Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35. Bapak itu Papa
“Papa udah lama tinggal di kos ini?”
Pelan pelan Dimas menyeruput teh panas yang disajikan Budiman untuknya pagi itu. Setelah melewati dua hari yang berat baginya, harus menghindari kakaknya di rumah, akhirnya hari yang dijanjikan ayahnya datang. Minggu pagi, ia diperbolehkan mengunjungi ayahnya di kos tempatnya selama ini tinggal. Menyembunyikan jati dirinya.
Budiman tersenyum, melirik ke arah putranya yang duduk bersila di karpet lantai kamarnya.
Kamar berukuran 3x4 dengan hanya dilengkapi kasur yang tak begitu tebal tanpa ranjang, dan sebuah plastik kecil di sudut ruangan, kehadiran Dimas cukup membuat hangat ruangan itu. Setelah sekian tahun tidak ada yang bertamu ke kamar Budiman.
“Sudah 5 tahun ini.”
Dimas dan Budiman terdiam sejenak, mereka saling tatap dalam sunyi.
Budiman sadar, pasti ada banyak pertanyaan dalam benak putranya itu. Tentang hidupnya. Tentang apa yang terjadi selama ini. Atau mungkin juga, tentang bagaimana bisa ia berada di tempat ini, tempat yang relatif cukup dekat dengan keberadaan istri dan anak-anaknya selama ini.
“Ada yang tau kamu kesini?”
Budiman membuyarkan lamunan Dimas, ia menggeleng. Membuat Budiman nampak sedikit lega.
“Maaf ya kamar bapak berantakan. Bapak belum sempat membereskan kamar. Kamu sudah keburu datang.”
Laki-laki setengah baya itu mengalihkan kecanggungan, melipat sebuah kain sarung yang ia gunakan untuk selimut, dan sedikit merapikan sprei lusuhnya.
“Aki Daryo bilang, papa pergi dari rumah nenek gak lama setelah mama keluar dari rumah Bandung. Itu bener pa?”
Budiman mematung sekian detik, lalu berbalik badan menatap Dimas. Ia tak menyangka anaknya mengenal sosok Mang Daryo tetangganya di Bandung.
“Dari mana kamu kenal mang Daryo?”
Tatapan mata Budiman membuat Dimas ciut, ia menunduk menatap jari jari kakinya yang sengaja ia gerak gerakan untuk mengusir rasa grogi.
“Kamu ketemu mang Daryo di mana Dimas?”
Ya, memang tidak ada jalan lain bagi Dimas. Jika ia ingin mendengarkan kebenaran cerita dari ayahnya, maka ia juga harus menceritakan semua dengan kejujuran.
“Dimas sama kakak beberapa waktu lalu sempet ke Bandung, nyariin papa.”
Budiman menghela nafas panjang, menatap putranya yang masih tertunduk, tampak seperti ketakutan. Ia tersenyum.
“Trus, kamu di Bandung kemana aja? Ketemu siapa aja? Critain ke bapak.”
Pintanya dengan lembut dan berhasil membuat Dimas sedikit lega.
“Ketemu ki Daryo sama nenek Dini di rumah sakit.”
“Kalian tau dari mana alamat rumah di Bandung?”
“Dari catatan di rapot TK kakak.”
Budiman tersenyum bangga, anak-anak yang cerdas, batinnya.
“Dengan siapa kalian pergi ke sana?”
“Cuma berdua. Kami menginap di rumah tante Rus. Adeknya tante Nurul. Papa ingat kan?”
“Ya… tentu bapak ingat. Tante Nurul teman karib mamamu kan?”
Keduanya manggut-manggut
“Pertanyaan Dimas belum dijawab pa.”
“Pertanyaan yang mana?”
Budiman terkekeh melihat putranya cemberut. Ia kembali menyeduh teh hangat di gelasnya yang sudah mulai kosong.
“Bener apa yang dibilang ki Daryo, kalau papa pergi gak lama setelah kami pindah ke Jakarta?”
“Hmh. Ya, benar.”
“Artinya papa keluar dari rumah nenek sekitar 13 tahun pa. Karena waktu itu umur Dimas baru setahun.”
“Iya, bapak memang sudah keluar dari rumah nenek 13 tahun.”
“Kalau papa pergi udah 13 tahun tapi baru 5 tahun disini, trus sebelumnya papa kemana?”
Budiman selesai menyeduh tehnya. Ia kembali mendekati Dimas dan duduk bersila disampingnya.
“Cerita hidup bapak terlalu panjang untuk diceritakan. Kamu yakin mau mendengarnya?”
“Dimas datang kesini memang mau denger cerita papa. Cerita yang sebenar-benarnya.”
Budiman mengangguk angguk mendengar pernyataan anaknya yang penuh semangat. Ia tidak menyangka, putranya yang ia tinggalkan saat bayi dulu, sudah menjadi pemuda cerdas dan penuh semangat. Terlebih, anak-anaknya memiliki sikap dan sifat yang sangat manis. Sungguh Nurma berhasil menjadi ibu yang baik.
Ah, kenyataan ini membuat penyesalan dan rasa bersalahnya berlipat-lipat. Sungguh ia laki-laki yang sangat merugi selama ini. Meragukan kesetiaan dan cinta istrinya.
“Baik, baik. Bapak akan cerita semuanya. Tapi, bagaimana kalau kita sarapan dulu. Kita jalan dulu ke depan beli nasi uduk langganan bapak. Gimana?”
Mata Dimas berbinar gembira, ia baru ingat kalau perutnya masih kosong sejak pagi.
Mata Dimas berbinar gembira, ia baru ingat kalau perutnya masih kosong sejak pagi. Tanpa sadar ia mengagguk dengan semangat.
“Pokoknya hari ini kamu bisa seharian sama bapak. Mumpung hari minggu, kamu gak sekolah. Bapak juga libur jualan.”
Budiman beranjak dari duduknya, meraih jaket dan topi di belakang pintu.
“Sebentar pa sebentar.”
Tangan Dimas yang masih duduk di lantai meraih ujung jaket Budiman sebelum sempat ia kenakan. Budiman kembali duduk.
“Kenapa. Ada apa?”
“Bisa gak sih kalau papa jangan panggil diri sendiri bapak, bapak, bapak. Papa itu papa Dimas. Masa iya Dimas gak boleh manggil papa. Harus banget ya bapak?”
Budiman terpaku sekejap, mencerna apa yang dikatakan putranya itu. Lalu tertawa terbahan-bahak setelahnya. Dimas nyengir malu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***