Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arena sirkus
Bab: Operasi Diam di Tengah Kekacauan
Di saat seluruh perhatian kampus tertuju pada kekacauan mendadak di halaman—di mana Rico dan gengnya tengah menghajar Raka dengan brutal, dan para dosen berlarian berusaha melerai—di tempat lain, operasi sesungguhnya dimulai.
Beberapa personel berpakaian seperti teknisi dan staf perawatan bangunan sudah lebih dulu masuk ke dalam kampus sejak pagi. Tak ada yang mencurigai mereka. Semuanya tampak biasa. Mereka membawa tas peralatan besar, helm proyek, dan rompi biru. Tapi di dalam tas-tas itu bukan hanya kabel atau obeng—melainkan peralatan khusus militer, pemindai panas, alat pemotong senyap, hingga alat komunikasi berfrekuensi tinggi.
Jam tangan canggih Raka—yang sudah terhubung ke jaringan tim—mengirim sinyal konfirmasi ke sistem mereka: "Gangguan dimulai. Waktu kalian 14 menit."
Seorang pria bertubuh kekar dan wajah dingin yang dipanggil Kapten Iqbal memberi isyarat tangan.
“Gerak sekarang. Tim satu ke sektor barat, cari jalur bawah tanah. Tim dua, ikut aku lewat ruang arsip.”
Mereka bergerak cepat, nyaris tanpa suara. Para personel mengenakan kacamata dengan penglihatan termal, menyisir lorong-lorong tersembunyi di balik laboratorium lama dan ruang dokumentasi universitas yang sudah jarang dipakai. Semua berdasarkan data yang sudah diuraikan Raka malam sebelumnya..
Ada satu penjaga yang menjag tempat itu sedang tertidur.
Brak!
Satu hantaman keras ke tengkuk dari belakang—tanpa sempat bersuara, tubuh penjaga itu limbung, lalu jatuh tersungkur dengan bunyi gedebuk tertahan. Tangannya bergerak refleks, tapi sudah ditahan—dihajar lagi satu pukulan ke perut sampai napasnya tercekat. Sekali lagi ke pelipis—dan tubuhnya ambruk, tak sadarkan diri.
Kemudian membergolnya untuk dibawa ke markas..
Tim bergegas menemukan pintu tersembunyi menurut petunjuk yang sudah di pindai di balik rak besi penyimpanan dokumen kadaluarsa. Pintu itu terkunci dengan sistem elektronik usang—mudah dijebol.
Ceklik.
Begitu pintu terbuka, hawa lembap menyergap. Tangga menurun tampak gelap, hanya diterangi lampu-lampu redup yang berkedip pelan. Mereka bergerak masuk, senjata disiapkan.
Kapten Iqbal menuruni tangga pelan-pelan, lalu berhenti saat suara berat rantai terdengar dari kejauhan.
“Kontak visual,” bisiknya pelan di mikrofon.
Di sebuah ruangan sempit yang dikelilingi dinding beton dan jeruji besi, terlihat satu sosok kurus dengan rambut panjang tak terurus duduk lemas di sudut. Akmal Putra Wijaya
.
“Akmal?” suara Iqbal rendah namun jelas.
Akmal terdiam sejenak, sebelum mengangguk lemah. “
Tanpa banyak bicara, dua personel segera membuka sel menggunakan alat pembuka medan magnet. Akmal dibopong keluar, tubuhnya masih lemah tapi kesadarannya penuh.
Tepat saat mereka akan naik kembali, suara dari alat komunikasi berbunyi lirih.
> “Hanya dua menit sebelum sistem keamanan cadangan aktif. Gerak cepat.”
.
Akmal dibopong oleh dua anggota tim, wajahnya masih tampak pucat, tubuhnya kurus dan linglung, tapi ia sadar.
Satu anggota tim membuka jalan di depan. Saat mereka menuruni lorong sempit menuju pintu darurat di sisi gedung tua, mereka dihadang oleh satu penjaga bersenjata ringan.
Tanpa basa-basi, anggota tim paling belakang melayangkan pukulan siku ke arah leher si penjaga, diikuti sapuan lutut ke perut dan satu hantaman ke pelipis. Pria itu limbung dan tumbang dalam diam.
“Bawa dia. Kita tinggal lima menit sebelum situasi dipulihkan,” bisik salah satu dari mereka.
Tak lama, mereka mencapai van hitam tanpa plat yang sudah menunggu di luar pagar kampus. Akmal segera dinaikkan ke dalam kendaraan.
Sebelum pintu ditutup, salah satu dari mereka sempat mengangkat jam komunikatornya dan menekan tombol sinyal ke raka,
.
Disisi lain raka Di antara hiruk-pikuk di halaman kampus, Raka masih dalam posisi terjepit. Rico mencengkeram kerah bajunya dan menghantamkan tinjunya lagi ke pipi Raka.
“Kurang ajar kau! Mau cari mati, hah?!”
Dosen yang mencoba melerai pun kewalahan. Beberapa staf keamanan baru berdatangan, tapi belum cukup cepat membubarkan keributan. Raka melirik ke jam canggihnya yang berkedip hijau—sinyal misi berhasil. Tim telah membawa Akmal keluar dari tempat persembunyian di bawah gedung teknik lama.
