Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 24
Batas-batas yang dibangun oleh Kafka berakhir tak berguna ketika pagi tiba. Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, dia harus menghadapi sebuah kenyataan yang mengguncangkan seluruh dunianya. Bantal dan guling yang dia susun sudah lenyap entah ke mana. Sebagai gantinya, tubuh Tenggara dia peluk posesif dengan kakinya mengapit erat.
Pandangan Kafka masih buram ketika otaknya bekerja lebih cepat. Disertai teriakan heboh dan gerakan semrawut, dia mendorong tubuh Tenggara hingga jatuh bergedebuk di lantai. Tubuhnya sendiri terdorong mundur, membuatnya terjengkang dan ikut menggelinding ke sisi yang satunya.
Kafka meringis, meratapi kepalanya yang membentur kaki nakas. Sementara dari seberang, dia mendengar Tenggara melenguh panjang sebelum kepala lelaki itu tampak menyembul perlahan.
"Biadab!" kutuk Tenggara dari tempatnya dibuang.
Kafka yang mendengarnya bahkan tak punya daya untuk menyahut. Menyadari bahwa posisinya tidak aman, sebab dirinyalah yang memeluk Tenggara alih-alih sebaliknya.
"Pala gue kejedot lantai, sialan." Tenggara merangkak pelan ke atas kasur. Tatapannya tajam menusuk Kafka yang terduduk lemas di lantai.
Di tempatnya, Kafka memeras otaknya untuk berpikir cepat. Tak ingin mengakui kesalahan sepenuhnya dan membiarkan Tenggara mencuri kesempatan untuk menindas. Tapi masalahnya, harus pakai alasan apa supaya dirinya tidak kalah telak?
"Lagian kenapa heboh banget, sih? Cuma pelukan, bukan tau-tau kita cipokan!" omel Tenggara lagi.
Mendengarnya, Kafka praktis mendelik. "Cuma pelukan pala lo peyang! Di mana harga diri gue sebagai lelaki sejati ini, ha?! Kalau pelukannya sama cewek sih nggak masalah. Ini sama batang!"
Belum cukup sampai di sana. Setelah dia bangkit, Kafka menatap Tenggara lekat-lekat, hanya untuk memicing curiga sambil bergidik ngeri. "Oh, atau jangan-jangan lo menikmati pelukan kita, ha? Jangan-jangan lo selama ini bukannya nggak peka ditaksir sama Ganesha, tapi karena lo emang nggak suka sama perempuan? Lo homo, ya?"
Tenggara mendecih. "Matamu homo! Eh, gapura kabupaten, dengerin ya. Kalaupun gue homo, gue nggak doyan sama laki yang tempramennya jelek kayak lo!" Telunjuk Tenggara bergerak heboh selagi bicara. Menunjuk-nunjuk wajah Kafka, dengan bibirnya monyong-monyong penuh penghayatan.
"Dih, sok ganteng banget lo."
"Emang gue ganteng!"
"Ngaca noh, ngaca! Yang kayak lo gini banyak di pasar malem!" Kafka tidak mau kalah.
Biasanya, Tenggara tidak pernah memedulikan penilaian orang lain soal penampilan fisiknya. Dia percaya pada prinsip inner beauty. Yang penting hatinya baik, otaknya tidak kosong, dan nalarnya masih bisa jalan, niscaya aura positif akan menyebar dengan sendirinya. Membuat penampilan fisiknya otomatis menjadi lebih menarik.
Tetapi pagi ini, berhubung Kafka lebih nyolot padahal dirinyalah yang bersalah, dia jadi tidak punya pengendalian diri.
Tanpa tedeng aling-aling, Tenggara melompat dari kasur, menerjang tubuh besar Kafka hingga mereka sama-sama jatuh terguling. Saling serang tak bisa dihindarkan. Keduanya sama-sama kekeuh mengerahkan seluruh kekuatan untuk menunjukkan siapa yang lebih dominan.
Posisi mereka berkali-kali berganti, membuat tubuh mereka terguling semakin jauh dari tempat pertama mereka jatuh.
"Jangan sembarangan ngomong, ya! Mana ada abang-abang pasar malem yang sekeren gue?!"
"Ada, banyak! Mereka lebih keren bahkan, lebih bisa treat pelanggan dengan baik daripada cara lo treat perempuan yang naksir lo bertahun-tahun!"
"Siapa yang suruh naksirnya diem-diem? Mana gue tahu jadinya?!"
