Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langit Bangun
Talita mondar-mandir di kamar Langit, wajahnya pucat, keningnya berkeringat. Panggilannya ke El Mariachi tak kunjung tersambung, hanya nada sibuk yang menyebalkan.
“Bagaimana bisa? Apakah Ragiel sudah menangkapnya? Atau ia sengaja meninggalkanku?” Hatinya semakin gelisah.
Suara kecil Bintang mendadak mengguncang seluruh ruangan.
“Mama! Tuan Langit… bangun!”
Talita tersentak, tubuhnya kaku sejenak. Perlahan ia menoleh, dan benar saja, mata Langit terbuka. Pucat, sayu, tapi penuh kesadaran.
“Langit… kau sadar?” suara Talita bergetar, ia mendekat cepat, berjongkok di samping ranjang. Tangannya gemetar menyentuh tangan Langit yang lemah.
Langit hanya mengerjap, matanya berusaha fokus pada wajah Talita. Lidahnya kaku, seolah ada tembok di tenggorokannya.
Bintang, dengan wajah polosnya yang berseri-seri, segera berlari keluar. “Tuan Muda! Tuan Muda! Tuan Langit bangun! Dia bangun!” teriaknya keras sambil menapaki koridor menuju ruang kerja Angkasa.
Tak lama, langkah cepat terdengar. Angkasa masuk dengan wajah terkejut, Ragiel di belakangnya, lalu para perawat menyusul. Dalam hitungan menit, Langit sudah duduk di kursi roda, meski tubuhnya masih tampak lemah.
Angkasa menunduk sedikit, mencoba bicara. “Langit… kau bisa dengar aku, kan? Katakan sesuatu.”
Mata Langit hanya beralih pada Angkasa, lalu ke Talita, lalu ke Bintang. Ada keterkejutan di sana, sebuah pengakuan diam-diam.
“Mereka ada di rumah ini… kenapa?” Hatinya berdesir getir.
Kenangan menyesak menyerbu kepalanya. Malam itu, Ia datang mencari Angkasa di club, karena khawatir tengah malam belum pulang. Tapi yang ia temui justru Talita, berlari keluar kamar dengan wajah panik. Langit tahu persis, itu kamar Angkasa. Dan ia bisa menebak apa yang baru terjadi di dalam sana. Talita dan Angkasa.
Saat hendak membangunkan adiknya, dua pria bermasker muncul tergesa, menggondol kamera. Kamera yang pasti berisi rekaman yang tak seharusnya ada. Langit mencoba merebutnya, tapi tubuhnya dihantam, ia kalah kuat. Tubuhnya terbanting keras.
Dan itulah alasan kenapa ia menolong Talita dan Bintang dalam kecelakaan, sebab ia mengenal mereka berdua adalah bagian dari Angkasa.
Kini, di kursi rodanya, ia ingin bersuara. Ingin berkata bahwa ia tahu rahasia itu. Tapi suaranya terkunci. Hanya mata yang berkilat, hanya napas yang terengah.
“Kau mau ngomong apa?!” desis Angkasa, nada sinis tak bisa ia sembunyikan. “Hei, Langit… katakan sesuatu!”
Langit hanya menatapnya. Ia ingin menceritakan kejadian itu, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara. Padahal hanya saat inilah Langit dan Angkasa dapat berbicara, karena selama ini Angkasa enggan berbincang dengannya, menyapa saja kadang malas.
Langit paham posisinya sebagai anak angkat di keluarga ini. Mungkin itu yang menyebabkan Angkasa malas bertemu dengannya. Tapi Langit tak pernah sedikitpun memberi jarak pada Angkasa, ia menjadikan Angkasa sebagai saudaranya. Bahkan ketika Kamila sibuk sibuk harus keluar negri, Langitlah yang sering merawat Angkasa bersama baby sitter. Tapi entah kenapa, semakin Angkasa beranjak dewasa, ia semakin memberi batasan pada dirinya.
Tak ada ruang untuk Langit berbincara dengannya, tak ada...
Talita menatap dari samping, hatinya mencelos. “Ada yang ingin dia katakan… sesuatu yang penting.”
Angkasa akhirnya mengeluarkan ponsel, menekan tombol video call dengan ekspresi malas. Begitu wajah Kamila muncul di layar, semuanya berubah.
“Anakku… Langit! Oh Tuhan, kau sudah sadar!” Suara Kamila pecah, matanya berkaca-kaca. Ia hampir terisak di depan layar. “Langit, kau harus kuat, kau akan terbang lagi, menyusuri langit biru dengan pesawatmu. Mama akan pulang, beberapa bulan lagi. Tunggu Mama, ya.”
Langit menitikkan air mata. Matanya menatap layar ponsel, menatap Mamanya, ingin menjawab, tapi yang keluar hanya isakan lirih.
Angkasa mengalihkan pandangan dengan wajah muak, mendengus keras. “Hhh… lebay.” Ia mematikan video call itu dengan gerakan kasar.
Talita sempat melirik Angkasa dengan tatapan sinis. “Betapa dinginnya dia. Saudara sendiri pun tidak dihargai.” Tapi ia menahan lidah, itu bukan urusannya.
