ADRIAN PRATAMA. Itu nama guru di sekolah gue yang paling gue benci. Karena apa? Karena dia udah membuka aib yang hampir tiga tahun ini gue tutup mati-matian.
“Dewi Mantili. Mulai sekarang kamu saya panggil Tili.”
Nyebelin banget kan tuh orang😠 Aaarrrrggghhh.. Rasanya pengen gue sumpel mulutnya pake popok bekas. Dan yang lebih nyebelin lagi, ternyata sekarang dia dosen di kampus gue😭
ADITYA BRAMASTA. Cowok ganteng, tetangga depan rumah gue yang bikin gue klepek-klepek lewat wajah ganteng plus suara merdunya.
“Wi.. kita nikah yuk.”
Akhirnya kebahagiaan mampir juga di kehidupan gue. Tapi lagi-lagi gue mendapati kenyataan yang membagongkan. Ternyata guru plus dosen nyebelin itu calon kakak ipar gue😱
Gue mesti gimana gaaeeesss???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adrian's Style
Sepanjang perjalanan, Dewi tak henti mengusap airmatanya yang masih mengalir. Kesedihannya akan kepergian sang ayah kembali terasa ketika mendengar apa yang dikatakan Riska tadi. Ayahnya mengorbankan nyawanya demi seseorang yang tidak dikenalnya. Mempertaruhkan nyawanya tanpa mengingat bahwa dirinya masih sangat membutuhkan sosok ayah di sampingnya.
Karena asik melamun, Dewi tak tahu kemana Adrian membawanya pergi. Sedari tadi gadis itu tak memperhatikan jalan yang dilaluinya. Hingga akhirnya gadis itu tersadar ketika merasakan udara dingin mulai menerpa permukaan kulitnya. Dia menolehkan kepalanya ke samping. Ternyata kini mereka tengah memasuki daerah Lembang.
Belum sempat Dewi bertanya kemana tujuan Adrian membawanya pergi. Pria itu telah membelokkan kendaraannya memasuki gerbang tempat wisata yang pintu masuknya berada di pinggir jalan Raya Tangkuban Parahu. Bentuk gerbangnya yang lebar dan dihiasi ukiran akan langsung mengingatkan semua orang yang datang pada pulau Bali.
Setelah memarkirkan kendaraannya di tempat yang tersedia, Adrian mengajak Dewi memasuki tempat wisata yang bernama Taman Lembah Dewata. Sesuai dengan namanya, Taman Lembah Dewata memang mengusung tema taman surga para dewa layaknya tanah Bali. Memasuki area wisata ini, membuat Dewi merasa tengah berada di pulau Dewata yang belum pernah dikunjunginya. Sepanjang jalan, dia melihat gaya arsitektur gerbang dan hiasan umbul-umbul ketika memasuki area dalam.
Pemandangan hijau langsung terhampar ketika mereka mulai memasuki area dalamnya. Sebuah danau tadah hujan terhampar luas di tengah taman. Pemandangan danau bertambah cantik dengan keberadaan pulau-pulau kecil yang dihubungkan dengan jembatan cantik.
Mata Dewi tak henti melihat pemandangan indah di sekitarnya. Udara khas pegunungan yang sejuk ditambah pemandangan asri sedikit banyak mengurangi kesedihannya. Adrian terus berjalan membawa Dewi menuju bukit hijau yang dibentuk seperti labirin. Mereka menyusuri jalan mengikuti bentuk labirin yang ada di bukit tersebut.
“Kamu pernah ke sini sebelumnya?” Adrian memecah kebisuan di antara mereka.
“Belum.”
“Sama,” Adrian terkekeh. Dia memang baru mendapatkan tempat ini tadi saat di rumah Dewi. Maklum saja, Adrian termasuk orang yang jarang sekali berekreasi.
“Bapak tahu dari mana? Mbah gugel ya?” tebak Dewi.
“Hahaha…”
Dewi cukup tercengang melihat Adrian yang bisa tertawa lepas. Sepertinya pria di sampingnya ini sedang dalam suasana bahagia. Mereka terus berjalan menyisiri bukit-bukit memanjang, mencari jalan keluar dari sana.
“Kamu suka?” tanya Adrian lagi.
“Hmm.. lumayan.”
“Lebih rileks kan daripada terus mengurung diri di kamar?”
