kisah sekretaris yang nikah sama bos nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kholifah NH2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikah?
Hari yang sibuk telah dimulai. Hazel baru tiba di ruang kerjanya setelah menempuh kemacetan hampir satu jam lamanya. Padahal pekerjaannya belum dimulai, tetapi tubuhnya sudah lelah setelah menghadapi kemacetan panjang pagi itu.
Hazel langsung bergegas mempersiapkan berkas-berkas yang di perlukan untuk rapat penting yang tinggal beberapa menit lagi.
Sedang sibuk diruangannya, Hazel kedatangan Dave diruangannya. Sungguh, kehadiran pria itu cukup mengganggu Hazel, sebab, tidak mungkin dia berlarian kesana-kemari di hadapan Dave.
Pria itu tampak menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia sangat paham kebiasaan Hazel yang selalu terburu-buru melakukan sesuatu.
"Hazel?."
"Iya, Pak? Selamat pagi, Pak..."
"Saya cari berkasnya dulu ya, Pak..."
"Aduh, kok nggak ada sih, padahal terakhir ditaruh sini" Hazel bergumam dengan tangan yang masih sibuk mengobrak-abrik isi lacinya.
Dave bersandar di meja Hazel, pria itu memasukkan tangan kedalam saku celana sambil memperhatikan kesibukan Hazel. Suara nafas Dave terdengar berat, dia mulai pusing melihat tingkah sekretarisnya itu.
"Kamu cari apa sih? Berkas notulen rapat? Ada di ruangan saya."
"Apa? Bapak kenapa nggak bilang?."
"Kamu kenapa nggak tanya dulu ke saya?."
"Aduhh...saya udah pusing, Bapak baru bilang."
"Saya lebih pusing liat kamu."
Hazel menghampiri Dave, tangannya merapihkan rompi, dasi serta jas nya yang dipakai Dave agar semakin sempurna. Hazel menatap Dave dengan lekat, bos nya ini memang selalu terlihat tampan.
Hazel tersenyum tanpa sadar, namun ucapan Dave mematahkan senyumnya dan mengganti dengan bibir cemberut di wajahnya. Apa yang Dave katakan?
"Bapak tega mau gantiin saya?."
"Ya, terkadang ngeliat kebiasaan kamu ini bikin saya pengen cari sekretaris pengganti."
"Paaak? Jangan dong."
"Haha, saya bercanda. Saya juga nggak mau kehilangan kamu."
"Apa? Cieee? Bapak suka ya sama saya?."
"Maksud saya, saya nggak mau cari sekretaris baru. Kamu aja udah cukup..."
"Cukup membuat saya pusing dengan kebiasaan jelek kamu di kantor."
"Hehehe, maafin ya, Pak..."
"Ayo, Bapak udah perfect. Udah siap ketemu client."
•••
Siang itu, Hazel memilih beristirahat didalam ruangannya dari pada makan siang bersama teman-temannya. Hazel berbaring diatas sofa sambil memutar musik galau di ponselnya. Ya, Hazel galau karena melihat postingan foto-foto pre-wedding yang Samuel unggah di media sosialnya.
Melihat foto-foto itu membuat Hazel semakin sadar bahwa dia dan Samuel tidak mungkin lagi bersama.
Hazel bimbang dengan keputusannya untuk menghadiri resepsi pernikahan Samuel atau tidak. Jika ia tidak hadir, bisa saja Samuel menganggapnya kalah karena merasa tidak sanggup melihatnya bersanding dengan wanita lain. Tetapi jika ia hadir, entah lah, Hazel bisa menghadapi kenyataannya atau tidak. Kedua pilihan itu sama-sama berat untuknya.
Panggilan telfon internal di ruangan Hazel berbunyi. Seseorang mengatakan pada Hazel bahwa Dave menunggu diruangannya.
Dengan langkah gontai Hazel menghampiri pria itu di ruangannya. Tiba didalam, dia melihat Dave yang sedang sibuk di depan laptopnya.
"Kamu nggak makan siang, Hazel?."
"Nggak mood, Pak."
"Kenapa lagi? Samuel?."
"Pak? Jangan dibahaaas."
Dave bangun dari duduknya dan menghampiri Hazel di sofa. Dia menatap Hazel seakan ada hal penting yang ingin dia katakan. Namun, wajah Dave terlihat cemas dia tampak ragu mengatakannya,
Pria itu menarik nafas panjang sebelum memulai obrolan mereka, "Ibu saya. Kamu tau kan Ibu saya masih dirawat dirumah sakit?."
"Iya, terus kenapa, Pak? Kondisi Bu Widya makin buruk?."
"Bisa di bilang begitu."
"Maksud Bapak? Bu Widya kenapa, Pak?."
"Ibu saya minta ketemu kamu, kamu bisa ikut saya kerumah sakit, kan?."
Mendengar permintaan Dave, Hazel termenung seketika. Widya, ibunda Dave yang masih dalam perawatan dirumah sakit, tiba-tiba ingin bertemu lagi dengannya.
Hazel masih ingat, setiap kali ia bertemu Widya, wanita itu mengatakan bahwa dia ingin sekali Hazel menjadi istrinya Dave.
Namun saat itu Hazel masih menjalin hubungan dengan Samuel dan usia mereka pun terpaut cukup jauh. Menurut Dave, rasanya agak janggal jika dia menjadikan Hazel istrinya. Karena Dave sudah menganggap Hazel sebagai adik perempuannya.
Namun sang Ibunda tidak pernah mengerti ucapannya. Maka dari itu, dia harus meminta Hazel untuk mengatakannya secara langsung pada Widya.
