Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. Cetak Biru Batavia Baru dan Perekrutan Bayangan
Kejatuhan Kobra menciptakan kekosongan kekuasaan di dunia bawah tanah Jakarta Utara, tetapi bagi Rendra, itu hanyalah pembersihan jalur. Di dalam bunker-nya yang hening, Rendra menatap peta digital Jakarta yang terpampang di layar besar.
Ia menyadari satu kelemahan fatalnya: Jangkauan Fisik.
Ia memiliki mata yang bisa melihat masa depan, dan otak yang bisa memanipulasi pasar. Tetapi tubuhnya hanya satu. Ia tidak bisa berada di dua tempat sekaligus. Ia tidak bisa menjaga Clara 24 jam sambil memantau pergerakan Rudi, atau menjaga rumah orang tuanya yang kini kosong namun penuh kenangan.
Ia membutuhkan Letnan. Seseorang yang loyal, kompeten, dan memiliki alasan untuk membenci sistem yang korup sama seperti dirinya.
Sebelum Rendra sempat memikirkan kandidat, sebuah notifikasi prioritas tinggi masuk dari Elena Paramita.
Ini adalah "proyek sesungguhnya" yang disebutkan Wirawan.
Rendra membuka fail terenkripsi itu. Judulnya sederhana namun ambisius: "Revitalisasi Pesisir: Batavia Megacity".
Ini adalah proyek reklamasi dan pembangunan ulang kawasan pesisir Jakarta yang bernilai ratusan triliun rupiah. Sebuah konsorsium pengembang, dipimpin oleh holding company Wirawan, berencana mengubah kawasan kumuh nelayan dan pergudangan tua menjadi distrik bisnis bertaraf internasional.
Tugas Rendra, seperti yang tertulis dalam memo Elena:
"Analisis dampak sosial dan fluktuasi harga lahan dalam 24 jam setelah pengumuman publik tahap pertama. Kami butuh waktu yang tepat untuk merilis berita ini agar harga saham induk perusahaan melonjak, tapi resistensi warga minimal."
Rendra tersenyum sinis. "Minimal resistensi." Bahasa korporat untuk "penggusuran tanpa kerusuhan."
Rendra memicu Visi nya. Ia memfokuskan pandangannya pada lokasi proyek besok hari.
Deg.
Visi itu tidak indah. Ia melihat konferensi pers pengumuman proyek itu besok siang. Namun, bukan tepuk tangan yang terjadi. Rendra melihat sekelompok provokator bayaran bukan warga asli melemparkan batu dan bom molotov ke arah podium. Kerusuhan pecah. Polisi bertindak represif. Saham perusahaan konstruksi anjlok sesaat karena sentimen negatif.
Namun, Rendra melihat sesuatu yang lebih dalam. Di tengah kekacauan itu, orang-orang Wirawan (Rudi dan timnya) justru sibuk membeli lahan-lahan warga yang panik dengan harga sangat murah.
Ini adalah strategi "Create Chaos, Buy Low". Wirawan ingin kerusuhan itu terjadi. Dia ingin harga tanah jatuh agar dia bisa memborongnya sebelum pembangunan dimulai.
Tugas Rendra sebenarnya bukan mencegah kerusuhan, tapi memastikan kerusuhan itu terkendali sehingga tidak membatalkan proyek, hanya cukup untuk menakuti warga.
Rendra merasa muak. Ini adalah permainan kotor yang mengorbankan rakyat kecil. Namun, ia harus bermain peran.
Ia membalas Elena:
“Rilis berita pukul 14.00, saat pasar saham sesi 2 berjalan. Akan ada volatilitas tinggi akibat 'gangguan lapangan' yang terorganisir. Pastikan tim keamanan siap di Sektor 4. Itu titik lemahnya. Jika Sektor 4 jebol, proyek batal. Jika bertahan, harga saham akan rebound sebelum penutupan pasar.”
Rendra memberi Elena solusi untuk menyelamatkan proyek dari kehancuran total, tetapi tidak memberitahunya bahwa Wirawan-lah yang mendalangi kerusuhan itu. Biarkan Elena berpikir itu ulah warga atau saingan bisnis.
Setelah urusan Elena selesai, Rendra keluar dari bunker. Ia mengenakan topi dan masker, menuju sebuah warung kopi sederhana di pinggiran kawasan industri, tempat ia dulu sering lewat saat bekerja di warnet.
Ia mencari seseorang.
Namanya Bagas. Rendra sering melihat pria itu duduk diam berjam-jam dengan segelas kopi hitam, tatapannya kosong namun waspada. Dari Visi masa lalunya (saat iseng mengamati orang di warnet), Rendra tahu siapa Bagas.
Bagas adalah mantan anggota pasukan pengamanan khusus (bodyguard VIP) yang dipecat dan di-blacklist dari industri keamanan karena menolak perintah atasan untuk memukuli seorang wartawan investigasi. Istrinya sakit keras, dan dia kini bekerja serabutan sebagai kuli panggul di pelabuhan. Pria dengan moral tinggi yang dihancurkan oleh sistem. Kandidat sempurna.