Kali ini Dewi tak menjawab pertanyaan wali kelasnya itu. Mereka terus berjalan hingga akhirnya bisa keluar dari bukit tersebut. Adrian mengajak Dewi menuju shelter yang ada di tepi danau. Shelter tersebut berbentuk seperti keong dan terdapat beberapa anak tangga yang bisa dijadikan tempat duduk oleh pengunjung.
Adrian mengambil tempat di bagian ujung, sedikit jauh dari kumpulan beberapa pengunjung lainnya.
“Dewi.. apa kamu tahu kenapa bapakmu memberi nama Dewi Mantili?”
“Karena bapak penggemar Saur Sepuh.”
“Dari sekian banyak tokoh wanita di sana, kenapa bapakmu memilih Mantili? Bukan Lasmini?”
“Karena Mantili adalah adik dari Brama Kumbara, tokoh favorit bapak. Bapak ngga suka Lasmini, dia itu pelakor yang mencoba merebut Brama Kumbara dari istrinya, Dewi Harnum.”
Dewi menjawab pertanyaan Adrian dengan mata menatap lurus ke depan. Memperhatikan sepasang ayah dan anak yang tengah mengayuh perahu bebek di tengah danau. Seketika dia teringat akan almarhum bapaknya.
“Kenapa Mantili? Kenapa bukan Dewi Harnum atau Pramitha? Keduanya istri Brama Kumbara kan? Kenapa harus Mantili? Adik dari Brama Kumbara?”
“Mana kutahu, pak,” jawab Dewi kesal.
“Bapakmu memberi nama Mantili bukan karena dia adik dari Brama Kumbara, bukan juga karena dia salah satu tokoh favoritnya. Tapi ada harapan yang disematkan bapak dalam namamu.”
Dewi menolehkan kepalanya pada Adrian. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu. Adrian langsung memutus pandangan dan kembali mengarahkan netranya ke depan.
“Mantili adalah sosok wanita yang pintar, kuat, berani dan pastinya memiliki hati yang baik. Dia tak segan menantang Lasmini yang menurutnya orang yang berusaha merusak kebahagiaan sang kakak. Dia senantiasa berpegang teguh pada kebenaran. Beberapa kali Mantili terluka saat bertarung dengan musuh-musuhnya, termasuk Lasmini. Tapi dia kembali bangkit dan terus belajar hingga dia bisa menguasai berbagai jurus hebat.
Bapak mengharapkan dirimu bisa seperti Mantili. Menjadi wanita yang pintar, kuat, berani dan pantang menyerah. Walau pernah terluka, terjatuh namun dia tetap bangkit dan tegar menghadapi semua. Itulah harapan terbesar bapakmu. Sekarang renungkan, apa kamu sudah bisa memenuhi harapan bapak?”
Dewi hanya mampu terdiam. Perkataan Adrian barusan sukses menohok batinnya. Kepergian Herman telah membuatnya rapuh, jatuh dan terpuruk. Tenggelam dan mengurung diri dalam kesedihan. Ucapan wali kelasnya itu seakan menyadarkan dirinya untuk tidak terus larut dalam kesedihan.
“Ibumu.. dia juga merasa kehilangan akan kepergian bapak yang mendadak. Tapi dia berusaha untuk tegar demi kamu. Banyak harapan yang bapak gantungkan padamu, dan amanat itu bapak titipkan pada ibumu. Kalau kamu terus seperti ini, apa kamu tidak kasihan pada ibu? Dia harus berjuang sendirian menjadi ibu sekaligus ayah demi kamu. Tapi sikap kamu yang seperti ini hanya memperdalam kesedihannya.”
Dewi mulai terisak mendengar penuturan Adrian. Dia merasa sangat bersalah pada ibunda tercinta. Selama berhari-hari mengabaikan wanita itu karena tenggelam dalam kesedihan. Membiarkan ibunya berjuang sendirian melalui kesedihannya. Adrian merogoh saku celananya, mengeluarkan sapu tangan dari dalamnya lalu memberikan pada Dewi.
“Soal apa yang bapakmu lakukan, menyelamatkan Riska. Apa kamu tahu kalau sebenarnya bapakmu bukanlah bersikap seperti pahlawan? Apa yang bapak lakukan bukanlah menyelamatkan Riska, tapi menyelamatkanmu.”
