Valeria bahagia ketika sang adik, Cantika diterima sebagai sekertaris di sebuah perusahaan. Setelah 3 bulan bekerja, Cantika menjalin hubungan dengan pimpinannya.
Ketika Cantika mengenalkan sang pimpinan kepada Valeria, dia terkejut karena pria itu adalah Surya, orang yang dulu pernah menjalin cinta dengannya sewaktu SMU, bahkan pernah merenggut keperawanannya.
Apakah yang Valeria lakukan selanjutnya? Apa yang akan terjadi pada mereka? Apakah hubungan mereka akan berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Nita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 24
Keesokan hari, aktivitas seperti biasa. Hanya hari-hari sekarang terasa jenuh, karena ga ada lagi sosok yang sering mengagetkanku, memberi hentakan di jantungku. Malahan, sekarang ada masalah baru. Bisa-bisanya terperosok di rumah tangga orang.
Tak sabar kuketik pesan di gawai. Ingin segera menyelesaikan masalah ini, jika berlama-lama, namaku juga yang jadi buruk. Udah ga tahu, kebagian jeleknya aja.
Valeria
[Reno, kapan kita bisa ketemu?]
Reno SMU
[Udah kangen ya, baru kemarin kita ketemu, sayang.]
Sayang? Idih... Iya bener sayang, sayang aku ga suka modelmu itu. Bibirku mencebik.
Valeria
[Iya. Nanti sore bisa ga?]
Reno SMU
[Bisa, apa sih yang ga buat kamu?]
Gombal.
Valeria
[Ok. Di Cafe Orange ya?]
Reno SMU
[Ya.]
Semua pesan itu tanpa emuah.
Aku melanjutkan kegiatanku hari ini di kantor dengan meeting. Begini kewajiban manager, udah punya masalah pelik, masih harus berpikir buat kantor dan karyawan. Menjalaninya dengan dibawa ringan aja, semua orang pasti punya masalah, dan pasti ada solusinya.
Kali ini kantor akan mengadakan acara outbond di luar kota. Baguslah. Bisa sekalian refreshing. Sambil mengendorkan urat syaraf yang menegang. Acara ini akan diadakan bulan depan. Seperti biasa, aku menyerahkan segala urusan kepanitiaan pada semua karyawan. Biar mereka semua ikut andil dan merasa terkait persaudaraanya satu sama lain. Nanti aku tinggal memeriksa kelengkapannya. Sepertinya semua karyawan antusias dengan acara itu.
Setelah meeting selesai, ada orderan makanan untuk makan siang datang dari sebuah restoran yang cukup ternama di kota ini. Para karyawan tercengang, mungkin bingung siapa yang memesan makanan untuk mereka.
Setelah semua terhidang di meja, aku menyuruh mereka untuk makan siang bersama di ruangan itu.
"Silahkan disantap Bapak dan Ibu, kan waktu itu saya belum membalas kebaikan kalian saat ulang tahun, anggap saja ini sebuah syukuran ulang tahun, tapi maaf agak terlambat ya, karena waktu saya ulang tahun itu, kalian udah duluan menyiapkan makan siang," kataku sambil mempersilahkan mereka untuk mengambil makan.
"Oalah, Bu Valeria baik banget. Makasih ya, Bu!" Celetuk seorang dari belakang.
"Iya, Pak. Cuma syukuran."
Akhirnya semua karyawan makan siang di ruangan itu, impas udah aku menyenangkan mereka. Mereka juga aset berharga untukku, sebisanya mempertahankan mereka yang notabene memiliki kemampuan yang baik di perusahaan ini.
Sepulang dari kantor, aku mempersiapkan diri untuk farewell party nanti sore, iya pesta perpisahan.
Sorenya aku tiba dulu di Cafe, setelah sepuluh menit kemudian, Reno datang dengan mengenakan kemeja berwarna hijau terang. Dia tersenyum padaku, mungkin pikirnya aku duluan yang mengajaknya bertemu. Ah, ada maksudnya aku mah.
Setelah memesan makanan dan minuman, kami ngobrol ringan, sewaktu pesanan datang kami segera menyantapnya. Aku masih saja doyan makanan yang kupesan, padahal ada sesuatu yang kupikirkan.
"Reno, kalau berpacaran itu wajib jujur ga?" tanyaku sambil menyeruput milkshake di gelas besar bertopping whipped cream dan coklat serut.
"Iya lah," jawabnya singkat.
"Nah, selama ini kamu jujur ga sama aku?" Aku menyorot tajam pada matanya.
Dia terlihat kelimpungan. "Maksud kamu?"
"Kalau bengkel di jalan X itu, punya siapa?" Tanpa kuhiraukan pertanyaannya, kucecar dia dengan pertanyaanku dulu.
