Andien, gadis cantik itu tidak menyangka kedatangannya di satu desa untuk menghadiri acara pernikahan sahabatnya, membuat dirinya dibawa mahluk gaib ke suatu tempat yang tidak dia kenal.
Andien dipaksa untuk menjadi pengantin wanita di tempat yang tidak dia kenal itu..
Akankah Andien bisa selamat atau dia akan menjadi pengantin wanita di alam gaib dan tidak lagi kembali pada orang tua nya?
yukk guys ikuti kisah Andien dan jika dia selamat siapa penolong nya.?
note: ini cerita sekuel Novel Terikat Syarat Jailangkung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24.
Sementara itu mobil yang dikemudikan oleh Pungki terus melaju..
“Pung tambah dikit kecepatannya. Mamanya Andien chat terus nih.. mereka sudah sampai bandara dan menunggu kita.” Ucap Ningrum dengan tidak sabar..
“Iya sabar Ning.. “ ucap Pungki yang tetap tidak menambah laju kecepatan mobilnya.
“Dengan kecepatan ku ini kita tidak terlambat kok.” Ucap Pungki lagi.. Mobil pun terus melaju dalam suasana hening tidak ada lagi suara anak kecil di telinga Pungki dan juga tidak ada lagi suara Ningrum yang ingin mobil berjalan lebih cepat. Pak Sopir yang meskipun sudah berkurang gemetaran nya namun dia masih belum berani mengemudikan mobil apalagi kini tampak jalan yang dilalui sangat ramai.
Dan waktu pun terus berlalu, pada akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Pungki sudah memasuki halaman bandara. Hati Pungki dan Ningrum lega, karena benar yang dikatakan oleh Pungki mereka tidak terlambat masih ada waktu satu jam lagi untuk menunggu pesawat terbang.
“Pak kami sudah sampai bandara dengan selamat. Terus sampayen berani nyetir atau mau menunggu di bandara?” tanya Pungki asal saja sambil menjalankan mobil menuju ke tempat parkir karena tampak Pak Sopir masih diam saja.
“Saya tunggu di bandara Mas.” Jawab Pak Sopir selanjutnya
“Hah? Menunggu kami pulang?” tanya Pungki sambil sekilas menoleh ke arah Pak Sopir.
“Tidak Mas, saya akan mengabari teman agar ke sini.” Jawab Pak Sopir, dia adalah sopir Pak Hasto dan mobil yang dibawa juga mobil milik Pak Hasto.
“Mas, jangan bilang bilang Bapak ya..” ucap Pak Sopir lagi yang takut kena marah oleh Pak Hasto.
“Beres Pak, besok lagi kalau saya kasih tahu jangan ngeyel ya.” Ucap Pungki pelan yang kini tanpa menoleh ke Pak Sopir, sebab sedang sibuk memarkir mobil.
“Iya Mas, saya tadi kok tidak melihat kera dari jarak aman ya. Saya lihat setelah jarak sangat dekat. Benar benar takut saya tadi. Nanti saya akan cek mata saya ke dokter mata.” Ucap Pak Sopir dengan nada serius.
Ningrum yang masih sibuk dengan hand phone untuk memberi kabar pada Mamanya Andien kalau mereka sudah sampai bandara tidak memperhatikan percakapan Pungki dan Pak Sopir.
Mereka bertiga pun turun dari mobil, Pungki menyerahkan kunci mobil pada Pak Sopir. Pak Sopir membantu menaruh koper koper milik keluarga Hasto itu di atas troli. Dia pun juga akan membantu membawakan troli itu sampai di pintu cek in.
“Mas ini koper yang satu tolong ditarik ya, sudah tidak muat trolinya.” Ucap Pak Sopir saat sudah selesai mengatur koper.
“Iya Pak.” Jawab Pungki karena Ndaru tadi pun juga sudah berpesan nitip koper pada Pungki.
Akan tetapi di saat Pungki menarik koper itu terasa koper itu sangat berat...
“Kok berat banget sih ini. Ndaru bawa apa sih? Bisa bisa ini melebihi kapasitas bagasi.” Gumam Pungki di dalam hati sambil menarik koper yang terasa berat.
Sesaat dari belakang Pungki, telinga Pungki mendengar lagi suara tawa anak kecil...
“Ha... ha... ha... tarik tarik Kakak... ha... ha.... ha... enak enak....ha... ha... ha...” suara anak kecil itu sambil tertawa sangat renyah bagai hatinya riang gembira mendapat mainan kesukaannya.