“Apa maksud bapak?” tanya Dewi seraya menyusut airmata dengan sapu tangan pemberian Adrian.
“Secara kasat mata kita akan menilai apa yang bapak lakukan adalah untuk menyelamatkan Riska. Tapi sebenarnya dibalik aksinya, ada harapan yang dia panjatkan pada Allah. Jika dirimu berada dalam keadaan bahaya dan membutuhkan pertolongan, maka Allah akan mengirimkan seseorang untuk menolong dirimu. Seperti yang dilakukannya saat itu.”
Kembali Dewi terdiam meresapi semua ucapan Adrian. Semua kata-kata yang meluncur dari pria itu perlahan mulai menyadarkan dirinya. Sedikit demi sedikit dia mulai memahami takdir yang disuratkan Tuhan padanya. Dengan cepat dia menghapus buliran bening yang membasahi pipinya. Hatinya telah siap dan ikhlas menerima kepergian sang ayah. Dia juga akan mulai kembali menata hidupnya. Kembali pada sosok dirinya yang dulu, yang sangat disukai oleh ayahnya.
SROOTT
Dewi mengeluarkan cairan kental dari hidungnya dan menggunakan sapu tangan Adrian sebagai penampungnya. Saking kencangnya bunyi yang dikeluarkan dari hidung Dewi, Adrian sampai menolehkan kepalanya. Usai mengelap semua cairan yang tersisa, Dewi menyerahkan kembali sapu tangan pada Adrian.
“Terima kasih pak.”
“Buang saja. Bisa kena virus saya kalau sapu tangan itu dikembalikan.”
“Kan bisa dicuci, pak.”
“Iya, tapi virus dari ingus kamu akan selamanya nempel di sana.”
“Ish.. bisa ngga sih, pak kalau ngomong enakan dikit?”
“Ngga bisa!”
Jawab Adrian sekenanya sambil menegakkan diri. Melihat Adrian berdiri, sontak Dewi pun ikut berdiri. Matanya melihat sekeliling dan menemukan sebuah tempat sampah. Dengan bergegas dia menuju ke sana lalu membuang sapu tangan pemberian Adrian.
“Kenapa dibuang? Katanya bisa dicuci?”
“Kata bapak biar dicuci virusnya tetap nempel.”
“Ok, kalau gitu masa hukumanmu ditambah karena sudah membuang barang pribadi milik saya.”
“Bapak….” Protes Dewi kesal.
“Kamu mau coba naik kuda?”
“Memang bisa naik kuda di sini?”
“Bisa. Ayo.”
Adrian mengajak Dewi meninggalkan shelter. Mereka terus berjalan menuju sekolah berkuda Ganesha Equistrian yang masih berada dalam kawasan Taman Lembah Dewata. Mereka dipandu oleh penjaga di sana melihat kuda-kuda yang ada.
“Bisa dinaiki pak?” tanya Adrian.
“Bisa. Bapak bisa naik kuda yang ini.”
Sang penjaga membawa Adrian dan Dewi menuju kuda yang dimaksud. Kuda berwarna coklat yang terlihat gagah. Di sampingnya terdapat kuda yang sama besarnya, hanya warna kulitnya coklat keputihan.
“Ayo Tili, tunjukkan kemahiran berkudamu. Mantili itu jago naik kuda.”
“Saya kan belum bisa, pak.”
“Ya coba dulu.”
Dengan dibantu sang penjaga, Dewi menaiki kuda berwarna coklat sedang Adrian menaiki kuda di sebelahnya. Wajah Dewi terlihat tegang, karena baru kali ini dia menaiki hewan tersebut.
“Tali kekangnya dipegang ya, untuk mengendalikan arah kuda. Tepuk badannya dengan kaki untuk menyuruhnya berjalan. Tarik tali kekangnya jika ingin berhenti,” terang sang penjaga.
“Tili.. kamu butuh pedang ngga?” goda Adrian.
“Bapak rese!”
Adrian hanya terkekeh. Pria itu menyentak badan kuda dengan kakinya, dan tunggangannya itu segera berjalan. Ketika Adrian menyentak kembali, langkah kaki kuda semakin cepat dan kini sudah mulai berlari. Dewi hanya memandang takjub pada Adrian yang ternyata sudah mahir berkuda. Dia yang belum punya nyali berada di atas kuda yang berlari hanya menyentak pelan dan hewan tersebut berjalan pelan.
