Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Membara
...21+...
...•••...
Hayaning melirik ke sekeliling saat mereka melintasi ruang tengah. "Ngga ada orang lain?" tanyanya pelan, suaranya setengah berbisik.
"Tidak, Little Rose. Sore begini mereka lebih suka berdiam di paviliun masing-masing," jawab Ben, suaranya serak, seakan menggantungkan sesuatu di udara.
Hayaning baru hendak menarik napas lega ketika ia merasakan sesuatu—semburat kehangatan yang merayap di kulit lehernya. Ia tersentak kala Ben mencium tengkuknya.
"Jangan dulu…" bisiknya dengan napas memburu, namun kedua tangannya justru mencengkeram kemeja pria itu tanpa sadar.
Ben tertawa kecil, suara yang sarat akan godaan. "Siapa suruh menggoda saya lebih dulu?"
Ben menutup pintu kamar dengan satu gerakan kakinya yang terlatih. Dan begitu mereka benar-benar terkurung dalam ruang tanpa saksi, ketegangan pun memuncak.
Hayaning mendapati dirinya terdesak ke dinding, napasnya tertahan saat Ben mendekat, membiarkan jarak di antara mereka menguap begitu saja. Sorot mata pria itu seakan mengunci dirinya dalam badai yang tak tertahankan—sebuah badai yang siap menelannya bulat-bulat.
"Ben…" ucapnya lirih, namun suaranya mengkhianati kegundahan dalam dirinya ketika tangan lain bergerak di kedua benda padatnya.
"Terlambat, Little Rose," gumamnya sebelum menyapu bibir perempuan itu dengan caranya sendiri—mendalam, penuh klaim. Sementara jarinya bergerak di inti kepemilikan nya.
"Ahh.."
Hayaning menggigit bibir bawahnya, jemarinya mencengkeram bahu Ben saat tubuhnya dibuat kehilangan kendali.
"Ben…" des*hnya hampir tak terdengar, sementara jari-jarinya mencengkeram lengan pria itu lebih erat.
"Inilah permainan basah-basahan yang saya maksud, Little Rose..." bisiknya, suaranya menggelitik telinga Hayaning.
"Haaa..." Haya buru-buru menutup mulutnya, tak ingin suara yang lepas dari bibirnya mengkhianati gejolak yang ia rasakan.
"Oh Gosh... Apa kamu bisa merasakan aliran panas itu?" tanyanya, suaranya menggelitik gendang telinga sang nona, membuatnya semakin tenggelam dalam pusaran yang tak bisa ia hindari.
Haya mengangguk pelan, nyaris tanpa tenaga.
"Ahh... Benji..." Napasnya tersengal, terperangkap di antara kesadaran dan kehilangan kendali. "Ini... terasa aneh, tapi..." Haya menelan ludah, mencoba mencari kata yang tepat untuk menggambarkan debaran yang memenuhi dadanya. "I like it."
"Shit!" Ben hampir lupa bahwa Hayaning adalah kepingan pertama yang ia genggam dalam gengsinya sebagai pria. Tak ada jejak pengalaman dalam gerakannya, membuatnya semakin menyadari betapa rapuh dan polosnya perempuan itu dalam dekapannya.
"Hmphhh..." Ia kembali meraup bibir merah muda itu, menenggelamkannya ke dalam arus g*irah yang semakin tak terbendung.
Lapisan kain yang melekat di tubuh Haya telah lepas satu per satu di antara jemari kekarnya, seiring dengan ketidaksabaran yang menguasainya. Hanya satu yang tersisa, membungkus keindahan terakhir yang masih tersembunyi dari pandangannya.
"Gorgeous, Little Rose." Suaranya nyaris seperti bisikan angin kala melihat dua benda yang memiliki ukuran besar itu terpampang nyata di depan matanya.
Lalu Ben berjongkok, wajahnya tepat berada di area inti tubuh Haya.
"No, no, Ben... Itu memalukan..." Haya menggeleng panik, kedua tangannya berusaha menghalangi, namun sia-sia saat tatapan pria itu tak beranjak dari sana.
"Ssst... Kamu harus merasakan ini." Suara Ben menggetarkan udara di antara mereka, sebelum ia membuka lapisan terakhir itu.
"Cantik," gumamnya terkagum-kagum, dengan cepat wajahnya ia dekatkan, mendesain gelombang yang perlahan meruntuhkan benteng pertahanan Haya.
