Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Kecemburuan yang Tidak Pernah Diundang
Di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat (IGD), setelah memastikan Ibunya sudah mendapat penanganan dari dokter, Shannara duduk lemas. Ia menoleh ke Davin, yang sejak tadi menemaninya.
"Davin, aku benar-benar ... nggak tahu harus bilang apa," ujar Shannara, suaranya penuh kelegaan dan rasa terima kasih yang mendalam. "Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu gimana nasib Ibu tadi. Terima kasih banyak dan maaf sudah merepotkan."
Davin mengangguk sopan. Ia menatapnya dengan sorot teduh. "Sama-sama, Nona Shannara. Tapi ... sebenarnya, Tuan Sergio yang meminta saya menghubungi Anda. Beliau sudah mencoba menelepon dan mengirim pesan, tapi tidak mendapat jawaban."
Shannara menunduk. Ada sesuatu yang hangat sekaligus berat di dadanya. Nama itu selalu membuat hatinya bergetar aneh. Rasa bersalah, rindu, dan bingung berbaur jadi satu. Ia hanya tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan gelombang perasaan yang berputar di dalam dirinya.
Belum sempat ia berkata apa-apa lagi, ponselnya bergetar. Sebuah nama muncul di layar: Dilan.
Ia menoleh pada Davin, memberi isyarat untuk menjawab panggilan itu.
> "Halo, Lan?"
> Di ujung telepon, suara Dilan terdengar khawatir. "Nara, kamu ke mana? Aku ke rumahmu, kok nggak ada yang bukain pintu?"
> Shannara terkejut. "Kamu ke rumahku? Kenapa?"
> "Ya buat nganter makanan, lah!" Dilan berseru, terdengar sedikit kesal tapi juga cemas. "Aku masak ayam goreng mentega sama bubur kacang hijau kesukaanmu. Kamu sendiri yang bilang kemarin, kan? Katanya kangen masakan aku. Jadi ya aku masak!"
Nada suaranya berubah jadi riang, seperti anak kecil yang bangga mempersembahkan hadiah buat seseorang yang spesial.
Shannara teringat. Kemarin, saat di restoran ramen, ia memang sempat memuji masakan Dilan dan bilang ia rindu rasa ayam goreng mentega buatan Dilan. Ia tidak menyangka, Dilan akan menanggapi dengan sangat serius dan langsung memasak untuknya.
> Shannara merasa bersalah. "Ya ampun, Dilan ... maaf banget. Aku sekarang ada di rumah sakit."
> Suara di ujung telepon berubah panik. "Apa? Rumah sakit?! Kamu kenapa, Nara? Kamu sakit? Kecelakaan? Kamu di mana sekarang?" Rentetan pertanyaan itu mengalir cepat, menunjukkan kekhawatiran tulus yang tidak bisa disembunyikan.
> "Tenang dulu, Lan." Shannara menghela napas. "Bukan aku. Ibu ... Ibu pingsan tadi. Sekarang sudah ditangani dokter."
> Keheningan singkat di seberang sana, lalu Dilan berkata cepat "Kirim lokasinya. Aku ke sana sekarang."
> "Dilan, nggak usah—"
> "Terlambat, aku udah siap jalan." potong Dilan tegas. Suaranya menolak bantahan.
Shannara akhirnya menyerah dan mengirimkan nama rumah sakitnya
Davin, yang duduk tak jauh dari situ, mendengar percakapan itu tanpa sengaja. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya berubah tajam. Ia menunduk, lalu mengambil ponsel dan menekan satu nomor yang sudah sangat ia hafal.
Di ruang kerjanya, Sergio sedang menatap layar komputernya dengan pandangan kosong. Sejak siang tadi, ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi gagal total. Ia terlalu gelisah. Begitu ponselnya berdering dan nama Davin muncul di layar, ia langsung mengangkatnya.
> "Bagaimana? Keadaan ibunya?" suara Sergio terdengar tegang.
> "Sudah ditangani, Tuan. Ibu nona Shannara sudah stabil sekarang," jawab Davin tenang, lalu menambahkan dengan hati-hati, "Tapi ... ada hal lain yang mungkin perlu Anda tahu."
> "Apa?" desak Sergio.
> "Nona Shannara baru saja ditelepon oleh seorang pria. Namanya Dilan. Pria itu datang ke rumahnya membawakan masakan. Dia bilang ... dia memasakkan ayam goreng mentega dan bubur kacang hijau, katanya itu makanan favorit nona Shannara," Davin melaporkan, suaranya sedikit tertahan.
Mendengar nama Dilan dan detail tentang 'makanan favorit', Sergio merasakan amarah yang sejak tadi ia tahan, meledak hebat. Pikirannya langsung melayang pada adegan pelukan mereka di Mall tadi.
"Sialan!"
Sergio membanting tinjunya ke meja kerjanya dengan kekuatan penuh. Suara gebrakannya memekakkan telinga. "Lalat itu! Dia benar-benar memanfaatkan kesempatan!"
Amarahnya bukan sekadar cemburu ada rasa kalah, rasa tidak berdaya, karena di saat Shannara butuh seseorang, justru orang lain yang bisa hadir, bukan dirinya.
Sergio memejamkan mata, berusaha menenangkan napas. Tapi yang muncul justru bayangan Dilan tersenyum, membawa makanan kesukaan Shannara. Bayangan yang terasa lebih menyakitkan daripada seribu pukulan.
"Davin," ucapnya akhirnya, dingin dan pelan. "Awasi mereka. Jangan biarkan pria itu membuat masalah. Dan ... pastikan Shannara aman."
"Baik, Tuan," jawab Davin tegas sebelum menutup telepon.
Sergio menatap layar ponselnya yang kini gelap.
Tangannya mengepal, hatinya berperang antara logika dan cemburu yang membakar.
Ia tahu, Shannara bukan miliknya. Tapi mengapa rasanya kehilangan seseorang yang bahkan belum benar-benar ia miliki... bisa sesakit ini?