Rendra masuk ke warung itu. Bagas ada di sana, mengenakan kaos lusuh yang menampakkan otot-otot kekarnya yang penuh luka gores.
Rendra duduk di depannya, memesan kopi.
"Kursi ini kosong?" tanya Rendra.
Bagas menatapnya sekilas, tajam. "Banyak kursi lain, Nak."
"Tapi kursi ini punya pemandangan terbaik ke arah pintu keluar," jawab Rendra tenang. "Kebiasaan lama sulit hilang, ya, Pak Bagas?"
Bagas menegang. Tangannya di bawah meja mengepal. "Siapa kau? Penagih utang?"
Rendra meletakkan sebuah amplop cokelat di atas meja. Isinya bukan tagihan, tapi uang tunai Rp20.000.000.
"Itu untuk biaya rumah sakit istrimu. Operasi pengangkatan tumornya bisa dilakukan lusa kalau kau bayar uang muka besok," kata Rendra datar.
Mata Bagas membelalak. "Dari mana kau tahu... Apa maumu? Kau mau aku membunuh orang?"
"Aku bukan preman, Pak Bagas. Dan aku tahu kau dipecat dari 'Perisai Security' karena kau punya hati nurani. Itu yang aku cari."
Rendra mencondongkan tubuhnya. "Aku sedang membangun sebuah perusahaan. Nusantara Quantitative Solutions. Resmi. Legal. Aku butuh Kepala Keamanan. Seseorang yang bisa menjaga asetku, mengawasi punggungku, dan melakukan tugas lapangan yang tidak bisa kulakukan sendiri."
"Kenapa aku?" suara Bagas parau.
"Karena kau satu-satunya orang di pelabuhan ini yang tidak mengambil dompet jatuh milik ibu-ibu kemarin sore, padahal kau butuh uang," jawab Rendra. "Aku butuh loyalitas, bukan sekadar otot. Gajimu Rp15 juta per bulan, plus asuransi kesehatan full cover untuk istrimu. Bonus diberikan per misi."
Bagas menatap amplop itu, lalu menatap mata Rendra. Ia melihat bukan mata anak SMA, melainkan mata seorang pemimpin yang sudah melihat banyak hal.
"Apa tugas pertamaku?" tanya Bagas, tangannya perlahan mengambil amplop itu.
"Sederhana," Rendra mengeluarkan sebuah foto. Foto sebuah gudang tua di Jakarta Utara markas Kobra yang baru saja digerebek.
"Tempat itu sekarang disegel polisi. Tapi aku tahu, Kobra menyembunyikan sebuah buku besar (ledger) di balik dinding palsu di ruang belakang. Polisi melewatkannya. Buku itu berisi daftar nama pejabat yang meminjam uang padanya."
Rendra menatap tajam. "Ambil buku itu malam ini. Tanpa ketahuan. Tanpa jejak. Bawa padaku."
Bagas mengangguk. "Itu saja?"
"Untuk sekarang. Lakukan itu, dan kau resmi bekerja untukku. Gagal, dan anggap saja uang Rp20 juta itu sumbangan."
Rendra berdiri dan pergi.
Malam itu, Rendra memantau dari bunker-nya. Bukan lewat Visi, tapi lewat scanner polisi. Tidak ada laporan pembobolan di lokasi Kobra. Hening.
Pukul 03.00 pagi, pintu ruko bagian bawah diketuk dengan pola khusus yang Rendra berikan pada Bagas.
Rendra turun, membuka pintu.
Bagas berdiri di sana, mengenakan jaket hitam, basah oleh hujan. Di tangannya, ada sebuah buku catatan tebal bersampul kulit hitam yang berdebu.
"Tidak ada alarm. Polisi yang jaga sedang tidur," lapor Bagas singkat, menyerahkan buku itu.
Rendra menerimanya. Ia membuka halaman acak. Isinya penuh dengan nama-nama, tanggal, dan nominal utang. Beberapa nama di sana adalah anggota DPRD, perwira polisi menengah, dan pengusaha lokal.
Ini adalah Leverage (Daya Tawar). Kobra mungkin sudah ditangkap, tapi "nyawa" bisnisnya ada di buku ini. Dengan buku ini, Rendra memegang rahasia kotor puluhan orang berkuasa di Jakarta Utara.
"Kerja bagus, Bagas," Rendra tersenyum tipis. "Selamat datang di Nusantara."
"Terima kasih, Bos," jawab Bagas. Panggilan 'Bos' itu terdengar tulus dan penuh hormat.
Rendra kini memiliki:
Uang hampir Rp1 Miliar.
Markas rahasia.
Posisi di dalam jaringan Wirawan (via Elena).
Dan sekarang, Pedang Pertama-nya.
Besok, proyek Batavia Megacity akan diumumkan. Kerusuhan akan terjadi. Rendra akan memastikan dia dan organisasinya berada di posisi yang menguntungkan di tengah kekacauan itu.
Perang sesungguhnya baru saja dimulai, dan Rendra tidak lagi sendirian.
Semangat Thor