Perawat mendorong kursi roda Langit. “Kita harus bawa dia ke rumah sakit untuk cek kondisi dan treatment, ini tidak bisa ditunda.”
“Silakan,” kata Angkasa ringan sambil melangkah pergi. “Aku malas urusan beginian.”
Talita menatapnya dengan kesal, tapi tak berkata apa-apa.
Akhirnya, Talita sendiri yang duduk di kursi pengemudi, membawa Langit bersama perawat menuju rumah sakit.
Dalam perjalanan, angin sore masuk lewat kaca jendela mobil. Talita melirik Langit yang menatap kosong keluar jendela. “Kasihan… dia terjebak di tengah kebencian Angkasa dan dinginnya takdir. Dan aku… juga terjebak di sini.”
Talita menggenggam erat setir. Satu hal yang pasti rumah besar itu semakin penuh rahasia, dan tak seorang pun benar-benar baik-baik saja.
^^^^^^
Rumah sakit sore itu tidak terlalu ramai. Bau obat-obatan menusuk tajam begitu Talita mendorong pintu masuk. Denting suara perawat, langkah kaki pasien, dan suara mesin monitor jantung samar terdengar.
Talita turun dari mobil, menahan pintu agar perawat bisa membantu menurunkan Langit dari kursi roda. Dengan gesit ia mengurus administrasi, mengisi formulir, tanda tangan di kertas persetujuan, dan menjawab pertanyaan petugas dengan sabar.
“Hubungan dengan pasien?” tanya petugas administrasi.
Talita sempat tertegun. Jantungnya berdegup. Ia bukan siapa-siapa, tapi tak mungkin ia berkata demikian. Akhirnya dengan suara pelan ia menjawab, “Keluarga.”
“Lebih khusus lagi?” tanya petugas kembali.
Talita sedikit menurunkan volume suaranya. “Istri.”
Langit yang duduk di kursi roda menoleh padanya. Matanya masih sayu, tapi jelas ada binar berbeda. Ia mendengar sendiri Talita mengaku sebagai keluarga.
Selesai dengan berkas, Talita kembali menghampiri Langit. Ia berjongkok, menatap mata pria yang masih lemah itu. “Tenang saja, semua sudah kuurus. Kau hanya perlu istirahat, biarkan dokter bekerja.” Suaranya lembut, berbeda sekali dengan gaya sinisnya Angkasa.
Langit menatapnya lama. “Wanita ini… lembut. Padahal aku kira dia hanya bayangan samar di lorong malam itu, perempuan yang terbebani masalah. Tapi ternyata… dia punya sisi yang hangat.”
Talita merapikan selimut di pangkuan Langit, memastikan kakinya tidak kedinginan. Lalu ia menyodorkan botol air minum. “Pelan-pelan, coba minum sedikit.”
Tangan Langit gemetar, gelas hampir tergelincir. Talita refleks memeganginya, jemari mereka bersentuhan, mereka saling menatap.
Sekejap wajah Talita memerah, tapi ia tetap menahan gelas itu sampai Langit berhasil meneguk sedikit air.
Cantik sekali... pikir Langit dalam diam. Ia laki-laki, dan insting visualnya tak bisa mengelak. Meski ia tak bisa berkata apa-apa, hanya dengan memandang Talita, ada sesuatu yang membuat hatinya berdetak lebih cepat.
Talita menunduk, pura-pura sibuk membereskan tas kecilnya. Hatinya sendiri gamang. Ia tidak ingin terlihat terlalu peduli, tapi entah mengapa melihat Langit, nuraninya tersentuh.
^^^^^
Selesai pemeriksaan, dokter memutuskan untuk menahan Langit di rumah sakit semalam untuk observasi. Talita mengangguk patuh, menerima penjelasan dengan serius, bahkan menanyakan obat apa saja yang harus diminum dan bagaimana prosedur terapinya. Sikapnya tenang, penuh perhatian, membuat perawat di sana berasumsi Talita benar-benar keluarga pasien.
Saat Langit dibawa ke ruang rawat, Talita duduk di kursi tunggu koridor. Lampu neon putih menyilaukan, udara dingin dari pendingin ruangan menusuk tulang. Ia menyandarkan punggung, menutup mata sejenak. Lelah. Tapi di sela lelahnya, pikirannya masih terarah pada dua pria itu, Angkasa dan Langit.
Talita menatap pintu kamar itu lama, kemudian mendesah pelan. Ia membatin, “Mengapa Angkasa begitu dingin pada Langit? Padahal jelas dari sorot mata Langit, ia hanya ingin diperhatikan. Mungkin karena ....Langit selalu dipuji sebagai anak emas Kamila, sementara Angkasa…Kamila sering berbicara tegas dengan Angkasa.”
Hatinya tiba-tiba nyeri. Meski bukan urusannya, Talita merasa iba.
Ia teringat Angkasa, wajahnya yang pucat saat demam, sorot matanya yang penuh amarah. Lalu dibandingkan dengan Langit, yang meski tak bisa bicara, masih berusaha menunjukkan perhatian melalui tatapan. Dua pria itu, saudara yang seharusnya dekat, justru dipisahkan tembok tak kasat mata.
makasih sudah mampir