"Haaa..." Suara tertahan itu akhirnya lolos dari bibirnya ketika lidah Ben menyapu masuk kedalam.
"Ben... he-hentikan... ahhh..."
Ben mengangkat wajahnya, menatap ke atas sana. Ia mendapati ekspresi itu—wajah yang kini bersemu merah, mata yang berkabut dengan sensasi baru yang menguasainya, sementara bibirnya sedikit terbuka, membiarkan des*hannya keluar dalam kepasrahan.
Ben terus membuat nya melenguh, ia terus memainkan lidahnya disana.
"Hnghhh..." Napasnya tercekat, tubuhnya menegang, seolah berada di puncak ombak yang siap menggulung dan menelannya ke dalam arus yang tak tertahankan. Hingga akhirnya, gelombang itu pecah, menghanyutkannya dalam badai yang tak ia mengerti.
Kakinya terasa lemas, nyaris tak mampu menyangga tubuhnya sendiri. Bahkan, kepalanya sedikit pening, masih berusaha mencerna gejolak baru yang mengguncang dunianya.
"Ben, yang tadi itu, memang seperti itu?"
Ben berdiri, ia tersenyum tipis sembari menyeka sisa terjangan Hayaning.
"Aku malu..." Lirihnya, dibegitukan membuatnya benar-benar terkejut.
"Jangan panik, saya tidak akan menyakitimu. Tapi saya juga tidak bisa berjanji untuk bermain lembut," suaranya terdengar rendah, berat, dan mengandung bara yang tertahan.
"Aku bilang aku malu..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Ben hanya tersenyum samar, menunduk, lalu mengecup keningnya dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan g*irah yang membakar di antara mereka. "Percaya pada saya."
"Ah, Ben..." Suaranya tercekat ketika tubuhnya tiba-tiba melayang dalam gendongan pria itu. Dunia seakan bergeser cepat sebelum punggungnya akhirnya menyentuh permukaan ranjang dengan lembut.
Ben tidak berkata apa-apa, hanya tatapannya yang mengunci pandangannya, sementara jemarinya perlahan melepas helaian kain yang masih melekat di tubuhnya sendiri. Meninggalkan satu kain segitiga yang belum ia lepas.
Hayaning menelan ludah. Napasnya sedikit tertahan saat matanya menelusuri dada bidang yang dipenuhi tatto menari di atas kulitnya. Namun, di antara tinta-tinta itu, ia menangkap jejak samar yang berbeda—bekas luka yang hampir tersamar waktu.
"Ben... itu..." Hayaning ragu, ujung jemarinya seakan ingin menyentuhnya, tapi ia menahan diri.
Ben hanya tersenyum tipis, sorot matanya teduh. "Saya bukan Samson, Haya. Saya pun manusia biasa… bisa terluka, bisa jatuh, bisa sekarat."
Hayaning tak lagi bersuara, ia tak mau merusak momen ini dengan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya tentang pria itu.
SRET
Suara gesekan halus memenuhi udara ketika Ben perlahan melonggarkan belenggu terakhir yang masih membatasi dirinya. Cahaya kamar menangkap setiap lekuk ketegangan pada tubuhnya, dan pada kepemilikannya.
Hayaning menundukkan pandangan, napasnya tercekat oleh kesadaran akan realitas yang kini berada di hadapannya. Gila, itu berukuran besar.
Ben tak mengatakan apa-apa, hanya beranjak sejenak ke tepi, tangannya meraih sesuatu lalu memakainya untuk membungkus kepemilikannya. Sekilas, Haya menangkap seberapa banyak kontrasepsi yang pria itu miliki, dan ia mengerti. Ia tahu bahwa dirinya bukan yang pertama untuk pria itu.
Saat Ben kembali mendekat, ranjang di bawah mereka mengeluarkan keluhan halus, menandai awal dari sesuatu yang tak bisa lagi dihindari.
"Lihat saya, Hayaning," suaranya dalam, tegas, namun tetap lembut menuntunnya untuk menghadapi dirinya.
Hayaning ragu-ragu, namun akhirnya menoleh, bertemu dengan sorot tajam yang membiusnya dalam genggaman tak kasatmata.
"Jangan panik," bisik Ben di antara desah napasnya. "Saya tidak akan menyakitimu... tapi saya juga tak berjanji akan bermain lembut."