Dia menghela nafas. "Gini, aku jelasin. Iya, itu punyaku. Dari mana kamu tahu?"
"Dari mataku sendiri kalau itu." Dengan ketus aku menjawabnya.
"Aku cuma nge-test kamu, Val. Selama ini kan cewek yang deketin aku matre. Nah ternyata kamu ga kayak gitu. Cuma itu doang maksudku. Kalau sekarang kamu tahu, ya udah. Aku jujur, iya itu bengkel mobilku."
"Apa sebuah hubungan harus diawali dengan kebohongan?" Sinisku.
Dia menggigit bibir bawahnya sembari matanya mengarah ke jendela.
"Trus, apa lagi yang kamu punya?" Kembali aku mencecarnya.
"Udah itu aja. Apa lagi?"
"Siapa nama istri dan anakmu?" Tanyaku masih tenang sambil meneruskan minumanku.
Muka Reno merah padam, dia mengambil rokok dari kantongnya lalu menyulutnya.
"Tolong matiin. Aku alergi asap rokok," pintaku.
Dia mematikan rokoknya, "Aku dijodohin," katanya singkat tanpa menatapku.
"Lalu?" Tanyaku penasaran.
"Ya, aku ga suka."
"Ga suka kok punya anak, gimana bisa?" Sindirku tajam.
"Aku suka sama kamu dari dulu waktu SMU, aku nyariin kamu waktu lulus sekolah dulu, tapi kamu entah kemana. Lalu kebetulan kita ketemu, itu kesempatanku, Val," Sekarang dia memberanikan diri menatapku.
"Ren, pernikahan itu sakral. Kamu ga boleh main-main dengan itu. Sekarang, apa kamu tega sama anak kamu kalau kamu seperti ini?" Aku menatapnya dan meyakinkan agar dia tidak berpaling dari keluarganya.
"Iya sih, aku..."
"Udah deh, aku ga mau dengar lagi apa alasan kamu, aku bukan pelakor, dan aku tuh jalan sama kamu karena aku ga tahu kalau kamu telah berkeluarga. Inget, ada Tuhan yang melihat ini. Kembali sama keluargamu Ren, anak kamu butuh ayahnya," aku memotong kalimatnya dengan pemikiranku.
Dia menunduk dan merasa bersalah, "Maafin aku, Val, iya kamu benar. Raffa satu-satunya
kebahagiaanku di rumah."
Dari itu aku tahu bahwa nama anaknya adalah Raffa.
"Bukan hanya anakmu, Ren. Meski melewati perjodohan, tetapi dia istri sahmu. Kamu telah berkomitmen untuk mendampinginya kan? Jika kamu ga setuju, kenapa dari awal kamu menerima perjodohan itu?"
Reno memainkan korek gasnya.
"Aku akan berusaha memperbaikinya, Val. Makasih udah menyadarkan aku, tapi boleh aku tanya satu hal?"
Aku mengangguk.
"Waktu kamu bilang jadian sama aku, apa itu benar-benar dari hatimu, atau ada alasan lain?"
Kualihkan mataku ke arah kursi kosong di samping meja.
"Apa ada hubungannya dengan Surya?" Dia berbalik mencecarku.
"Reno, sepertinya aku belum bisa menjawab pertanyaanmu."
Reno tersenyum, "Ya, sepertinya memang ga butuh jawaban, karena pasti tebakanku benar."
Aku mengernyitkan dahi lalu menghembuskan nafasku dengan kencang.
"Reno, kayaknya aku ga bisa lama-lama di sini. Aku mau pulang dulu, kamu masih mau di sini atau mau pulang juga?" Tawarku padanya.
"Aku pulang juga, makasih atas semuanya, Val. Aku semakin mengagumimu, meski aku tidak bisa memilikimu. Semoga kebahagiaan yang kamu inginkan tercapai. Aku akan senang kalau kamu bisa meraih kebahagiaanmu itu." Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca, tetapi nampak dia bisa menahannya.
Aku pun ga paham tentang kebahagiaan yang dia maksud. Apakah dia tahu perasaanku kepada Surya? Ah, entahlah.
Kami berpisah, dan ini untuk selamanya. Aku agak lega karena perpisahan ini tidak berakhir dengan kebencian yang aku takutkan, meski aku sendiri merasa kesal karena telah sempat dibohongi.
Kelegaan ini membawa perasaan ringan dalam hatiku. Rasanya ganjalan yang ada telah hilang, mungkin bagi Reno merupakan kehilangan, tapi bagiku ini kebebasan, aku tidak perlu lagi terikat dan berupaya untuk mencintainya.
berharap anaknya ga cacat semoga, berkali-kali mencoba digugurin 😌😩