NovelToon NovelToon
Pura-pura, Menjadi Istri Tuan Muda Calvino

Pura-pura, Menjadi Istri Tuan Muda Calvino

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Pengganti / Nikah Kontrak / Obsesi / Beda Usia / Identitas Tersembunyi / Tukar Pasangan
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Teriablackwhite

Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.

Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.

Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.

Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.

Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22—PPMITMC

Ada konspirasi apakah ini?

Caroline membeku di tengah lapisan anak tangga. "Hah?!" serunya agak lantang.

Semua orang yang ada di sekitar sana spontan mengalihkan pandangan pada Caroline, termasuk Dennis yang ada di samping kanan.

Anak kecil itu menarik rok gaun yang digunakan Caroline. "Bunda, kenapa?" Suara itu lembut.

Menembus batas alam bawah sadar Caroline yang nyaris lepas dari kendalinya. Gadis itu menggeleng dan menukar senyum dengan Dennis.

Wajahnya tertunduk, lalu dia menurunkan lutut, berlutut tepat di depan mata Dennis. "Gak apa-apa, Sayang, Bunda mau angkat telepon dulu, ya, kamu sama Kakek dan Nenek dulu," katanya berusaha tenang.

Meski jauh dalam lubuk hatinya, gelisah hati itu terus-menerus menghantuinya bagai kabut tebal yang hanya akan reda jika hujan berdatangan atau ..., saat matahari menyapu pagi.

Dennis mengangguk. Dengan mudahnya anak itu menurut, menuruni tangga dengan perlahan, langkah kecilnya dengan cepat menghabiskan tangga dan mendekati Marisa dan Bambam.

"Kakek ..., Nenek ...," sapanya dengan antusias, "Kita mau main ke rumah Grandpa, ya?"

Di tengah, tubuh mungil itu mendongak, menciptakan ekspresi menggemaskan, dan di antara mereka tidak ada yang bisa menepis kegemasan itu.

Hanya saja mereka memang kerap kali mengabaikan anak kecil ini karena urusan bisnis yang semakin hari kian membengkak, bisnis barunya telah menyita lebih banyak waktu.

Bukan karena mereka tidak peduli atau bukan karena anak ini lahir dari rahim wanita yang tidak pernah mereka setujui sebagai menantu idaman mereka.

"Iya, cucu Nenek yang ganteng. Hari ini kita ketemu Grandpa, ya," sahut Marisa menebar senyum paling manis di wajahnya, bahkan dia menurunkan lutut dan mengelus lembut pucuk kepala Dennis.

Bambam tak berbeda jauh dengan lelaki pada umumnya, kegemasan sang cucu tidak berhasil mengalihkan perhatiannya pada wanita yang dia kira sebagai menantu pilihannya.

Dia lebih penasaran dengan hal yang membuat menantunya kembali ke atas, setelah kakinya berhasil turun hingga setengah jalan.

"Yuzdeline, kenapa kembali ke atas?" Bambam mengerutkan wajah, sebagai tanda bahwa pertanyaan serius ada di tatapan dan mimik wajahnya.

"Bunda mau telepon, katanya nanti turun," sambar Dennis, menjawab dengan tenang sambil berjalan ke sofa.

Anak itu naik ke sofa dan bersandar di sana, menggantung kakinya, lalu mengayunnya penuh keceriaan, di balik itu ada Marisa dan Bambam yang terkejut dengan jawaban cucu mereka.

Bukan karena jawaban anak kecil itu yang seolah paham dengan pembahasan itu, melainkan karena sebutan Dennis terhadap ibu sambungnya yang berbeda.

"Bun-da?" Marisa mengulang ucapan yang telah dikatakan Dennis, "Kenapa cucu ganteng Nenek, panggil Mama dengan sebutan Bunda?" tanyanya dengan paras penuh harapan.

Bambam pun berbalik badan. Mereka sama-sama menghampiri cucunya, lantas mereka berlutut menantikan jawaban dari cucu tercinta.

Tapi, bukan jawaban yang mereka dapatkan, saking pintarnya anak ini, Dennis tidak mengucapkan sepatah kata apapun, dia tersenyum dengan polos.

"Dennis sembunyikan sesuatu?" tanya Marisa mencoba mengorek informasi mengenai perubahan sebutan itu.

Lagi. Dennis menggeleng dengan senyum manis nan polos. "Ssstt ...," desisnya kemudian meletakkan jari telunjuk kecilnya di atas bibir.

Marisa dan Bambam tercengang. Mereka sempat mengerjap, sebelum akhirnya menoleh untuk saling bertukar pandangan.