“Hah? Kamu lagi kamu lagi! Turun! Berat tahu!” ucap Pungki sambil menoleh .
“Pegel tanganku, sudah tadi nervous bawa mobil, tangan pegel masih ditambah kamu pasti nangkring di koper ya.” Ucap Pungki lagi.
“Pung, kamu kenapa sih? Aku jalan di belakang kamu. Pegang koper saja tidak.” Ucap Ningrum
“Kamu lama lama kok bicara kacau kayak mabok saja.” Ucap Ningrum yang berjalan di belakang Pungki.
“Ha... ha... ha... ha... syukurin.. syukurin.. wek wek.. Syukurin dikira mabok dikira gila ha.... ha... ha....” suara anak kecil itu lagi di telinga Pungki.
“Hmmmm aku kira demit bocil ini bukan adikku dech.., Bapak dan Ibu merawat jasad dia dengan baik waktu dimakamkan. Dan kami masih selalu mengirim doa buat dia.” gumam Pungki di dalam hati.
“Kakak omong di dalam hati saja kalau mau omong sama aku. Aku dengar kok.” Suara anak kecil itu lagi di telinga Pungki.
“Turun sekarang dari koper!” perintah Pungki meskipun hanya omong di dalam hati, untuk menguji apa demit bocil itu benar benar mendengar suaranya hatinya.
Dan benar kini koper yang ditarik oleh Pungki pun terasa lebih ringan bagai berkurang beratnya dua puluh lima kilo gram..
“Hmmm benar dia mau turun dari koper. Kok nurut ya, apa iya dia adikku..” Gumam Pungki di dalam hati lagi yang masih bingung dan mengira ngira siapa gerangan makluk gaib dengan suara anak kecil itu.
Akan tetapi baru saja Pungki selesai bergumam kini di kedua pundaknya terasa sangat berat.
“Ha... ha... ha... ha... “ suara tawa anak kecil itu lagi yang kini arahnya dari atas kepala Pungki.
“Turun!” perintah Pungki lagi dan masih di dalam hati . Agar tidak dikatakan sebagai orang mabok atau orang gila.
“Tidak mau! Aku tadi yang membantu Kakak agar mobil tidak menabrak monyet besar!” teriak suara anak kecil di atas kepala Pungki.
“Sekarang aku capek, mau digendong pundak Kakak.” Suara anak kecil itu lagi, dan Pungki masih merasakan ada beban di atas pundaknya.
“Ooo.. jadi kamu tadi yang memindah jalur mobil.” gumam Pungki di dalam hati.
“Demit kok bisa capek!” gumam Pungki lagi karena tidak ada jawaban dari suara anak kecil.
“Ha... ha... ha.... ha....” suara anak kecil yang tertawa renyah..
“Hmmm tak apalah asal dia membantu aku.” Gumam Pungki dan terus melangkah sambil menggendong ransel menarik koper dan menggendong demit bocil yang tidak tampak di pundaknya..
Dan beberapa waktu kemudian mereka bertiga sudah sampai di ruang keberangkatan. Tampak Papa dan Mamanya Andien juga Pak Hasto dan Bu Hasto menunggu dengan gelisah sedang Rico tampak duduk dan sibuk dengan hand phone milik nya.
Keempat orang tua itu tampak kaget saat tidak melihat Syahrul, Ndaru dan Fatima..
“Di mana Syahrul, Ndaru dan Fatima?” tanya Pak Hasto. Ningrum pun lantas mengatakan kalau Syahrul sakit dan berhenti di rumah sakit. Mereka bertiga akan menyusul dengan jadwal penerbangan berikutnya..
“Bagaimana kalau Syahrul tidak mendapat izin dokter untuk melakukan perjalanan jauh? Kita gagal menjemput Andien jika tidak ada Syahrul.” Ucap Papanya Andien tampak panik dan sedih.
“Andai Mas Syahrul bed rest dan tidak mendapat izin dari dokter untuk melakukan perjalanan jauh tadi Mas Syahrul sudah berpesan Pungki yang harus memimpin ke kerajaan jin itu Om.” Ucap Ningrum dengan hati hati sebab dia pun kurang yakin berhasil jika Pungki yang memimpin misi dalam menjemput Andien di kerajaan jin.
Papanya Andien mengernyitkan keningnya sambil menatap tajam wajah Pungki..
“Apa kamu bisa masuk ke kerajaan jin tanpa bantuan dari Syahrul?” tanya Papanya Andien sambil menatap tajam wajah Pungki, dan tatapan nya mengandung arti tidak percaya.
mohon maaf lahir batin