Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Pagi itu, cahaya matahari mulai menyusup lembut melalui celah tirai dapur. Aroma harum bawang putih tumis yang baru saja dituang ke wajan memenuhi udara. Amira, dengan rambut diikat seadanya, berdiri di samping Mbok Surti yang sibuk memotong sayuran.
Di hadapannya, Hilda tengah menyiapkan beberapa piring di atas meja makan. Gerakannya teratur dan anggun, meski wajahnya tetap menyimpan ekspresi dingin seperti biasa. Jemari Hilda yang terawat memegang sendok dan garpu, menyusunnya dengan posisi sejajar di sisi piring—detail kecil yang selalu ia perhatikan agar meja makan tampak sempurna.
Kemudian, ia menarik kursi lalu duduk di samping Hendra, lalu meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Jarinya yang ramping mulai menyapu layar, membuka daftar kontak dengan ekspresi datar. Cahaya layar ponsel memantul di wajahnya yang tegas, menonjolkan tatapan tajam yang kini sedikit melunak saat matanya menemukan nama yang dicarinya—Angga. Saat itu juga, jemarinya begitu lincah menari di atas keyboard.
Angga, kamu dimana? Kenapa kamu gak pulang? Kamu mau bikin Papa curiga, lagi? Cepat pulang sekarang!
Hendra menatap ke arah dapur begitu mendengar langkah pelan mendekat. Dari balik pintu, Amira muncul sambil membawa nampan berisi mangkuk sayur hangat dan piring lauk pauk.
Hendra menatap ke arah dapur begitu mendengar langkah pelan mendekat. Dari balik pintu, Amira muncul sambil membawa nampan berisi mangkuk sayur hangat dan piring lauk pauk.
Ada seulas senyum samar muncul di wajah Amira, seolah ingin menyapa namun tertahan oleh hawa dingin yang masih terpancar dari Hilda di sampingnya.
"Ayo duduk Nak." Pinta Hendra.
Amira sempat menoleh sekilas pada Hilda yang masih sibuk dengan ponselnya. Wanita itu sama sekali tak memberi tanda setuju ataupun menolak, hanya diam dengan ekspresi dingin yang sulit dibaca.
“Ba-Baik… Om,” Jawab Amira akhirnya, suaranya pelan nyaris seperti bisikan. Ia menarik kursi di ujung meja dengan hati-hati dan duduk perlahan dihadapan Hendra dan Hilda.
"Angga masih di kamar?" Tanya Hendra saat itu juga memecah keheningan yang sedari tadi menahan percakapan di meja makan. Nada suaranya terdengar biasa saja, namun cukup membuat Amira menegakkan punggungnya.
Namun, Amira membisu, jemarinya yang tadi merapikan sendok di pangkuannya kini saling menggenggam erat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Kejadian semalam pun Angga tak pernah memberitahunya ke mana ia pergi.
Hilda akhirnya mengangkat wajahnya dari layar ponsel, lalu perlahan meletakkan benda itu di atas meja makan dengan bunyi tek yang terdengar jelas di tengah keheningan. Tatapannya langsung tertuju pada Amira—dingin, menusuk, namun tetap tenang seperti biasa. Amira yang menyadari pandangan itu sontak menunduk, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Hendra kemudian menoleh menatap Hilda. "Ma?"
"A-Angga tadi malam ..." Hilda menelan saliva.
"Tadi malam kemana?"
"A-Angga tadi malam pergi ke rumah temannya, Pa." Ungkap Hilda, setengah khawatir.
"Apa? Bisa-bisanya anak itu!" geram Hendra sambil menggenggam garpu dan sendoknya lebih kuat hingga terdengar dentingan kecil di piring. Rahangnya mengeras, menahan amarah yang mulai naik ke ubun-ubun.
"Dia sudah menikah, sudah punya istri. Tapi kelakuannya tetap saja sama!"
Hilda menelan saliva dengan gelisah, matanya tertunduk dalam, seolah berusaha menghindari sorot mata Hendra yang tajam. Ia menggenggam erat ujung taplak meja, menahan diri untuk tidak bicara.
Hendra menghela napas berat, suaranya melembut namun tetap mengandung kekecewaan. "Papa pikir setelah Angga menikah, dia akan berubah. Papa tenang karena merasa dia akhirnya punya tujuan. Tapi ternyata—"
"Aku gak akan pernah bisa berubah bersama orang yang gak aku cinta!" Potong Angga yang tiba-tiba muncul. Nadanya datar, namun cukup mengejutkan mereka bertiga.