"Kenapa?" Serempak pasangan itu berseru.

"Kakek dan Nenek jangan keras-keras, Dennis sembunyikan permen dari Mbak, nanti permen Dennis dibuang," celetuk anak itu.

Hah?

Bambam dan Marisa menghenyak sambil mendengus. Lantas mereka terkekeh karena mengharapkan jawaban serius dari anak usia tiga tahun yang akan segera menginjakkan usianya ke angka 4 tahun.

Di tempat lain, Caroline berusaha mencari lokasi yang tidak terbaca oleh cctv, untuk memastikan dirinya aman dari pantauan cctv canggih yang ada di rumah ini.

Terhenti di sudut balkon lantai dua di ruas arah kiri. "Oke, sekarang aku udah ada di tempat aman. Coba jelaskan maksudnya apa? Caroline gelisah.

"Kepala cheft restoran tempatmu bekerja, baru aja datang dan bertanya, kenapa kamu mengundurkan diri, sedangkan siang ini kalian harus menyiapkan acara makan besar untuk sebuah keluarga," terang Hanna Luzmanita.

Seketika dahinya mengernyit. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kejadian ini seolah telah direncanakan oleh seseorang, terlalu aneh jika disebut sebuah kebetulan.

Caroline menghela napas panjang, bibirnya mengeras—menahan amarahnya di sana. "Dengan cara seperti apa aku mengundurkan diri? Sedangkan aku, sejak semalam masih tersandera di istananya Calvino," katanya bersuara tegas.

"Katanya kamu datang ke restoran saat kepala cheft belum tiba, dan kamu menyerahkan surat pengunduran diri dengan wajah sendu pada salah satu pelayan yang sedang bersiap-siap," jelas Hanna di seberang panggilan telepon tersebut.

Impossible!

Caroline semakin menggila. Dia gigit bibir bawahnya sampai detak jantung terdengar memetir-metir. "Ya gak mungkin lah, Han," elaknya tak terima dengan semua hal itu.

Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bahkan Caroline tak pernah terbersit secuil pun untuk melepas pekerjaannya, menjadi Chef di restoran itu sangatlah tidak mudah. Tidak mungkin dia merelakan hal yang dia usahakan selama ini.

Demikian pun dengan Hanna. Dia paling tahu seberapa berjuangnya sang sahabat. Jelas ini ada campur tangan orang lain yang sengaja mengecoh keadaan.

"Kejadiannya jam delapan pagi ini, dan sekarang udah mau jam setengah sebelas. Kalau bukan kamu, itu artinya orang lain dengan wajah yang sama."

Penerawangan Hanna menyadarkan Caroline dalam sekejap mata. Dia membulat sambil terperangah, seketika dia benamkan jari-jemarinya di ribuan helai surainya.

Agak menariknya karena kejadian ini cukup mengguncang jiwanya, sampai sekujur tubuhnya terasa lemah. "Han, Han, Han, ini gawat! Apa ..., Nyonya itu, ya?" tukasnya.

"Ya pasti dia, siapa lagi yang wajahnya sama persis seperti kamu, sampai semua orang gak kenal mana kamu yang asli dan bukan, seperti suaminya yang nyangka kamu istrinya."

Si al!

Rahang Caroline mengeras sesaat setelah napas mendengkus, kasar. "Aarght ..., gila!" kesalnya mengerang.

"Kenapa pasangan ini gak selesaikan masalah mereka sendiri, sih. Si al banget hidupku," geramnya mengepalkan tangan, erat.

"Udah, aku akan coba jelaskan sama kepala Chef kamu." Hanna mencoba menenangkan sahabatnya.

Sayangnya cara itu tidak efektif. Caroline sudah frustasi level akhir, dia menggigit bibir bawah lebih kuat dari sebelumnya, lalu dia sisir rambut ke belakang dengan jari-jarinya yang gemetaran.

"Percuma. Gak akan berhasil. Responnya mungkin akan sama persis seperti Tuan Calvino, menganggap aku hilang ingatan atau sedang memainkan sebuah trik," dengkus Caroline sudah tak tahu harus bagaimana.

Yang jelas, pekerjaannya telah hilang. Caroline terdiam, bingung. Dari mana lagi dia harus mendapatkan uang tambahan demi memenuhi kebutuhan biaya rumah sakit yang semakin membengkak.

Saking kebingungan, nyaris menangis, Caroline tidak sadar jika ucapan terakhirnya telah didengar Calvino sejak beberapa saat lalu.

