Brakk
"Tidak becus! aku bilang teh hangat. Kenapa panas sekali? kamu mau membakar tanganku?"
Alisa tidak mengatakan apapun, hanya menatap ke arah suaminya yang bahkan memalingkan pandangan darinya.
"Tahunya cuma numpang makan dan tidur saja, dasar tidak berguna!"
Alisa menangis dalam hati, dia menikah sudah satu tahun. Dia pikir Mark, suaminya adalah malaikat yang berhati lembut dan sangat baik. Ternyata, pria itu benar-benar dingin dan tak berperasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Terkadang harus bersikap semena-mena pada orang yang semena-mena
Benar-benar tidak ada pelayan di dapur. Namun boro-boro memikirkan hal itu, Tasya bahkan tak bisa lagi menahan panas di tangannya itu.
"Bibi Maria!"pekik Tasya.
"Bibi Leni!"
Tasya memanggil semua orang yang bekerja di bagian dapur dan rumah utama bagian belakang. Tapi, sama sekali tidak ada yang keluar. Bagaimana mau keluar, Maria sekarang bahkan masih pingsan di belakang kandang burung. Sedangkan Leni, wanita itu sudah di beri obat tidur di ruangannya oleh Lusi.
Bukan Leni saja, semua pelayan termasuk pelayan bagian halaman juga sudah di beri obat tidur. Lalu para satpam dan penjaga, mereka juga sudah di bereskan oleh Riko. Di kopi mereka, Riko juga menambahkan obat tidur.
"Duduklah dulu, aku akan siapkan air!"
Tasya itu sebenarnya cukup terpelajar. Akan tetapi, yang namanya orang sudah panik, sudah sangat kesakitan. Dia benar-benar lupa, kalau seharusnya saat terluka seperti itu, dia meletakkan tangannya itu di bawah air dingin yang mengalir.
Dia kesakitan, tidak bisa berpikir dengan baik. Sementara paula sudah mengambil baskom besar. Dan menuangkan air di sana. Namun bukannya air dingin, atau air es seperti yang dia katakan tadi. Dia menuangkan air panas di dalam baskom itu.
Paula pura panik, dan membawa baskom air itu ke atas meja. Lalu menjauh dari Tasya. Tentu saja dia harus menjauh, karena jika tidak, saat Tasya menyadari itu air panas. Mungkin akan segera ada adegan baskom terbang. Dan tentu saja dia tidak mau terkena panasnya.
Tasya segera mengarahkan tangannya itu ke baskom, itu tengah malam. Kabur asap air itu harusnya terlihat. Namun karena mata Tasya berlinang air mata menahan sakit, dia juga kurang memperhatikan.
"Agkhh"
Pranggg
Baskom berisi air panas itu terjatuh, atau lebih tepatnya di jatuhkan tanpa sengaja karena Tasya refleks, tangannya terkena air panas hingga dia menyenggol baskom itu sampai jatuh ke lantai.
"Kamu ingin membunuhhku?" pekiknya marah sekali pada Paula.
'Wah, hebat sekali bisa tahu isi pikiranku. Tapi membunuhmu sekarang terlalu mudah untukmu' batin Paula.
Dan Paula kembali cosplay jadi Alisa yang sangat polos.
"Tasya, kenapa? kakimu merah!"
Kata Paula, yang melihat kaki Tasya merah, terkena siraman air panas dari baskom.
"Aghkk!" Mata Tasya membelalak lebar melihat kaki kanannya merah terkena tumpahan air panas.
Karena tangannya sakit, panas dan pedih. Dia sampai tidak merasakan luka itu di kakinya.
"Aduh bagaimana ini?" tanya Paula sok kebingungan.
"Bibi Maria! satpam! satpam!" teriak Tasya.
Paula membiarkan Tasya berteriak beberapa saat. Tapi kemudian dia melambaikan tangan pada Riko. Membuat mereka tidak perduli pada Tasya terlalu lama juga tidak baik. Di rumah ini ada kamera cctv, dan akan aneh kalau empat satpam tidak ada yang mendengar satupun teriakan Tasya.
Riko yang mendapat isyarat dari Paula, segera berlari ke dalam.
"Nyonya"
"Gendong aku, bawa aku ke rumah sakit. Cepat!" pekik Tasya.
Riko belum bergerak, setelah dia melihat Paula mengangguk. Baru Riko menggendong Tasya dan membawanya ke luar rumah.
Paula mengikuti dari belakang.
"Apa yang kamu tunggu, buka pintu mobil!" kata Tasya pada Paula.
Paula yang tadinya santai pun pura-pura cosplay lagi jadi Alisa. Dia berusaha terlihat panik natural.
"Iya" katanya.
Dan belum semua kaki Tasya masuk ke dalam mobil.
