Istriku Canduku 2

Di tempat yang berbeda, Rama tengah membujuk Ratih untuk meminta alamat Sari di Singapura.

“Rama mohon, Bu. Rama harus bertemu Sari, tolong beri alamat Sari di ssana.”

Ratih terlihat bingung, pasalnya ia terkenal sebagai orang yang tidak enakan.

“Haduh, bagaimana ya, Nak? Soalnya Sari sudah pesan untuk tidak memberitahukan alamatnya di sana pada siapapun.”

“Saya bukan orang lain, Bu. Lagi pula urusan saya dengan Sari belum selesai.” Ujar Rama dengan lirih.

Rama pintar, ia datang ke rumah Sari dalam keadaan sepi karena Teguh bekerja dan Ardi yang masih sekolah, tinggal hanya Ratih yang berada di rumah itu. Sementara Rama tahu persis calon ibu mertuanya itu mudah luluh dan sangat tidak enakan, karena sebelumnya Ratih pula yang memberikan nomor ponsel Sari yang baru. Ia tidak tega melihat Rama yang terus menerus merajuk dan memohon padanya.

“Baiklah, Nak. Sebentar, ibu ambil dulu kertasnya, kebetulan yang mencatat alamat Sari di sana waktu itu adalah Ardi.”

Ratih kembali ke dalam rumahnya, dan mencari catatan yang pernah puteranya tulis, sewaktu Sari mengabarkan keadaannya di sana.

Tak lama kemudian, Ratih kembali ke teras dan menghampiri Rama.

“Ini, Nak. Alamat Sari di sana.” Ratih menyerahkan secarik kertas pada Rama.

Rama langsung tersenyum lebar. “Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak.”

“Nanti sesampainya di sana, saya akan mengabarkan ibu.” Kata Rama lagi.

“Benar ya, Nak?” Tanya Ratih dengan mata berbinar.

“Tentu saja, Bu.” Jawab Rama.

Beberapa menit kemudian, Rama berpamitan. Ia berjanji pada Ratih akan membawa kembali putrinya, ia pun berjanji akan meluluhkan hati Sari kembali dan tetap melangsungkan pernikahan. Sementara Ratih hanya mengangguk setuju, karena ia pun ingin putrinya tidak bekerja di negara orang.

****

Di rumah sakit Singapura, Sari masih dalam masa perawatan di ruang VIP. Ia masih di temani David, sudah dua hari pria itu tak meninggalkan Sari sedikit pun. Terbesit dalam pikirannya untuk menerima pria ini, tapi terkadang petaka malam itu masih terngiang dalam ingatannya. Pernah Sari memperlakukan David lembut, tapi saat mengingat malam naas itu, ia kembali bersikap acuh dan ketus terhadapnya.

“Kamu mau makan apa? Kalau kamu bosan dengan makanan ini, aku akan membelikanmu makanan yang lain.” Kata David, setelah ia melihat makanan yang baru saja di antar ke ruangan Sari.

Sari menggeleng. “Aku tidak mau apapun.”

Ia menjawab dengan mata yang masih tertuju pada layar televisi di depannya. Matanya melihat iklan pizza yang menampilkan menu terbaru. Sesekali bibir itu, ia kulum dengan lidahnya.

David tersenyum tipis, mengikuti arah mata Sari. Ia tahu bahwa gadis ini menginginkan makanan itu, tapi dia gengsi untuk menyebutkan apa yang dia mau.

“Kamu mau itu?” Tanya David dengan mata tertuju pada televisi itu.

Sari mengangguk ragu, lalu menggeleng lagi.

“Aku mau pulang.”

David kembali mendekat pada Sari. Ia mengelus rambut panjangnya.

“Kalau ingin cepat pulang, makan yang banyak. Agar dia di sini juga kuat.”

Sari hanya diam.

“Sepulang dari rumah sakit, kamu akan tinggal di apartemenku. Tidak perlu bekerja. Aku tidak izinkan kamu bekerja, karena itu akan membuatmu lelah dan membahayakan anakku.”

Mata Sari kembali membulat. “Apa apaan ini, jadi suami saja belum, udah ngatur-ngatur.” Batinnya.

“Memang siapa kamu? Apa hakmu mengaturku?”

“Aku suamimu.” David dengan percaya diri, menunjuk dirinya sendiri

“Apa? Bule stres, memang kapan kita menikah?” Tanya Sari dengan tatapan kesal.

“Secepatnya, aku sudah mengatur semuanya, tidak lama lagi kita akan menikah.”

Sari kembali menggeleng.

“Atas dasar apa kamu mengaturku?”

“Karena kamu milikku.” Jawab David.

“Sejak..”

“Sejak malam itu, kamu sudah menjadi milikku.” David langsung memotong perkataan Sari, karena Sari terlalu banyak bicara.

“Aku tidak setuju.” Sari semakin kesal. Pria ini benar-benar membuat darahnya mendidih.

David benar-benar memperlakukan Sari seenaknya. Sari semakin geram dan menentang keinginan pria itu mentah-mentah, walau sebenarnya ini keuntungan baginya, karena David mau bertanggung jawab, padahal jika David tidak bertanggung jawab, entah bagaimana nasibnya nanti.

“Aku tidak meminta persetujuanmu.” Jawab David santai.

Sari mengeryitkan dahinya.

“Oke, kalau begitu kita lihat saja. Kita tidak akan menikah.”

“Kita akan menikah beberapa hari lagi.” Ucap David yang kini terpancing emosi.

“Tidak akan, kalau aku tidak setuju, maka pernikahan itu tidak akan terlaksana.”

“Kita lihat saja.” Mata David menyipit. Lalu, Ia tersenyum melihat wanita di depannya ini, karena nyalinya cukup besar, padahal Sari tahu persis David itu bukan pria sembarangan.

Sementara Sari hanya asal ucap. Sebenarnya, ia pun tak yakin akan bisa melawan kehendak David. Tapi sejujurnya, saat ini ia tak mau menikahi pria ini, ia juga tak akan menggugurkan bayi yang masih berupa gumpalan darah di rahimnya. Saat ini, ia hanya mengikuti alur hidupnya saja, ia masih belum memikirkan apa yang harus di lakukan.

“Awas aja ka..”

Cup

David mencium bibir itu, karena Sari terlalu banyak bicara, membuat David ingin sekali membungkam bibir ranum Sari dengan bibirnya.

“Mmpphhh..” Sari memukul dada David.

Namun, David semakin memperdalam ciuman itu. Ia menahan kepala Sari dan mel*mat bibir itu dengan rakus, hingga Sari merasa oksigen di rongga dadanya kian menipis. Padahal David masih menginginkannya. Kelembutan dan rasa manis bibir Sari membuatnya ketagihan.

Beberapa menit kemudian, David melepas pangutan itu. Dada Sari terus berdetak kencang. Walau ia pernah berciuman dengan Rama, tapi dadanya tidak sekeras ini terpacu.

Nafas Sari masih terengah-engah, seperti lari maraton bermeter-meter jauhnya. Ia memegang bibirnya yang tipis, sambil mengelap sisa saliva yang menempel di sana. Ia menatap David tajam, tapi yang di tatap hanya tersenyum, menampilkan senyum kemenangan. Keduanya saling beradu pandang.

“Kamu milikku dan akan selalu jadi milikku.” Ucap David.