Setelah beberapa kali putaran, Dewi dan Adrian mengakhiri aktivitas berkudanya. Adrian lalu mengajak Dewi menunaikan ibadah shalat dzuhur dan makan siang di café yang ada di sana. Dalam hatinya merasa senang melihat Dewi yang sudah terlihat tenang dan ceria.
“Habis dari sini langsung pulang ya, pak. Saya mau bantu ibu siapin acara tahlilan tujuh hari bapak.”
“Iya. Saya diundang ngga?”
“Ngga,” jawab Dewi sekenanya dan Adrian hanya mengulum senyum saja.
Keduanya menghabiskan hidangan makan siang yang tersisa sedikit lagi tanpa perbincangan. Usai membayar pesanannya, Adrian segera mengajak Dewi untuk pulang. Sebelum naik ke tunggangannya, pria itu menyerahkan jaket miliknya.
“Pakai ini.”
“Ngga usah, pak.”
“Pakai. Nanti kamu masuk angin. Kasihan punggungmu kalau harus ditato sirip ikan.”
Dengan kesal Dewi mengambil jaket dari tangan Adrian lalu memakainya. Setelah mengenakan helm, dia naik ke belakang Adrian. Kendaraan roda dua itu segera meluncur meninggalkan area Tangkuban parahu.
🌸🌸🌸
Satu jam setengah perjalanan yang harus ditempuh oleh Dewi dan Adrian. Di beberapa titik, mereka harus bertemu dengan kemacetan karena arus balik para wisatawan. Sesampainya di kediamannya, Dewi segera turun dari motor. Dilepaskan helm dan diberikan pada Adrian. Pria itu membuka bagasinya, lalu mengambil lembaran kertas dari dalamnya seraya menaruh helm.
“Ini materi pelajaran selama kamu tidak masuk. Pelajari dan kerjakan latihan soalnya. Senin, serahkan latihan soalnya.”
“Iya, pak.”
“Saya langsung pulang. Sampaikan salam pada ibumu.”
“Iya, pak. Terima kasih buat hari ini. Dan maaf soal sapu tangannya.”
“Hmm..”
Adrian kembali menaiki Honda Varionya kemudian menjalankannya menjauhi kediaman Dewi. Setelah sang wali kelas menghilang dari hadapannya, barulah gadis itu masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Nenden dari arah dapur.
“Ibu lagi buat apa?” Dewi mencium punggung tangan ibunya.
“Buat risoles, bolu kukus, kroket kentang sama lontong buat tahlilan nanti. Pak Adrian mana?”
“Langsung pulang, bu.”
“Oh.. kamu capek ngga? Bisa bantu ibu?”
“Bisa, kok. Dewi ganti baju dulu ya, bu.”
“Iya.”
Nenden tersenyum memandangi anaknya yang tengah masuk ke dalam kamar. Sepulang bepergian bersama Adrian, sikap Dewi nampak ada perubahan. Gadis itu terlihat lebih ceria. Dalam hati wanita itu bersyukur melihat perubahan baik anaknya. Tak lama Dewi kembali setelah berganti pakaian rumah.
“Kamu kemana aja tadi?”
“Diajak ke Taman Lembah Dewata yang di Lembang. Tempatnya bagus, bu. Kapan-kapan kita main ke sana, yuk.”
“Boleh. Kayanya bareng ibu-ibu di sini asik ya. Sewa angkot pak Haji.”
“Iya, bu. Pasti seru tuh.”
“Oh iya, nanti sore antar ibu ya ke rumah pak Haji.”
“Mau ngapain bu? Nganterin makanan ya?”
“Iya. Sama ibu ada perlu juga.”
“Ok, bu.”
“Telepon Roxas, kan nanti malam tujuh hari bapak.”
“Ngga usah ditelepon dia pasti datang, bu. Dia pasti ngincer makanan buat dibawa pulang.”
“Kamu tuh.”
Nenden terkekeh mendengar penuturan anaknya. Setiap pulang acara tahlilan Roxas memang selalu dibekali makanan untuk neneknya. Kedua wanita berbeda generasi itu mulai sibuk dengan pekerjaannya. Sesekali terdengar perbincangan santai mereka diiringi tawa.
🌸🌸🌸
“Ini apa bu?"
