Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 Ketidak jujuran Adrian
Rumah terasa lengang setelah Mama Adrian dan Clarisa pergi. Keheningan itu bukan ketenangan—lebih mirip sisa badai yang meninggalkan puing-puing.
Alira duduk di sofa, memeluk bantal seakan itu perisai. Matanya sembab, tapi ia paksa tersenyum tipis. Adrian berdiri di dekat jendela, punggungnya tegang, tatapannya menembus gelap malam di luar sana.
“Mas…” suara Alira pelan tapi jelas. “Benarkah… dulu Mas hampir menikah sama Clarisa?”
Adrian tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, tangannya menyelip di saku. “Itu masa lalu.”
Alira menatapnya lama, kemudian mendengus pendek. “Masa lalu ya? Tapi kok rasanya masa lalu itu ikut duduk manis bareng kita di ruang tamu tadi.”
Adrian menoleh sekilas, sorot matanya dingin. “Aku tidak mau membicarakannya lagi.”
Alira terdiam sebentar, lalu menurunkan bantal dari pelukannya. “Lucu ya, Mas. Mama lebih hafal kelebihan Clarisa daripada aku. Kalau Mama ditanya, mungkin jawabnya: Clarisa elegan, pintar, matang. Kalau aku? Ah, itu Alira, jago gosongin ayam.” Ia tertawa kecil, tapi suaranya getir.
Adrian tidak bereaksi.
Alira menarik napas panjang, lalu menatap lurus padanya. “Mas, aku cuma mau tahu satu hal… dari awal perjodohan ini, pernah nggak Mas benar-benar mikir kalau aku ini pilihan yang Mas inginkan?”
Adrian mendekat, tatapannya tajam. “Alira, aku sudah menikah denganmu. Itu fakta.”
“Fakta, ya?” Alira tersenyum miring. “Jadi aku ini fakta, bukan cinta?”
Adrian terdiam. Sekilas sorot matanya berubah, tapi bibirnya tetap rapat.
Alira merasa dadanya diremas. Ia tahu, sejak awal Adrian memang tidak pernah mengucapkan kata “cinta” padanya. Tapi mendengar heningnya jawaban sekarang justru lebih menyakitkan daripada penolakan.
“Mas,” suaranya lirih, tapi nadanya dingin. “Aku ini istri kamu karena orang tua kita yang jodohin. Bukan karena Mas milih aku. Jadi… apa aku cuma kewajiban buat Mas?”
Adrian menatapnya dalam, tapi masih diam.
Alira tertawa pelan, mencoba menutupi luka. “Kalau gitu, kasih aku ranking aja, Mas. Biar aku tahu posisiku. Clarisa nomor satu, aku nomor berapa?”
Adrian menghela napas panjang, lalu duduk di sampingnya. “Jangan bicara bodoh.”
Alira menoleh dengan senyum pahit. “Kalau bodoh, mungkin iya. Tapi lebih bodoh lagi aku yang berharap Mas akan bilang cinta sama aku.”
Adrian menatapnya, kali ini lebih lembut, tapi tetap tanpa kata cinta. “Aku tidak pernah main-main dengan pilihanku. Kamu ada di sini, berarti kamu penting untukku.”
Alira terdiam. Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tapi justru membuat hatinya makin kacau. Penting itu beda dengan dicintai.
Air matanya jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya sambil tertawa kecil. “Ya udah, Mas. Kalau gitu aku akan jadi istri paling penting… yang spesialis gosongin ayam.”
Adrian mengulurkan tangan, menyentuh kepalanya sebentar. “Kamu lebih dari itu.”
Alira menunduk, tidak menjawab. Hatinya terasa berat. Ia tidak tahu apakah harus percaya pada keyakinan Adrian… atau terus merasa dirinya hanyalah bayangan dari masa lalu yang belum selesai.
Saat Adrian kembali ke ruang kerjanya, Alira membereskan meja tamu. Matanya terhenti pada sebuah foto lama di bawah vas bunga—Clarisa dan Adrian berdiri berdampingan, terlihat begitu serasi.
Tangannya bergetar saat memungut foto itu. Senyumnya kecut. “Se-serasi itu ya, Mas…” bisiknya.
Air matanya jatuh lagi. Kali ini tanpa tawa.
jangan lupa like dan komen ya readers 🌹
emang Adrian gak mikir klo alira bisa aja liat beritanya
dan emak lampir jangan-jangan klo si ulet bulu itu anak rahasia nya
greget aku sama Adrian bisanya cuma marah-marah sama ulet bulu tapi gak ada tindakan
gadis seceria seperti alira juga pasti akan tertekan di tambah masalah perjodohan emaknya terlalu ikut campur
salah sendiri kurang tegas sama ibunya sendiri dan mantan