NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan di Antara Cahaya

Pagi itu, cahaya matahari menembus sela tirai, tapi bukannya membawa rasa lega, justru terasa terlalu terang, seolah ingin membongkar sesuatu yang disembunyikan. Leon terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Lana yang masih terlelap di sampingnya, wajahnya tenang namun sedikit lelah.

Pikirannya kembali ke nama di dokumen malam tadi. Nama yang terlalu akrab. Seseorang yang pernah ia ajak bersulang, dan pernah ia percayai menjaga rahasia perusahaan… dan keluarganya.

Ia berdiri, mengambil ponsel, lalu berjalan ke balkon. Jemarinya mengetik pesan singkat kepada seseorang yang hanya ia hubungi di situasi genting.

"Kita perlu bicara. Sekarang."

Tidak ada salam, tidak ada penjelasan.

Lana terbangun ketika Leon sudah kembali duduk di kursi dekat jendela, secangkir kopi hitam di tangannya. "Kamu nggak tidur lagi?" tanyanya, suaranya masih serak.

Leon menggeleng. "Kepalaku penuh. Aku nggak bisa berhenti memikir kan soal tadi malam.

"Nama itu…" Lana duduk, menarik selimut hingga menutupi bahu. "Aku juga masih susah percaya. Dia begitu… dekat sama kita."

Leon menatapnya, ada kilatan dingin di matanya. "Dekat itu justru alasan kenapa dia bisa masuk tanpa kita curiga."

Lana menghela napas, mencoba menenangkan degup jantungnya. "Apa kamu yakin mau bertemu dengan dia langsung?"

"Bukan dia. Tapi seseorang yang bisa memastikan apakah tanda tangan digital itu asli atau tidak."

"Kalau ternyata asli?"

Leon meneguk kopinya. "Kalau asli, artinya kita bukan cuma melawan Titan. Kita melawan orang yang tahu cara membunuh kita tanpa menyentuh kita."

Beberapa jam kemudian, Leon meninggalkan apartemen dengan alasan rapat mendadak. Lana mengerti, tapi perasaan was-wasnya tak bisa dihapus. Ia menghabiskan pagi dengan membereskan kamar Arya, mencoba fokus pada hal-hal kecil, seperti melipat baju, menyapu lantai, menata mainan, namun pikirannya tetap kembali ke folder ARCADIA.

Sekitar pukul sepuluh, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Jangan percayai siapa pun. Bahkan orang yang duduk satu meja denganmu."

Lana membeku. Ia mengetik balasan, namun sebelum sempat mengirim, pesan itu menghilang, terhapus seolah tak pernah ada.

Sementara itu, Leon memasuki sebuah gedung tua di daerah pelabuhan. Di dalam, suasananya remang dan berdebu. Seorang pria berjaket kulit menunggunya di meja kayu panjang.

"Lama juga kamu," kata pria itu, nada suaranya santai tapi matanya memancarkan tatapan waspada.

"Aku nggak punya waktu untuk basa-basi, Raka." Leon melemparkan flashdisk itu ke meja. "Periksa tanda tangan digital di dokumen ‘Proyek Orion — Tahap 2’. Aku mau jawabannya hari ini."

Raka memasang alat khusus ke laptopnya, mulai bekerja. Suara klik-klik keyboard memenuhi ruangan. Setelah beberapa menit, ia menatap Leon. "Ini asli. Tidak ada manipulasi. ini memang tanda tangan dia."

Rahang Leon mengeras. "Kamu yakin?"

Raka mengangguk. "Aku nggak pernah main-main soal autentikasi."

Leon berdiri, matanya dingin. "Kalau begitu, ini berarti perang."

Di apartemen, Lana mencoba menenangkan diri dengan membuat teh. Arya duduk di meja, menggambar lagi. Kali ini, gambarnya memperlihatkan tiga sosok yang berpegangan tangan di depan gedung tinggi… tapi di belakang mereka ada sosok besar berwarna gelap dengan mata merah.

Lana berjongkok di samping Arya. "Sayang, itu siapa?"

Arya mengangkat bahu. "Nggak tahu. Dia cuma berdiri di situ, lihat kita."

Lana tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa dingin yang menjalar di tengkuknya. "Kalau gitu, kita kasih dia topi lucu, biar nggak seram."