"Angga, kamu akhirnya pulang," Sambut Hilda dengan wajah setengah melega. Suaranya terdengar berusaha ramah, meski sorot matanya masih menyimpan sisa kejengkelan.
Begitu pun Amira, yang berdiri di samping meja makan sambil meremas ujung apron di tangannya. Ada sedikit kelegaan yang timbul di dadanya melihat Angga pulang, namun tidak sepenuhnya. Ucapan Angga pagi ini berhasil menusuk dadanya yang tadi malm saja belum sembuh.
Angga melangkah masuk tanpa menanggapi sapaan ibunya. Tatapannya lurus ke arah Hendra yang duduk di kursi kepala meja. Wajahnya tampak letih, namun dinginnya sorot mata itu membuat suasana yang tadinya tegang kembali memanas.
Begitu juga Hendra, menatap tajam ke arah Angga. Tatapan itu penuh amarah yang sudah lama tertahan, namun kali ini seolah siap meledak kapan saja.
“Apa kamu pikir ucapanmu barusan wajar diucapkan di depan istrimu?” Suara Hendra bergetar menahan emosi. “Kamu benar-benar sudah keterlaluan, Angga.”
Angga hanya terdiam di tempat, kedua tangannya diselipkan ke saku celana. Tatapannya tidak goyah, seakan sama sekali tak peduli dengan teguran ayahnya.
Hilda yang berdiri di dekat Amira melirik khawatir pada suaminya. “Pa sudah, Angga capek baru pulang,” Bisiknya, mencoba meredam.
Namun Hendra tak mengindahkan. Ia menoleh memandang istrinya dengan sorot mata tajam, seolah meminta Hilda untuk tidak lagi mencoba menahan amarahnya.
“Selalu dimanja,” Gumam Hendra, suaranya rendah namun penuh penekanan. Tatapan matanya masih tertuju pada Hilda. “Dari kecil sampai sekarang, kamu selalu memanjakan dia. Lihat hasilnya sekarang… laki-laki dewasa yang gak bisa menghargai istrinya sendiri.”
Hilda terdiam, bibirnya terkatup rapat. Ia tidak bisa membantah karena sadar, ucapan Hendra ada benarnya. Namun sebagai seorang ibu, hatinya juga terasa tercabik melihat anaknya diperlakukan begitu di hadapan orang lain.
Angga mendengus kecil sambil melipat tangan di dada. “Jadi sekarang semua salah Mama? Atau salah Papa? Atau mau salahin aku lagi?” Nada suaranya terdengar sinis, memancing bara yang sudah membara.
Hendra menatap Angga dengan sorot yang semakin tajam. “Jangan lempar kesalahan ke orang lain. Kamu sendiri yang memilih jalan hidupmu. Papa dan mama cuma berharap kamu bisa jadi orang yang lebih baik. Tapi yang papa lihat sekarang, kamu masih anak kecil yang manja dan egois!”
Ucapan itu bagai tamparan keras bagi Angga. Namun alih-alih merasa tersentuh, ia malah tertawa miring—tawa yang hambar dan dingin. “Kalau dari dulu kalian tahu aku manja dan egois, kenapa kalian nikahin aku sama dia?”
Mendengar itu, Amira refleks mengangkat wajahnya, terkejut sekaligus sakit hati. Ucapan Angga seolah menegaskan bahwa keberadaannya hanya beban.
“Kurang ajar, kamu!” Bentak Hendra, suaranya menggema memenuhi ruang makan.
Mbok Surti yang tanpa sengaja datang sambil membawa nampan berisi hidangan, berhenti di ambang pintu ruang makan. Ia hendak meletakkan makanan yang sudah siap di meja, namun langkahnya terhenti ketika mendengar nada bicara Hendra yang meninggi.
Tangannya terangkat tinggi, jemari-jemarinya siap mendarat di pipi Angga yang berdiri tak bergeming di hadapannya. Sorot mata Angga sama sekali tidak menunjukkan rasa takut, justru menantang, membuat amarah Hendra semakin membara.
Namun sebelum tamparan itu sampai, sebuah tangan kecil tiba-tiba menahan pergelangan tangan Hendra.
“Om, jangan!” Suara itu lirih namun tegas—Amira. Ia beranjak dan menghalangi gerak Hendra. "A-aku mohon, Om. Jangan sakiti Mas Angga."
