"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23 Masalah
Shela memutuskan untuk pergi ke kelab malam sebagai pelarian atas kemarahannya pada sang ibu. Ia merasa ibunya tak pernah mengerti dirinya. Memahami apa yang ia inginkan dan ia rasakan. Ibunya selalu memaksakan kehendak yang ia mau tanpa peduli apakah Shela setuju atau tidak.
Namun, untuk kali ini ia akan terus berjuang menolak segala rencana sang Ibu untuk menjodohkannya dengan kakak iparnya. Ia tidak mau menikah dengan pria yang jelas-jelas tidak ia sukai apa lagi cintai. Shela sudah punya kekasih sendiri, pria yang sejak dulu telah mencuri hati dan perhatiannya.
"Sudah lama?" Pria bernama Willy yang baru saja datang langsung mengecup pipi Shela. Dialah kekasih Shela sejak setahun ini.
Shela mengangguk. Ia memang datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Shela bahkan sudah minum beberapa gelas bir.
"Kenapa lagi?" tanya Willy yang melihat kekasihnya seakan banyak masalah.
"Biasa," jawab Shela lirih. Shela memang sudah bercerita sebelumnya pada Willy soal niatan ibunya itu.
"Kamu udah nolak, kan?"
"Ya udah, tapi Mama tuh kekeuh banget pengen aku nikah sama Kak Arka," jawab Shela dengan raut kesal mengingat sikap ibunya yang pemaksa.
"Makanya kamu buruan nikahin aku, aku tuh capek tahu dipaksa-paksa mulu sama Mama!"
"Ya, sabar dulu dong, Sayang. Aku kan belum ada pekerjaan tetap. Emang kamu mau tinggal di kontrakan, makan seadanya?"
Shela menggeleng keras.
"Makanya, aku kan sedang usaha cari kerja ini."
"Kamu kan bisa minta kerja sama Papi kamu, ngapain repot-repot!"
"Kok kamu masih nanya gitu, kamu tahu sendiri kan kalau Papi aku tuh keras soal hubungan kita. Dia nggak mau nerima aku kerja kalau aku masih ada hubungan sama kamu."
Shela makin mencebik kesal mendengar kenyataan soal hubungannya dengan Willy yang ditentang orang tua Willy.
"Terus gimana, apa aku harus nerima apa yang Mama aku suruh. Nikah sama kakak ipar aku gitu?"
"Ya nggak gitu juga, Sayang. Kamu kan pacar aku, ya nikahnya sama aku lah." Willy mengusap lembut kepala Shela. Membuat wanita itu lebih tenang.
Ini juga yang Shela suka dari Willy, perhatian dan memahami dirinya.
"Gimana kalau kita senang-senang dulu. Lupain dulu masalah orang tua kita yang bikin otak kita pusing."
Shela mengiyakan begitu saja. Saat ini ia memang ingin senang-senang dengan Willy. Ia rindu semua yang Willy lakukan untuk mengembalikan moodnya jika sedang buruk.
Semua dimulai dengan ajakan Willy untuk turun ke lantai disko. Melampiaskan kemarahan dan kekesalan dengan menari adalah cara terbaik yang terpikir oleh Willy.
*****
Di rumahnya, Santi tak bisa tidur begitu saja seperti biasa. Bayangan akan sosok yang ia temui di makam Raswa masih terekam jelas. Terlebih ucapannya. Seakan tak terngiang-ngiang di telinga.
"Saya datang untuk anak saya, Tante."
Santi tak habis pikir. Kenapa baru sekarang pria itu datang. Ke mana dia dulu saat ia kebingungan tentang masa depan Raswa. Dia pikir dia siapa, tiba-tiba datang dan menuntut anak yang bahkan tak pernah ia lihat.
"Enggak!" Santi menggeleng keras. "Ini nggak bisa dibiarin. Zaky nggak boleh ambil Zara. Selamanya Zara adalah anak Raswa dan Arka. Dia nggak boleh datang ke rumah Arka, atau semua rencanaku akan kacau!"
Santi mulai tak tenang. Banyak hal ia pikirkan untuk mencari jalan agar Zaky tak pernah datang apa lagi menyebut Zara anaknya.
*****
"Makasih, Mas. Makasih udah mau nolong aku buat nebus sertifikat rumah ini," ujar Syafa pada kakak iparnya. Ia mendekap erat sertifikat yang ia pikir tak akan pernah kembali lagi padanya.
Setelah tadi pagi ia menceritakan masalah yang ia alami. Arka langsung turun tangan membantu. Syafa pikir semua bakalan lama, nyatanya malam ini sertifikatnya sudah ada di tangannya. Ia tak menyangka Arka sebaik dan sehebat itu.
"Nggak usah berlebihan gitu. Bagaimanapun urusan kalian juga jadi urusanku. Yang perlu kamu inget, jangan ulangi lagi semua. Jangan mudah percaya sama laki-laki, meski itu pacar kamu."
"Iya, Mas. Aku akan lebih berhati-hati sekarang."
"Ya sudah, aku mau pulang. Kamu jaga diri baik-baik."
Syafa mengangguk.
Usai pamit Arka segera pergi, tapi belum juga sampai ke pintu ia berbalik lagi. "Oh, ya, Syafa, tolong rahasiakan ini dari Maira, ya."
Dahi Syafa berkerut. Jelas sekali terlihat bingung. "Maksud Mas Arka, apa?"
"Jangan bilang sama Maira kalau aku yang udah nebus sertifikat itu. Pokoknya jangan cerita apa pun ke Maira soal aku yang ikut campur masalah ini. Ok!"
"Ok, Mas."
Arka pun melangkah dengan tenang meninggalkan rumah ibu mertuanya. Yang kini hanya dihuni oleh Syafa seorang.
Syafa mengantar Arka sampai ke depan. Ia bahkan menunggu mobil Arka pergi meninggalkan rumahnya. Sebuah senyum malu-malu terbit di bibir gadis yang belum genap 20 tahun itu.
Rasa kagum akan kakak iparnya mulai terbetik di hati. "Beruntungnya Mbak Maira punya suami kayak Mas Arka. Baik, kaya, tampan lagi. Nggak kayak aku yang sial banget dapat pacar modelan Edo. Udah muka pas-pasan, aura penipunya kuat banget. Udah gitu, aku masih ketipu pula sama rayuan gombalnya itu. Aish ... sial betul nasibku!"
Syafa terus menatap jalanan yang sudan sepi. Mobil Arka sudah tak terlihat, tapi senyum untuk kakak iparnya belum pudar.