Ketika sesuatu mulai menyesap masuk ke dalam ruang yang belum pernah tersentuh, tubuh Hayaning menegang seketika, jemarinya mencengkeram punggung pria itu, seolah mencari pegangan di antara pusaran gelombang yang siap menghanyutkannya.
"Damn... Ini seperti... tak pernah tersentuh," gumam Ben dengan rahang mengatup, seolah sedang berusaha menahan diri.
"Ahh...heuhh... Benhhh..."
Hayaning merintih tertahan, napasnya bergetar ketika t*buh mereka mulai meny4tu dalam irama yang semakin erat. Sensasi yang memenuhi setiap ruang di dalam dirinya membuat kepalanya terasa ringan, seakan ada sesuatu yang berputar menggelitik dalam perutnya.
Ben menatapnya dalam-dalam, mengukir senyum tipis yang penuh ketertarikan. Semakin lama, ritmenya semakin menggila, menghantarkan mereka pada tarian yang tak terputus.
"Huuu... Ben, rasanya..." suara Haya terdengar bergetar, jemarinya mencengkeram rambut pria itu dengan putus asa.
Ben hanya tertawa kecil, menatapnya dengan sorot penuh kepemilikan. "Cantik... semuanya tentangmu begitu cantik," bisiknya sebelum menenggelamkan diri lebih dalam dalam samudra yang mereka ciptakan bersama.
"Arghhhhh..."
Sudah delapan bulan lamanya Ben tidak merasakan ini. Bukan sesuatu yang bisa dibanggakan sebenarnya, tapi anehnya, ada ketenangan yang merayap di dadanya.
Seolah ini adalah sesuatu yang sudah lama ia nantikan—atau lebih tepatnya, seseorang. Hanya Hayaning, si nona penyuka bunga mawar ini, yang terus memenuhi pikirannya, bahkan dalam kesunyian paling dalam sekalipun.
Mereka menjelajahi setiap sudut ruangan dalam tarian yang semakin menggila, seperti sepasang pelancong yang menapaki peta tak berbatas. Ben adalah pemandunya, membimbing Hayaning melewati gelombang demi gelombang keint*man yang semakin dalam. Dan kini, di atas sofa, ia mendekapnya erat, membiarkan tubuh mereka menyatu dalam ritme yang sudah menjadi bahasa mereka sendiri.
Tatapan mereka bertaut, dua pasang mata yang sama-sama terbakar oleh sensasi yang tak kunjung reda.
"How do you feel, cantik?"
Hayaning menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan kata-kata dari antara debar yang masih menggetarkan tubuhnya.
"Campur aduk... tapi aku merasa lega di satu sisi."
Ben mencondongkan kepalanya, menatapnya penuh tanya. "Untuk?"
Hayaning menahan napas sejenak, lalu mengembuskan helaan ringan. "Untuk kamu yang sudah menyamarkan sedikit noda yang pernah tertinggal di tubuhku."
Kening Ben mengerut. "Pardon?"
Namun, bukannya menjawab, Hayaning justru menenggelamkan dirinya ke dalam pelukannya. Seakan ingin menghilangkan jarak yang bisa membuatnya rentan. Ada sesuatu yang ia sembunyikan—sebuah rahasia yang mungkin terlalu dalam untuk diungkapkan. Dan Ben, meskipun terbiasa menuntut jawaban, kali ini memilih membiarkannya.
Lalu, seolah ingin mengalihkan pikirannya sendiri, Hayaning menggumam, "Akhhh....Benji... Kenapa rasanya kamu semakin... kuat?" Ia menatapnya dengan ekspresi yang penuh kebingungan dan keheranan.
Ben terkekeh, jemarinya mengusap punggung Hayaning dengan lembut. "Mungkin karena saya menyukai tempatnya... Terlalu nyaman untuk ditinggalkan begitu saja."
PLAK.
Ben tertawa kecil saat bahunya menerima pukulan pelan dari tangan mungil itu. "Haahh... Jangan begitu, Ben. Ini saja aku sudah ke...—" Kalimatnya menggantung, terbata oleh debar yang kembali menguasai tubuhnya.
Ben mendongak, menatapnya dengan seringai yang tak bisa disembunyikan. "Justru saya semakin tergoda ketika kamu seperti ini."
Dan dalam satu gerakan, ia kembali merengkuh Hayaning, membawa mereka ke dalam gelombang yang masih panjang perjalanannya.
