Betapa hancurnya perasaanku, saat aku tau suamiku menikah diam diam di belakangku dengan temanku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Beberapa CEO berkumpul di sekitar Hans, memberikan ucapan selamat atas pencapaian bisnis terbarunya.
Pak Sindu tersenyum ramah, memberikan pujian atas kesuksesan Hans. Sementara itu, beberapa CEO perempuan yang hadir memberikan semangat dan dukungan untukku, menguatkan hatiku yang sedang rapuh.
Aku berusaha menyembunyikan rahasia perselingkuhan yang melibatkan beberapa orang di ruangan itu, tapi ironisnya, mereka sendiri yang membuka tabir rahasia itu di depan umum. Semua mata tertuju pada Hans dan Rena yang berdiri berdampingan, terlihat sangat mesra.
Hans dulunya sangat disegani karena kecerdasannya dan menjadi CEO muda yang sukses.
Namun, hari ini beberapa CEO tampak acuh tak acuh, bahkan ada yang mengejek. Mereka menilai penampilan Rena yang terlalu terbuka, mengundang pandangan sinis dari mereka.
Aku merasa tidak tahan lagi berada di ruangan tersebut. Aku menarik lengan Titin, sahabatku, untuk segera meninggalkan ruangan meeting itu.
Kami melangkah cepat keluar dari ruangan, berusaha melupakan semua pandangan sinis yang menerpa kami.
Setelah berhasil keluar dari gedung dan tiba di lantai bawah, aku dan Titin duduk di sebuah bangku taman di sekitar area gedung.
Kami berbicara tentang apa yang baru saja terjadi, mencari dukungan dan pengertian satu sama lain di tengah situasi yang begitu menyakitkan ini.
Titin menggenggam tanganku erat, memberikan semangat agar aku bisa menghadapi situasi ini dengan tenang.
"Jangan di fikirkan Bu bos, kita pulang saja," kata Titin sambil tersenyum. Aku menghela napas panjang, merasakan sakit yang menyayat hati.
"Sakit, Tin. Hans benar-benar membuatku sangat sakit," keluhku, merasa begitu terpukul.
"Aku tau, Bu bos. Tapi semangat yuk, bos! Kalahkan Rena dalam arti tujukan ke Rena kalau Bu bos baik-baik saja dan menjadi perempuan yang hebat," ujar Titin berapi-api.
Kata-kata Titin membuatku tersadar. "Benar kamu, Tin. Ayo pulang!" seruku penuh semangat. Titin dan aku pun berdiri dari tempat duduk kami, siap melangkah pergi dari tempat itu.
Namun, alangkah terkejutnya saat kami membalikkan badan, di sana ternyata ada Rena yang menatap kami dengan tatapan tajam. Wajahnya tampak kesal dan marah.
"Monster!" seru Titin spontan, mengagetkan Rena.
"Apa?!" lantang Rena, tak terima dengan ejekan Titin.
"Monster betina!" seru Titin sangat jelas, tanpa rasa takut sedikit pun.
Aku pun menegakkan tubuhku, bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi selanjutnya.
Kini, saatnya aku membuktikan bahwa aku bisa menjadi perempuan yang lebih kuat dan hebat, tak akan terpuruk oleh kekecewaan dan pengkhianatan.
Rena mengejekku dengan senyum sinis di wajahnya, "kalah ya?"
"Iya emang aku kalah, masalah buat kamu?" jawabku dengan ketus.
"Enggak sii, aku malah bahagia sekali melihat kamu terpuruk seperti ini," ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Rena Rena! Siapa yang terpuruk? Hanya kalah tender itu masalah kecil, orang kamu merebut Hans juga aku biasa saja," sahutku mencoba menutupi rasa sakit hati.
"Masa sii Rea? Bukannya kamu setiap melihat aku sama Hans bersama kamu nangis?" ejeknya semakin.
"Untuk apa aku nangis?" ketawa kecilku berusaha menyembunyikan rasa sedih.
Rena menatapku tajam, "aku tau kamu lagi bohong."
"Dan aku juga tau kamu juga lagi bohongin Hans," balasku dengan tatapan tajam yang sama.
Dalam adegan ini, terlihat jelas konflik antara Rena dan aku yang saling mengejek dan mencoba menyakiti satu sama lain.
