas begitu saja.
Cara gadis itu tertidur di boncengannya, cara ia gagap minta maaf di lobby barusan—semuanya berputar cepat di kepala.
Sadewa tersenyum kecil sambil menatap atap.
“Udah dua kali nih gue gak sengaja ketemu Lucy…”
“Ketiga kali… udah lah gue yakin kita jodoh.”
Ia tertawa pelan sendiri, lalu memejamkan mata.
Khayalan itu masih menari di benaknya hingga akhirnya perlahan tenggelam dalam kantuk.
Malam di Dago terasa tenang, hanya suara jangkrik yang menemani—sementara di balik tidurnya, sesuatu yang lama tak ia sadari mulai bergerak halus di bawah sadar.
...****************...
Beberapa hari berlalu—Bandung kembali sibuk, Reddog makin ramai, dan Lucy pun kembali hanyut dalam tumpukan kerjaan di kantor.
Sore itu, sepulang kerja, Lucy dijemput kekasihnya, Andika.
Hari ini mereka berencana makan malam di Botanica Mall, Pasteur—tempat yang katanya romantis dengan lampu-lampu gantung di sepanjang balkon.
Begitu masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang, Lucy merasa duduk di atas sesuatu. Ia meraba, dan jemarinya menemukan sebuah anting kecil berkilau di jok.
Keningnya berkerut. “Punya siapa ini, sayang?” tanyanya sambil menatap Andika curiga.
Andika yang sedang memasang sabuk pengaman langsung menegang.
“E—itu... punya Mama. Kemarin aku nganter beliau ke spa, kayaknya ketinggalan.."
jawabnya cepat.
Padahal jelas, anting itu bukan milik ibunya—melainkan milik Dea, wanita yang diam-diam jadi selingkuhannya.
Lucy menatap anting itu lama. Bibirnya tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan rasa tak enak.
“Oh, bagus ya. Selera mamamu kaya anak muda banget,” ujarnya datar.
Andika hanya mengusap tengkuk, tertawa canggung.
“Ah, iya... Mama kan kekinian juga, Sayang.”
Mobil pun melaju pelan menuju Botanica Mall—sementara di antara mereka, udara dingin sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya
Setelah makan malam di Botanica Mall, Lucy dan Andika melanjutkan kencan dengan hal-hal sederhana yang biasa mereka lakukan.
Nonton film, lalu mampir ke toko pakaian karena Lucy sempat tergoda diskon yang terpampang besar di etalase.
Andika mengikutinya tanpa banyak bicara, sibuk dengan ponselnya setiap kali Lucy sibuk memilih baju.
Malam mulai turun ketika mereka keluar dari mall.
Lampu kota berpendar lembut, dan perut Lucy tiba-tiba berbunyi pelan.
“Kayaknya aku pengen Reddog deh,” katanya manja.
Andika menoleh, tersenyum sekilas. “Yang di Pasteur? Yaudah, sekalian lewat ayo."
Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Reddog Pasteur—outlet yang jadi tempat favorit Lucy, tanpa tahu bahwa pemiliknya adalah pria yang dua kali “tak sengaja” ditemuinya.
Begitu masuk, aroma khas hotdog dan saus pedas menyambut mereka. Lucy langsung duduk di meja dekat jendela, sementara Andika menuju kasir untuk memesan.
Di balik meja kasir, Sadewa tengah mencatat laporan penjualan harian. Ia mendongak begitu mendengar langkah pelanggan mendekat.
Tatapannya membeku sepersekian detik.
Lucy.
Dia lagi.
Tapi kali ini… bukan sendirian.
Ada pria di sampingnya—gaya rapi, jam tangan mahal, aura percaya diri yang jelas bukan berasal dari kejujuran.
Dewa menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga ekspresi tetap netral.
“Pesan apa, Kak?” suaranya terdengar datar tapi sopan.