Berharap sang Ibunda bisa mengerti jika segala sesuatu tidak mesti berjalan sesuai keinginan.
Hazel terdiam, dia menimang-nimang permintaan Dave. Tatapan Dave seakan meminta jawabannya dengan cepat dan Hazel pun mengangguk setuju.
Beberapa jam sudah berlalu, mereka berdua tiba dirumah sakit. Langkah Hazel semakin berat, dia sangat bingung dengan apa yang harus dia katakan pada Widya nanti.
Entah lah, sepertinya Hazel memang harus bertemu terlebih dulu dengan Ibunda Dave. Setelahnya, dia bisa memikirkan jawabannya jika benar Widya masih memintanya menikah dengan Dave.
Dave menyadari raut wajah Hazel yang berjalan di sebelahnya. Dia tersenyum sambil menepuk-nepuk puncak kepala Hazel. Membuat Hazel ikut menunjukkan senyumannya,
"Kamu lebih cantik kalau senyum."
"Hm, maksud Bapak?."
"Maksud saya, ya, kelihatan lebih baik." Dave terlihat memalingkan wajahnya, dia merasa canggung dengan apa yang dia katakan pada Hazel.
Melihat gerak-gerik Dave, Hazel menahan tawanya, "Jadi, lebih cantik atau lebih baik, Pak?."
"Lebih cantik."
"Hehe, Bapak ketutupan gengsi."
Keduanya sudah tiba dirumah sakit. Dave berjalan lebih dulu menuju kamar inap sang Ibu, sementara Hazel mengendurkan langkahnya. Hazel mempersiapkan diri sebelum bertemu Widya, dia tidak mau terlihat gugup dan gelisah di depan wanita itu.
"Dave? Kamu udah datang? Dimana Hazel? Hazel ikut bersama kamu, kan? Ibu mau bertemu Hazel, Nak."
Hazel mendengar jelas ucapan Widya dari luar kamarnya. Terdengar Widya sangat ingin bertemu dengannya.
"Ibu?" Hazel memanggil saat memasuki ruangan tersebut, Widya tersenyum lebar dan merentangkan kedua tangannya,
Hazel tersenyum, dia menyambut pelukan wanita itu. Pelukan yang terasa hangat penuh kasih sayang,
"Hazel, anak Ibu" Widya tidak bisa mengungkapkan rasa senangnya, dia mencium kening Hazel bertubi-tubi,
"Gimana keadaan Ibu?."
"Ibu jadi lebih baik setelah bertemu kamu. Terima kasih ya sudah datang..."
"Anak Ibu, kesayangan Ibu" Widya kembali memeluk Hazel, sikap yang sedikit berbeda dari Widya karena dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Dave menarik kursi dan meminta Hazel duduk disamping ranjang Ibunya. Sementara Dave, dia duduk pada sofa yang tidak jauh dari posisi mereka. Dave memperhatikan interaksi Hazel bersama Widya.
Senyum sang Ibu tidak luntur saat bicara dengan Hazel. Namun Dave juga harus siap melihat Ibunya bersedih untuk kesekian kali. Sebab Dave tahu, Hazel akan mengatakan kejujurannya.
Dave bangun dari duduknya, sepertinya dia memberi waktu pada Hazel untuk bicara dari hati ke hati bersama sang Ibu. Dave pun pamit untuk membeli minuman di kantin rumah sakit.
Lambat laun, obrolan Hazel dan Widya mulai berat. Lagi-lagi, Hazel dihadapkan dengan permintaan Widya. Wanita itu masih berharap Hazel bisa menjadi menantunya.
Belum sempat Hazel mengatakan apapun, air mata Widya sudah tumpah. Widya mengeluhkan penyakitnya yang tak kunjung sembuh.
Padahal, dokter pernah mengatakan, Widya sendiri yang membuat kondisinya semakin memburuk. Ada sesuatu hal yang membuat Widya terus memikirkannya dan itu sangat berpengaruh dengan kondisi tubuhnya.
Pikiran itu menghambat kesembuhan Widya. Dia merasa putus asa karena ada keinginannya yang belum terwujud.
Hazel mencoba menebak, mungkin kah karena permintaan Widya itu, yang membuat dia memikirkankan setiap saat sampai tidak memperdulikan kesembuhannya?
Perasaannya Hazel mulai campur aduk, ditambah dengan Widya yang tidak berhenti menangis. Hazel semakin tidak tega, dia hanya mengkhawatirkan kondisi Widya saat ini.
"Ibu cuma mau melihat Dave menikah sama kamu..."
"Kalau suatu saat Ibu pergi, Ibu bisa tenang dan pergi dengan bahagia."
"Ibu, jangan begitu ngomongnya."
"Ibu udah sakit-sakitan, Nak. Ibu udah capek."
"Ibuuu?" Hazel menggenggam tangan Widya dan mengecupnya berkali-kali "Jangan nangis lagi, ya."
"Aku harus gimana sekarang?."
Tidak berselang lama, Dave sudah kembali. Dave berjalan menuju meja untuk menaruh dua botol minuman ditangannya. Hazel pun menyusul, dia berdiri tepat dibelakang Dave.
Dave terkejut saat dia berbalik, lalu dia membungkuk untuk mendengarkan sesuatu yang hendak Hazel katakan,
"Pak Dave? Saya mau jadi istri Bapak."
...•••••••...
...Bersambung ciinnnn...
Nah loh, gimana nihhh kok Hazel mau nikah sama Dave?
yang kepo sama kelanjutannya, klik love ya, jangan lupa like nya juga