Dari cara Rena erbicara dan mengekspresikan emosi, tergambar betapa kompleksnya hubungan mereka dan bagaimana aku mencoba menunjukkan kekuatan di tengah konflik tersebut.
"kamu fikir kamu bisa membuatku terpuruk rena? kamu salah !"
Hans tiba-tiba datang di tengah ketegangan yang terjadi antara kami. Dia dengan arogan dan percaya diri, langsung mencium Rena di depanku.
Aku bisa merasakan darah mendidih di dalam tubuhku saat melihat aksi mereka. Sepertinya, dia memang sengaja melakukannya agar aku semakin merasa tertekan.
"Sayang, lihat deh istri pertama kamu," ucap Rena sambil memeluk Hans, "Dia sangat jahat, masa dia bilang aku monster betina." Rena manja dan pura-pura tersakiti.
"Dasar suka kibul!" Titin langsung membela diri, "Aku yang bilang monster betina, bukan Bu Bos!"
Aku dan Hans saling berpandangan, tatapan mata kami penuh dengan kebencian. Aku tidak tahan melihat wajah sombongnya dan sangat ingin menghancurkannya. Namun, aku tahu aku harus menahan emosi dan bersabar.
"Sampai jumpa di pengadilan, Rea!" seru Hans sambil memegang tangan Rena erat, lalu mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.
Aku mencoba menahan air mataku yang sudah mulai menggenang di pelupuk mata, melihat Hans berlalu meninggalkan aku dengan perasaan pahit.
Hatiku terasa sakit dan sesak, namun aku harus tetap kuat untuk menghadapi semua ini.
Titin tersenyum padaku sambil mengajakku berjalan menuju parkiran mobil. Ponselku bergetar, Imas mengirimkan pesan untuk bertemu dengannya siang ini.
Aku mengangguk dan membalas pesan tersebut, menyetujui ajakan Imas. Tak lama kemudian, ponselku berdering kembali, kali ini dari pihak rumah sakit yang memberi kabar bahwa Mamah sudah bisa pulang hari ini.
Aku merasa lega dan segera menjawab,
Aku ("Terima kasih, Pak. Tolong jemput Mamah dengan taksi saja ya." )
pihak rumah sakit (baik ibu )
Setelah mematikan telepon, aku segera menghubungi Bibik untuk memberi tahu bahwa Mamah akan dijemput oleh sopir taksi.
Sementara itu, Titin menatapku dengan raut penasaran, "Bu bos, jadi bagaimana dengan kerjasama dengan perusahaan Hans?"
Aku tersenyum dan menjawab tegas, "Gak usah kita perpanjang, aku yakin kok tanpa perusahaannya kita akan tetap maju."
Titin mengangguk setuju, dan kami melanjutkan perjalanan menuju parkiran mobil, bersiap untuk menghadapi hari yang penuh tantangan ini.
Sepanjang perjalanan ke kantor, aku dan Titin terdiam sejenak sebelum akhirnya kami bernyanyi lagu galau yang pas banget dengan hatiku saat ini.
Aku menghayati setiap lirik yang keluar dari mulutku, begitu juga dengan Titin. Sesekali kami saling pandang dan tersenyum pahit, mengetahui betapa lagu itu mencerminkan perasaan kami.
Tak terasa, aku sudah sampai di kantor. Aku segera melangkah ke ruanganku dan bersiap untuk bekerja.
Hari ini, aku bertekad untuk bekerja sebaik mungkin agar perusahaan ku tidak terus bergantung pada perusahaan Hans. Aku mengepalkan tanganku, termotivasi untuk menghadapi tantangan yang ada.
Aku fokus dengan pekerjaanku, tidak mau kalah dari Hans. Lembur pun tak menjadi masalah bagiku, yang penting aku bisa menunjukkan kemampuanku.
Aku terus mengetik di laptop, sambil sesekali menghela napas panjang dan menggigit bibir, menahan rasa lelah yang mulai menyerangku.
Setelah beberapa jam aku duduk dan menatap laptop, aku menyadari bahwa sudah waktunya makan siang. Dengan perlahan, aku menyudahi pekerjaanku dan bersiap untuk bertemu Imas.
Aku berjalan keluar dari ruanganku, berharap obrolan dengan Imas dapat menyegarkan pikiranku dan memberiku semangat untuk melanjutkan pekerjaan di sisa hari ini.
*****
dikit dikit nangis
dikit dikit nangis