Andika menyebutkan pesanan dengan nada cuek, bahkan sempat sibuk dengan ponselnya lagi di tengah-tengah pemesanan.
Dewa hanya mengangguk, tapi di dadanya terasa sesuatu yang aneh—semacam kecewa yang tak seharusnya ia rasakan.
Tiga kali bertemu.
Tiga kali semesta mempertemukan mereka dengan cara yang tak masuk akal.
Tapi sekarang… dia tahu, harapan itu harus berhenti di sini.
Karena gadis yang malam itu sempat ia jaga dalam pelukan hangat di atas motor, ternyata sudah punya seseorang di sisinya.
'Ah tapi.....sebelum janur kuning melengkung mah gas-gas wae lah' gumam Sadewa mencoba menyembunyikan senyumnya.
Setelah menyelesaikan makan malam di Reddog, Lucy dan Andika beranjak pulang.
Udara malam Bandung terasa sejuk, jalanan tak terlalu ramai. Lucy bersandar santai di kursi penumpang, menatap lampu jalan yang berlarian di kaca mobil.
Tapi ketenangan itu mendadak terganggu.
Ponsel Andika yang terletak di holder dashboard bergetar berkali-kali.
Notifikasi muncul terus—nomor tanpa nama, hanya angka.
Lucy melirik sekilas. “Sayang, diangkat aja kali. Siapa tahu penting.”
Andika cepat-cepat menekan tombol silent.
“Gak usah, paling kerjaan,” jawabnya cepat.
Lucy menatapnya sejenak. “Kerjaan jam segini? Kalau penting gimana?”
Andika tersenyum kaku, matanya tetap ke jalan. “Aku lagi nyetir, nanti aja aku telepon balik.”
Lucy diam, tapi di dadanya ada sesuatu yang menekan.
Entah kenapa, nada suaranya Andika barusan terasa berbeda. Ada getaran gugup yang gak biasa.
Ia memalingkan wajah ke jendela, mencoba mengalihkan pikiran.
Tapi bayangan notifikasi tanpa nama itu terus menari-nari di benaknya sepanjang jalan menuju apartemen.
Sesampainya di lobby apartemen, Lucy menarik napas panjang, mencoba menepis pikiran buruk yang sempat muncul di kepalanya. Mungkin aku aja yang terlalu capek, batinnya, berusaha menenangkan diri.
Ia menatap Andika yang masih duduk di balik kemudi. “Hati-hati di jalan ya,” ucapnya lembut sambil menunduk sedikit, lalu mengecup singkat bibir kekasihnya.
Andika tersenyum samar. “Iya, kamu juga istirahat ya, inget jangan begadang.”
Lucy mengangguk sebelum melangkah masuk ke lobby. Ia menatap mobil Andika menjauh, lalu berbalik menuju lift.
Sampai di unitnya, Lucy langsung bersih-bersih diri, menyalakan diffuser aroma lavender kesukaannya, dan menyiapkan laptop untuk mengecek email kerjaan yang belum sempat dibuka.
Namun begitu merogoh tasnya, keningnya langsung berkerut.
Ponsel gue dimana?!
Ia membongkar tas, memeriksa meja rias, bahkan kasur. Kosong. Lucy tak menemukan ponselnya.
Sampai akhirnya kesadarannya datang. Astaga... ketinggalan di mobil Andika.
Rasa panik langsung menyusup pelan ke dada Lucy. Ia buru-buru mengambil iPad-nya, membuka fitur pelacak untuk mencari posisi ponselnya.
Titik biru di layar bergerak pelan, tapi arah jalannya membuat kening Lucy berkerut.
Lho… inikan bukan arah ke rumah Andika?
Matanya memperhatikan nama lokasi yang tertera di layar.
Rumah Sakit Bandung Kiwari.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Apa Andika sakit? Atau kecelakaan?
...----------------...
Hayo guys, Andika kenapa tuh kira-kira?
Jangan lupa vote like dan komentar yaaa ✨✨🥰