•••
Pagi itu, sinar mentari masih malu-malu menembus celah tirai, tapi Hayaning telah lebih dulu merasakan kehangatan yang lebih nyata—bukan dari sinar matahari, melainkan dari tubuh Ben yang membungkusnya erat di bawah selimut.
"Ben, tubuhmu hangat," gumamnya, membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam dalam dekapan itu.
Ben menyeringai kecil, suaranya berat dan masih diliputi kantuk. "Jangan terlalu menggeliat, nanti kamu membangun Joni ku. Memangnya masih sanggup?" bisiknya dengan nada menggoda.
TUK!
Sebuah jitakan mendarat di keningnya.
"Pagi-pagi ngga usah mulai begitu, Benji!" Hayaning mendelik, pipinya sudah memanas sebelum matahari sempat naik sepenuhnya.
Ben terkekeh pelan, sama sekali tak keberatan dengan protesnya. Ia mengusap keningnya yang baru saja dijitak, lalu menatap perempuan itu dengan sorot mata penuh kenakalan terselubung.
"Kamu yang mulai lebih dulu, Little Rose," bisiknya, lalu tanpa peringatan menarik Hayaning lebih dekat hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka.
Hayaning mendengus, pura-pura sebal, tapi tidak berniat menjauh. "Aku cuma bilang tubuhmu hangat, bukan ngajak yang lain-lain!" tukasnya, mencoba terdengar galak.
Ben menatapnya penuh arti, sudut bibirnya terangkat dalam seringai tipis. "Masalahnya, kalau kamu terus menggeliat seperti ini, tubuh saya bisa bereaksi sendiri."
Seketika itu juga wajah Hayaning memerah. Ia buru-buru menenggelamkan dirinya ke dalam dada Ben, menyembunyikan rona yang tak bisa ia kendalikan.
"Udah, ngga usah bicara aneh-aneh, ih!" gerutunya, sementara Ben hanya tertawa kecil, semakin menikmati pagi yang terasa lebih hangat dengan perempuan dalam dekapannya.
Lalu hening mengisi ruang di antara mereka cukup lama. Sepasang mata cokelat dan hitam saling bertaut, mencari makna masing-masing dalam diam, sebelum akhirnya Hayaning mengambil inisiatif untuk berbicara lebih dulu.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Ben menatapnya dengan alis sedikit berkerut. "Untuk apa?"
Hayaning terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. Suasananya berubah sendu.
"Ben, ketika empat hari aku mengurung diri di kamar, aku merasa... tidak punya keinginan untuk melakukan apa pun." Untuk pertama kalinya, ia ingin terbuka dengan orang lain.
"Aku hanya bisa terbaring di atas kasur, menggulir layar ponsel, membaca buku novel atau menonton tayangan televisi yang bahkan tidak menarik. Aku ingin bangkit, tapi aku merasa tidak punya tenaga. Kepalaku selalu mendikte hal yang tidak baik." Jelasnya melanjutkan.
Ben tidak langsung merespons, tapi caranya menatap Hayaning penuh perhatian, memberi ruang bagi perempuan itu untuk melanjutkan bicaranya.
Hayaning menatap Ben begitu dalam, air matanya kembali luruh. "Sejujurnya, kamu adalah orang pertama yang menyambutku dengan pertanyaan seperti, ‘Apa yang terjadi denganmu?’ atau ‘Apa kamu baik-baik saja?’"
Suaranya bergetar saat ia merapatkan pelukannya lebih erat.
"Tidak ada yang bertanya padaku seperti itu sebelumnya..." lanjutnya dengan suara lirih. "Tidak ada yang benar-benar peduli seperti kamu yang dengan khawatir menghampiriku, seolah aku adalah sesuatu yang berharga yang patut untuk diprioritaskan."
"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi... selama ini aku merasa sendirian. Bahkan di antara orang-orang yang seharusnya menjadi keluargaku, aku tetap merasa seperti orang asing."
Ben mengusap punggungnya seringan kapas, membiarkan perempuan itu meluapkan semua yang selama ini ia pendam. Ia tidak perlu berkata apa pun, tidak perlu menjanjikan hal-hal manis. Ia hanya perlu ada di sana—untuk mendengarkan, untuk membuat Hayaning tahu bahwa ia tidak sendirian.