Arya tertawa kecil, menambahkan topi segitiga di kepala sosok itu. Tapi rasa tidak nyaman di dada Lana tetap tidak mereda.

Siang menjelang sore, Leon kembali. Wajahnya menyiratkan berita buruk. Begitu pintu tertutup, ia memeluk Lana erat, seolah memastikan ia nyata.

"Itu asli," katanya pelan di telinga Lana.

Lana menarik napas tajam. "Berarti dia memang…"

"Ya." Leon melepaskan pelukan, menatap langsung ke matanya. "Mulai sekarang, kita tidak boleh sendiri-sendiri. Bahkan kalau cuma pergi ke dapur."

"Arya?"

"Dia harus selalu dalam pengawasan salah satu dari kita atau Dika."

Lana mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. "Apa langkah selanjutnya yang akan kamu lakukan?"

"Kita jebak dia. Tapi sebelum itu, kita harus tahu semua yang dia rencanakan."

Malamnya, Leon, Lana, dan Dika duduk lagi di ruang kerja. Kali ini mereka fokus membuka folder-folder lama di flashdisk. Beberapa berisi foto-foto pengawasan gambar jalan, gedung, bahkan beberapa foto Leon saat keluar dari kantor.

Namun folder terakhir membuat darah Lana terasa dingin.

Isinya adalah foto-foto Arya. Di taman sekolah, di depan apartemen, bahkan di dalam mobil bersama sopirnya.

"Ini…" Lana menutup mulutnya.

Leon mengepalkan tangan. "Mereka mengawasi Arya sejak lama."

Dika memandang mereka berdua. "Kalau mereka sudah sejauh ini, berarti rencana mereka sudah dekat tahap akhir."

Leon berdiri, suaranya tegas. "Kita pindahkan Arya malam ini. Aku tahu tempat yang aman."

Pukul sepuluh malam, mereka sudah berada di mobil hitam Leon. Arya terlelap di kursi belakang, dibungkus selimut tebal. Kota terlihat lengang, lampu-lampu jalan memantul di kaca.

Namun setengah jam kemudian, Leon menyadari ada mobil yang mengikuti sejak keluar tol.

"Pegang Arya," katanya cepat ke Lana. Ia menambah kecepatan.

Lana memeluk Arya erat, matanya memantau kaca spion. Mobil di belakang masih mengikuti.

Dika, yang duduk di depan, mengeluarkan ponselnya, mengetik sesuatu. "Aku punya ide buat ngilangin jejak. Tapi kita harus masuk ke jalan kecil."

Leon membelok tajam ke jalur yang lebih gelap. Beberapa menit kemudian, suara mesin di belakang menghilang.

Namun Lana tahu, ini hanya sementara. Mereka pasti akan mencoba lagi.

Mereka tiba di sebuah rumah tua di pinggiran kota, milik seorang mantan rekan Leon yang kini tinggal di luar negeri. Tempat itu jauh dari pusat keramaian, dikelilingi pohon pinus.

Leon menurunkan Arya ke kamar tamu, membiarkan anak itu tetap tidur. Lana duduk di tepi ranjang, membelai pipinya.

"Dia nggak tahu bahaya yang mengintai," bisik Lana.

"Itu bagus," jawab Leon. "Dia harus tetap merasa dunia ini aman, setidaknya di matanya."

Mereka duduk di sana beberapa lama, membiarkan keheningan membungkus mereka.

Namun keheningan itu pecah ketika ponsel Leon bergetar. Pesan masuk, hanya satu kalimat:

"Aku tahu di mana kalian."

Leon menatap layar ponsel, lalu menatap Lana.

"Kamu jangan panik," katanya pelan, “tapi kita mungkin harus siap bergerak lagi kapan saja.”

Di luar, angin malam berhembus, membuat ranting pohon berderit.

Di dalam, Leon dan Lana saling menggenggam tangan, menyadari bahwa permainan ini belum mendekati akhir, bahkan mungkin baru saja dimulai.

Dan entah siapa pun yang berada di balik bayangan itu, mereka sekarang tahu… musuh sedang mengawasi, bahkan di bawah langit yang seharusnya memberi perlindungan sekalipun.

Jangan lupa dukungannya ya🙏🥰

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!