Lelaki itu tersengih sambil mengangkat satu alisnya. "Ck, bicara dengan siapa dia?" gumamnya menjentikkan ibu jari dengan jari tengah.

Gerak kakinya tak bersuara. Bisikan langkah itu berhasil tiba di belakang Caroline tanpa disadari oleh wanita itu, sigap lelaki itu menyeret tubuhnya menempel ke punggung gadis itu.

Tuk!

Dada bidang nan gagah pria berparas rupawan bak pangeran-pangeran di dunia dongeng itu menyentuh punggung Caroline, ia menjalin momen lebih erat.

Ada ikatan yang terhubung tanpa jaringan. Membuat Caroline spontan menurunkan ponsel dari telinga dan dengan cepat dia matikan panggilan telepon tersebut.

"So ..., kamu sedang memainkan trik apa?" bisik Calvino melingkari pinggang Caroline dengan kekar lengan kanan.

Ditambah lelaki itu menempelkan dada dengan punggung lebih lekat dari sebelumnya, perlahan kepalanya berkelok ke telinga Caroline, di sanalah bibir tipis nan lembut pria itu menggigit telinga si gadis tegang itu dengan sangat lembut.

Degh, degh, degh ....

Aliran napas berjalan lebih cepat dari biasanya, pun denyut nadi berpacu, genting. Caroline memahat ekspresinya menjadi rengekan, kecil. Posisi itu sangat tidak menguntungkan.

Berbalik badan?

Ah tentu akan ada yang terjadi saat dia benar-benar membalik tubuh. Berakhir Caroline memilih untuk diam, membeku bagai patung.

"Gak ada." Jawaban singkat dengan berbagai makna.

'Gak ada' ini adalah dua kata yang mampu memicu adrenalin Calvino mencuat. Senyum simpul, tersemat tajam di ujung bibir. "Itu bukan jawaban, tapi ...."

Sret!

Calvino memutar tubuh Caroline dari area perut.

"Aarght ...." Kaki Caroline tersilang tanpa ada cadangan keseimbangan.

To be continued ....

1
Queen Alma
Waahh, anganku melayang jgn2 Calvino mau main sosor anak org dah 🙈🙈
Queen Alma
apa ini permainan Yuzdeline?
Queen Alma
Dennis takut ketahuan yaaa kalau itu Bunda Caroline bukan Mama Yuz
Queen Alma
kan Caroline di rumah Calvino ya, trus yg mengundurkan diri itu siapa? 🤔🤔🤔
Davika15
Ikatan apa nih
Davika15
Meski ucapannya bener, tapi Yuzdeline terlalu kasar
Queen Alma
kira2 ngambil apa ya Dennis
Queen Alma
weh, untung banyaaakk 😭😭🤧🤧🤧
Teriablackwhite: Lumayannn, daripada gratisan katanya
total 1 replies
Queen Alma
mukegileeee 😅😅😅😅
Queen Alma
timpuk aja sih, nyebelin bgt Calvino 😅😅🤭🤭
Queen Alma
kasian Caroline 🤭🤭🤭
Moga aja Calvino gk kebablasan
Teriablackwhite: Gak kok, amann
total 1 replies
Queen Alma
Jangan Cal, dia bukan istrimu, jgn main sosor karena cemburu ya 🤏🤭
Teriablackwhite: Perasaan cemburu muncul pas Caroline, sebelumnya dia mana peduli 😂
total 1 replies
Queen Alma
ketika istrinya pulang Calvino udah jatuh cinta sama Caroline heheeee
Queen Alma
entahlah, apa yg diinginkan Marisa sebenernya, bkin pusing aja 🤭😅
Queen Alma
disaat Calvino mulai sedikit kasihan eh yg di rumah lain Yuzdeline 😅😅😅

nasib mu yuz, anyep bgt
Queen Alma
apa Calvino bakalan dapat jawabannya dari Marisa?
Queen Alma
kebalik, padahal Marisa sendiri yg kaya bgtu
Queen Alma
nah kan skrg semua org salah sangka, semoga Marisa bisa merestui mereka nntinya saat tau kebenarannya
Teriablackwhite: Semoga, ya /Sob/ soalnya Marisa lumayan serakah
total 1 replies
Queen Alma
ini, bapaknya aja nyaman, apalagi anaknya nnti, makin lengket dh mereka sama Caroline
Teriablackwhite: Anaknya jadi saingan bapaknya 😄
total 1 replies
Queen Alma
Calvino jgn encum dia bukan istrimu weh 😭😅
Teriablackwhite: si Calvino emang agak Laen 🤭 sebelumnya gak pernah mau lirik, yang ini diterobos
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!