Brakk
Paula terkekeh tanpa suara setelah menutup pintu mobil itu dengan kencang.
"Agkhh!"
Paula semakin puas rasanya mendengar suara pekikan Tasya dari dalam mobil.
"Nyonya, dibawa ke rumah sakit mana?" tanya Riko pada Paula.
Paula segera berjalan ke arah Riko dan membisikkan sesuatu pada orangnya itu.
"Bawa ke rumah sakit Bandar. Tapi bawa dia berkeliling dulu, ayo!" kata Paula yang masuk juga ke dalam mobil, di bagian penumpang sebelah pengemudi.
Tasya yang melihat Alisa duduk di depan merasa semakin kesal.
"Kenapa malah duduk di depan, kipasi tanganku! ini sangat panas!" pekiknya.
'Ya ampun, sudah terluka seperti itu masih marah-marah. Gen tiga anak paman Austin ini benar-benar turunan dari Berta sepertinya!' batin Paula.
"Aduh Tasya, kalau aku duduk di sana. Yang ada aku akan melukai kaki dan tangan mu. Kamu tenang ya, tenang di belakang sana. Aku akan kecilkan AC mobilnya" kata Paula menekan panel yang ada di dashboard.
Tapi, bukan mengecilkan suhu hingga membuat kondisi di dalam mobil bertambah dingin. Paula malah meninggikan suhunya, membuat udara di dalam mobil semakin panas.
Riko yang melihat itu sungguh tak bisa berkata-kata. Benar kata Joyce, nona mudanya bukan orang yang bisa di singgung.
Perjalanan yang bisa di tempuh kurang dari satu jam. Bahkan sekarang sudah satu jam 15 menit. Mereka belum tiba di rumah sakit.
Kondisi mobil yang acnya bersuhu tinggi membuat Tasya semakin kesakitan. Dia bahkan berkeringat.
"Alisa!" pekik Tasya.
Paula dengan tersenyum menoleh ke arah belakang. Dia bahkan membuka kaca mobil di sampingnya.
"Iya Tasya, sebentar lagi kita akan sampai!"
"Lama sekali!" teriak Tasya lagi.
"Rumah sakit Bandar paling jauh dari rumah. Tapi hanya rumah sakit yang bisa kita datangi!" kata Paula.
Padahal, asal Paula bilang pada Amara. Rumah sakit Medika atau Pertiwi yang jaraknya lebih dekat juga pasti akan menerima. Tapi Paula tidak semulia itu hatinya untuk Tasya.
"Kenapa mobil ini panas sekali!" pekik Tasya lagi.
"Mungkin karena kamu terkena luka bakar. Aku dan pak satpam baik-baik saja" ujar Paula dengan mengkerut, ya seperti Alisa saat merasa kasihan pada seseorang.
Padahal dalam hatinya, dia sedang menertawakan Tasya.
Begitu sampai di rumah sakit, Riko dengan cepat membawa Tasya ke dalam. Membaringkannya di salah satu tempat tidur pasien. Para perawat datang dan meminta agar Paula melakukan proses administrasi.
"Dimana?" tanya Paula pura-pura tidak mengerti.
Wajah polos ala Alisa sungguh membuat Riko ingin tertawa. Tapi dia berusaha keras menahannya.
Tasya yang mendebarkan Paula bertanya seperti orang bodohh, menjadi sangat kesal.
"Dasar bodohh! di bagian administrasilah, lihat petunjuk jalannya!" kata Tasya yang masih sempat-sempatnya berteriak pada Paula.
Paula mengangguk paham. Tapi baru dua langkah pergi, Paula berbalik dan menghampiri tempat tidur yang sudah mau di dorong perawat ke unit gawat darurat.
"Oh ya, biasanya di bagian administrasi itu di tanya apa?" tanya Paula lagi dengan wajah polos.
'Nona muda, anda kejam sekali. Adik ipar anda sudah sangat kesakitan. Tapi itu bagus, terkadang orang yang semena-mena seperti nona Tasya. Memang harus diberi pelajaran seperti itu!' batin Riko.
"Agkhh! bodohh sekali! telepon kak Mark. Atau telepon kak Karina. Kamu memang tidak berguna!" pekik Tasya hampir pingsan karena marah.
"Aku tidak punya telepon, kamu tahu itu kan?" tanya Paula dengan wajah polos.
"Satpam! telepon kak Mark!" teriak Tasya.
Paula menoleh ke arah Riko, dan memberikan sedikit kedipan mata.
"Maaf nona, aku orang baru. Tidak punya nomor tuan!"
"Agkhh!" pekik Tasya frustasi.
Sementara Paula dan Riko saling pandang sekilas. Mereka sungguh sangat berusaha untuk menahan tawa.
***
Bersambung...