"Harusnya lo peka!"
Begitu terus. Setiap siapa yang kedapatan posisi di atas, akan mencurahkan isi kepalanya dengan bebas. Bibir mereka terus bergantian nyerocos. Dari yang seharusnya hanya membahas soal tragedi pelukan, malah jadi melebar ke mana-mana.
Sampai kemudian, pergeludan itu terhenti ketika mereka sama-sama menyadari ada sepasang kaki yang muncul. Celah pintu yang tadinya hanya sedikit, perlahan terbuka semakin lebar, membuat mereka menyadari ada dua pasang kaki lagi di belakangnya.
"Fuck...." Kafka yang ketika itu sedang kedapatkan posisi di atas, mengumpat dan mengerang pelan.
Awkward, sudah pasti. Bukan hanya pegawai hotel, posisi ambigu mereka juga disaksikan oleh Ganesha dan Selena. Sewaktu netranya bergantian memindai presensi dua gadis itu, Kafka merasa seketika itu juga ingin menenggelamkan dirinya ke bak mandi sampai mati kehabisan napas.
"Kalian ... ngapain?"
Dan seharusnya, Ganesha tidak perlu menyuarakan pertanyaan yang sebaiknya dikubur saja di dasar kepala.
......................
Tawanya tak kunjung reda meski keram menyerang perut dan rahangnya mulai pegal. Ganesha berguling-guling di sofa, tak kuasa menahan perasaan menggelitik setelah mendengar klarifikasi dari Kafka dan Tenggara.
Untung saja dia berinisiatif meminta tolong pegawai hotel untuk membukakan pintu kamar para lelaki, dengan alasan mereka harus segera turun untuk sarapan, namun tak satu pun dari keduanya yang merespons panggilan. Kalau ragu-ragu sedikit dan berujung urung, mungkin dia tidak akan menyaksikan adegan menghibur seperti ini.
"Ini semua gara-gara lo!" protes Kafka. Telunjuknya mengarah antagonis persis ke wajah Tenggara.
Sementara yang ditunjuk hanya diam seribu bahasa. Lebih fokus menyaksikan Ganesha yang tak henti-hentinya tertawa.
Ganesha mendudukkan dirinya perlahan, masih terpingkal-pingkal membayangkan dua lelaki yang saling bermusuhan itu tidur sambil berpelukan sepanjang malam. Ah, andai saja di kamar itu ada CCTV, Ganesha akan dengan senang hati menontonnya berulang-ulang kali.
"Udah sih, nggak perlu marah-marah." Ganesha berucap enteng, menyulut api amarah di dada Kafka hingga berkobar semakin liar.
"Congornya enteng banget kalau ngomong. Harga diri nih, bos!" cetus Kafka tak terima.
Dengan napas yang ngos-ngosan karena terlalu banyak tertawa, Ganesha berjalan mendekati Kafka. Bahu lebarnya diusap-usap, lalu turun ke dada, lalu naik ke kepala.
"Ututu, anak mama kesel banget ya? Cup, cup, kasihannya."
"Nesh," geram Kafka. "Minggir, atau gue penggal leher lo nanti."
"Aw, takutnya," ledek Ganesha. Wajah takutnya dibuat-buat. Kedua tangan menangkup bibir, sok dramatis.
Lalu, tawanya kembali meledak-ledak. Pagi ini dia betulan kehilangan kendali. Adegan pelukan Kafka dan Tenggara tak mau enyah dari kepalanya, tak peduli bagaimana pun ia berusaha.
Kesal karena terus diledek, Kafka secara impulsif menarik tangan Ganesha, lalu membungkam mulut gadis itu menggunakan telapak tangan besarnya. Cara itu berhasil membuat tawa menyebalkan Ganesha reda, tetapi memunculkan masalah baru yang tak kalah memusingkan kepala.
Selena yang duduk di tepian ranjang sudah tampak tidak nyaman. Tangannya meremas ujung sprei, membuatnya berantakan.
Sementara Tenggara, lelaki itu tak meninggalkan posisinya di dekat pintu. Tubuhnya menegang. Kedua tangannya terkepal erat tanpa bisa ditahan.
Liburan kali ini seharusnya bisa dilalui dengan tenang dan meriah, jika saja Kafka bisa lebih tegas menolak kehadiran Tenggara.
Atau mungkin... semuanya memang sudah bermasalah sejak dia dan Selana memutuskan untuk merahasiakan hubungan mereka dari Ganesha.
Bersambung.....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