Tepat saat itu, sebuah pukulan Rico mendarat di wajah Raka—keras dan telak. Tubuh Raka terhuyung. Kacamatanya terlepas. Satu softlens-nya ikut bergeser setengah keluar, menyisakan kilau hazel samar di mata kirinya.
Salah satu mahasiswa yang menyaksikan dari dekat sempat mengerutkan alis.
“Eh… matanya barusan…?”
Tapi sebelum siapa pun sempat memperhatikan lebih jauh, seorang staf kampus berteriak.
“Cukup! Bubarkan! Kalian semua masuk ke kelas!”
Dua petugas keamanan akhirnya menarik Rico menjauh. Raka tetap meringkuk di tanah, pura-pura kesakitan sambil perlahan menyelipkan kembali kacamatanya dan menyesuaikan softlens yang hampir lepas.
.jam tangan rafa bergetar dan sinyal biru menyala, menandakan misi berhasil. sudut bibirnya terangkat, lalu melanjutkan pura" kesakitan.
.
.
Dari balik gerbang kampus, Cheviolla berdiri mematung. Matanya tak berkedip memandangi keributan di halaman—keributan yang dipicu oleh satu nama yang baru saja keluar dari rumah sakit: Raka Arya Pratama.
Ia menghela napas pelan, tak tahu harus tertawa atau mengutuk kebodohan pacarnya yang baru jadian sehari itu. Entah apa yang direncanakan Raka—Cheviolla memang tidak diberitahu apa pun. Tapi setelah melihat aksi nekat menabrak Rico lalu muntah bubur dua porsi di mukanya, Cheviolla sudah cukup tahu bahwa pemuda ini sedang main-main dengan hidupnya.
Tanpa sepatah kata, Cheviolla melangkah masuk dengan wajah datar. Dosen dan staf yang melihatnya refleks menyingkir. Aura dinginnya begitu jelas—seolah dia sedang membawa peti mati dan siap menaruhnya di atas kepala Raka.
Begitu sampai di dekat Raka yang sedang pura-pura tergeletak, Cheviolla tidak banyak bicara. Ia langsung menarik telinga Raka.
“ADUH! Sakit… sakit, Chev! Ampun—baru sembuh ini, serius—!”
Namun Cheviolla tetap diam. Wajahnya dingin dan tak tergoyahkan seperti patung marmer. Dengan tangan satu lagi, dia menyambar kerah Raka, dan menyeret pemuda itu seperti menyeret anak SD ke ruang guru.
.
Kerumunan yang sedari tadi mengelilingi halaman kampus, mendadak riuh.
“Hei… lihat itu…”
“Ya Tuhan… itu Cheviolla!”
“Cheviolla si Dewi Es Kampus!”
.
"apa gosip itu benar, siculun pacar si gunung es.
"benar benar katak memeluk bulan.
" huaaa chev aku patah hati.
Sorak sorak terdengar di seluruh halaman kampus..
Cheviolla nampak tak terpengaruh, iya terus brjalan menjewer raka, dan menariknya berjalan ke arah UKS.
.
Sementara itu, Rico yang masih di seret beberapa dosen dan ke amanan menuju ruang dekan, wajahnya menghitam karena amarah yang membara. Sisa bubur masih menempel di seragamnya, dan sorot matanya mengikuti punggung Cheviolla dan Raka yang makin menjauh.
.
.,
Grup kampus kembali membara.
Notifikasi berdenting tiada henti.
Puluhan foto dan video mulai bertebaran di berbagai grup chat, dari angkatan hingga forum kampus. Tak butuh waktu lama untuk menyebar ke akun-akun gosip anonim yang biasa membahas kehidupan mahasiswa elit.
Satu foto viral menunjukkan Riko dengan seragam penuh bubur, ekspresi wajahnya meringis jijik, setetes muntahan menempel di kerah bajunya.
Komentar pun meledak:
> “Brooo, itu muntahannya Raka ya??”
“Riko vs Bubur: 0-1”
“Gue nggak bakal bisa makan bubur ayam selama sebulan…”
Video berdurasi delapan detik juga ikut viral. Terlihat dari rekaman itu, Raka berlari sempoyongan, lalu "BOOM!"—menabrak Riko dan dua temannya dengan dramatis. Mereka terjungkal, bubur tumpah, dan salah satu teman Riko bahkan terpeleset sendiri.
Komentar lainnya:
> “Ngakak gila! Tabrakan maut 3 lawan 1 dan yang menang... muntah! 🤮🔥”
“Plot twist kampus hari ini sungguh... masterpiece.”
Namun yang paling bikin heboh adalah tangkapan layar dari rekaman CCTV kampus, di mana Cheviolla menarik telinga Raka menuju UKS, lengkap dengan caption yang menyayat netizen:
> “Kalau bukan cinta... lalu ini apa?”
Dan komentar pun semakin liar:
> “Dewi Es tarik telinga? Kok bisa?! Raka ini siapa sih sebenernya?”
“Kata dosen, cinta itu membuat orang waras jadi gila. Tapi Cheviolla... tetep cantik sih.”
“Lelaki di balik bubur: Raka Arya Pratama. Kita semua butuh tutorial hidup darinya.”
Grup kampus kini seperti arena sirkus. Semua membicarakan hal yang sama: Raka, si cupu culun dengan vespa butut yang entah kenapa bisa dekat dengan Cheviolla, dan Riko, yang kini jadi bahan meme se-angkatan.