Haji Soleh memandangi amplop coklat yang tadi diterima Nenden dari Rusdi. Pria itu masih belum berani memeriksa isinya sebelum mendapat penjelasan dari istri Herman. Salah satu supir angkotnya yang paling jujur dan rajin.
“Begini pak Haji. Tadi pagi orang tua Riska datang ke rumah. Mereka datang mengucapkan bela sungkwa dan memberikan ini sebagai tanda terima kasihnya pada kang Herman.”
“Maaf, mereka itu siapa?”
Nenden menarik nafasnya dalam-dalam untuk memenuhi rongga paru-parunya. Setelah itu dia mulai menceritakan kronologis peristiwa penusukan Herman yang ternyata itu adalah upaya suaminya menyelamatkan gadis yang bernama Riska.
“Masya Allah.. sungguh mulia sekali pak Herman. Semoga Allah menerima amal ibadahnya.”
“Aamiin..” jawab Nenden dan Dewi bersamaan.
“Lalu maksud ibu memberikan uang ini pada saya, apa?”
“Begini, pak. Saya kok merasa berat untuk menerima uang ini. Entah kenapa kalau saya menerima uang ini seperti saya menjual nyawa suami saya sendiri. Jadi, saya putuskan untuk menyumbangkan uang ini. Terserah pak Haji saja mau diberikan untuk siapa.”
“Astaghfirullah.. ibu.. jangan berpikir seperti itu. Saya yakin pak Rusdi memberikan uang itu ikhlas tanpa berpikiran untuk mengganti nyawa pak Herman. Dia hanya ingin meringankan beban ibu yang kehilangan orang yang bertugas memberi nafkah untuk ibu juga Dewi. Akan lebih baik kalau ibu menggunakan uang ini untuk keperluan sehari-hari juga untuk biaya kuliah Dewi.”
“Alhamdulillah, kang Herman sudah memberikan bekal untuk kuliah Dewi. Maksud saya menyumbangkan uang ini, supaya amalannya bisa mengalir untuk suami saya.”
Haji Soleh nampak menghela nafas panjang. Dia tahu benar berapa jumlah uang yang dikumpulkan Herman setiap harinya dalam tabungan. Karena pria itu selalu meminta tolong pada Salim, anaknya untuk menemaninya menyetor ke bank. Jumlah itu masih belum cukup untuk kuliah Dewi sampai mendapat gelar sarjana.
“Ibu.. bagaimana kalau begini. Sebagian uang ini ibu simpan untuk kepentingan Dewi dan sebagian lagi untuk disedekahkan. Ibu bisa menyimpan uang ini untuk biaya pernikahan Dewi nantinya. Jadi, In Syaa Allah uang yang ibu terima bermanfaat bagi yang hidup juga yang sudah meninggal.”
Haji Soleh memberikan solusinya. Untuk sejenak Nenden berpikir dan akhirnya wanita itu menganggukkan kepalanya.
“Alhamdulillah.. jadi uangnya dibagi dua saja ya, bu. In Syaa Allah saya akan memberikan titipan ibu pada yang berhak.”
“Terima kasih pak Haji, terima kasih.”
“Sama-sama, bu. Oh iya, untuk acara tahlilan nanti malam, istri saya sudah menyiapkan hidangan yang akan dibawa pulang sehabis pengajian. Nanti Salim yang akan mengantarkannya ke rumah.”
“Ya Allah.. hatur nuhun pisan pak Haji (terima kasih banyak).”
“Sami-sami, bu.”
Dewi hanya mampu terdiam mendengarkan percakapan ibu dan juga Haji Soleh. Dia tersadar, walau sang ayah sudah pergi meninggalkannya, masih banyak orang yang peduli padanya. Kebaikan Haji Soleh adalah salah satunya, dan itu adalah warisan kebaikan yang diberikan oleh Herman untuk keluarganya.
🌸🌸🌸
**Gimana gaya pak Guru ok ngga?
Hai readers, mulai hari ini sampai satu minggu ke depan aku open house GC Ichageul. So buat yang mau masuk ketuk pintu aja, ya. Nanti mimin bahenolku yang akan menyeleksi dan membuka pintu untuk kalian, ok😉**
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
dari bab awal dak comed...
krn mengulang baca dan gak ada bosen nya yang ada malah bikin kangen😍😍
lagu "bring me to life" teringat karya mu thor🙈