Rahasia Gym 24

Tiga sesi latihan berikutnya berjalan seperti yang Dani rencanakan. Kalina semakin terbiasa dengan kehadirannya. Setiap kali Dani datang, ia selalu disambut dengan senyum lebar dan tatapan mata yang, walau berusaha disembunyikan, menyiratkan rasa penasaran.

Sore itu, cuaca sedikit mendung. Kalina mengenakan atasan olahraga berwarna merah menyala dengan celana pendek hitam yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Saat Dani datang, ia menyodorkan sebotol air mineral dingin sebelum mereka memulai pemanasan.

“Dek, aku nggak tahu kenapa… setiap kamu datang, aku jadi semangat olahraga,” kata Kalina sambil tersenyum tipis.

Dani membalas senyum itu, tatapannya hangat namun penuh perhitungan. “Mungkin karena aku tahu cara bikin Kakak nyaman waktu latihan.”

Kalina terkekeh, namun pipinya memerah sedikit. “Ah, kamu ini… pandai merayu, ya?”

Dani mengangkat bahu pura-pura polos. “Bukan rayuan, Kak. Aku cuma bilang apa adanya.”

Latihan hari itu mereka lakukan di ruang fitness mini di dalam rumah. Dani memandu Kalina melakukan squat, lunges, dan plank. Saat membantu memperbaiki posisi punggung Kalina, ia sengaja mendekatkan tubuhnya. Tangannya menepuk ringan pinggang Kalina untuk mengoreksi postur, suaranya terdengar rendah dan lembut di telinga.

“Pinggangnya sedikit diturunin… nah, gitu. Badan Kakak jadi lebih seimbang,” ucap Dani.

Kalina menelan ludah, sedikit gugup. “Kau… terlalu dekat.”

Dani tersenyum kecil, tidak segera mundur. “Kalau aku jauh, aku nggak bisa pastiin posisi Kakak benar.”

Kalina menghela napas, lalu melanjutkan gerakan. Dani tahu dia sedang salah tingkah, karena beberapa kali matanya menghindar, dan senyumnya muncul tanpa alasan jelas.

Saat sesi hampir selesai, mereka beristirahat di sofa ruang fitness. Dani duduk di samping Kalina, jarak mereka hanya beberapa jengkal.

“Kak, boleh jujur?” tanya Dani, menatapnya lekat-lekat.

Kalina memiringkan kepala. “Jujur apa?”

“Aku rasa… aku nggak cuma bisa bikin Kakak sehat lewat olahraga.”

Kalina mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. “Maksudnya?”

Dani mendekat sedikit, suaranya merendah seperti bisikan rahasia. “Aku juga… bisa bikin Kakak sehat dengan cara lain. Di atas ranjang, misalnya.”

Kalina langsung terdiam, pipinya merona. Matanya membesar sebentar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. “Kau ini… gila, ya?” ucapnya, tapi nada suaranya tidak marah—lebih ke gugup bercampur penasaran.

Dani tetap menatapnya, senyum tipis terukir di bibirnya. “Bukan gila. Aku cuma… peka. Aku bisa lihat kalau Kakak butuh sesuatu yang nggak bisa dikasih sama dumbbell atau treadmill.”

Kalina meneguk air mineralnya, berusaha menutupi keterkejutannya. “Kau terlalu percaya diri.”

“Bukan percaya diri… yakin,” balas Dani, suaranya dalam. “Kalau Kakak mau, aku bisa buktikan. Tapi tentu… hanya kalau Kakak yang minta.”

Kalina tertawa gugup, memainkan ujung handuk di pangkuannya. “Aku pikir kamu cuma personal trainer polos.”

Dani mendekat sedikit lagi, membuat Kalina bisa mencium aroma maskulin dari tubuhnya yang masih berkeringat tipis. “Aku personal trainer yang tahu bagaimana membuat kliennya… puas. Di semua hal.”

Mereka saling menatap beberapa detik. Dani bisa merasakan napas Kalina sedikit memburu, tanda bahwa ucapannya mulai membekas. Tapi sebelum suasana semakin panas, Dani bangkit berdiri.

“Baiklah, sesi hari ini selesai. Nanti malam, pikirkan kata-kata aku, Kak,” ucapnya sambil mengambil tasnya.

Kalina menatapnya pergi, hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Dani tahu, benih yang ia tanam mulai tumbuh. Tinggal menunggu waktu sebelum Kalina benar-benar tergoda untuk memetiknya.