Hendra tertegun, menoleh ke arah menantu yang kini berdiri di antara mereka, matanya penuh cemas. Jemarinya yang tadi terangkat masih menggantung di udara, seolah kehilangan tenaga.
Sedangkan, Angga hanya mendesis pahit, bibirnya melengkung tipis seolah meremehkan Amira yang sudah bersusah payah membelanya.
"Amira," Ungkap Hendra kemudian. "Om harap... kamu kuat dan bisa menerima Angga.
“Amira…” ucap Hendra akhirnya, suaranya mereda meski masih terdengar berat. Tatapannya kini beralih pada menantu perempuannya yang sejak tadi hanya menunduk.
“Om harap… kamu kuat,” lanjutnya dengan nada lebih lembut, berbeda jauh dari amarahnya pada Angga tadi. “Kamu sudah banyak menahan luka karena sikapnya. Om hanya bisa minta kamu bertahan dan… belajar menerima Angga, bagaimanapun keadaannya.”
Amira mengangkat wajah perlahan, matanya yang sembab menatap Hendra dengan ragu. Ada kehangatan dalam nada suara pria itu, namun juga terasa getir—seolah ia sendiri tidak yakin pada kata-kata yang diucapkannya.
“Om tahu ini gak gampang,” Tambah Hendra lagi, suaranya lebih pelan, “tapi Om percaya … kamu orang yang sabar dan juga tulus. Om mengharapkan kamu, Amira.”
Hilda tersenyum sinis di belakang Hendra, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama. Namun mata Amira menangkap jelas guratan tipis di sudut bibir mertuanya itu.
Sekejap saja, dada Amira seperti diremas. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mulai menggenang di matanya. Bukan hanya Angga yang terus melukai hatinya dengan sikap dingin dan ucapan tajam, tetapi juga Hilda—yang membuatnya merasa tak pernah benar-benar diterima di rumah ini.
Hendra masih menatap Amira dengan raut prihatin, tidak menyadari perubahan kecil yang terjadi di belakangnya. “Om minta maaf kalau Om belum bisa membuat kamu nyaman di rumah ini,” Ucapnya perlahan, mencoba menenangkan suasana.
Amira hanya mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tidak berani mengadu atau mengatakan apa yang baru saja ia lihat. Bibirnya terkatup rapat, menahan semua luka yang ingin ia keluarkan.
Hendra menghela napas panjang, lalu melangkah pergi dengan wajah yang masih menyimpan guratan kecewa. Ia meraih tas kerjanya yang sudah disiapkan di dekat sofa, gerakannya terkesan tergesa namun tetap berwibawa.
“Papa berangkat dulu,” Ucapnya singkat, tanpa menoleh pada siapa pun. Suaranya datar, berbeda dengan nada kerasnya beberapa menit lalu.
Hilda diam di tempat, berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada, memperhatikan suaminya tanpa ekspresi. Ia tidak berusaha menahan ataupun mengucapkan selamat jalan, seolah kepergian Hendra pagi itu hanyalah rutinitas biasa.
Suara pintu utama yang tertutup perlahan menjadi penanda bahwa Hendra benar-benar telah meninggalkan rumah untuk pergi ke kantor.
Keheningan yang tercipta setelah itu terasa semakin menekan dada Amira. Ia mengangkat wajah perlahan, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup, seolah berharap Hendra kembali untuk menenangkannya.
Namun yang tersisa hanyalah Hilda dan Angga—dua orang yang membuatnya harus kembali menguatkan diri. Mbok Surti yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan memperhatikan dalam diam, hanya bisa menghela napas lirih melihat pemandangan itu.
Angga krmudian menatap Amira sebentar, tatapannya dingin dan datar, seolah menimbang-nimbang sesuatu yang hanya ia sendiri yang mengerti. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya senyum tipis yang terasa lebih seperti ejekan daripada kelembutan.
Amira menunduk lagi, hatinya serasa tertusuk. Tatapan itu membuatnya merasa kecil, terasing, dan sekaligus terluka—meski ia berusaha tegar, diam-diam hatinya gemetar.
Tanpa sepatah kata pun, Angga berbalik dan melangkah pergi dari ruang makan. Suara langkah kakinya yang menjauh bergema tipis di lantai marmer, meninggalkan keheningan yang menyesakkan di ruang itu.
Saat itu juga, Hilda maju selangkah, menatap Amira dengan mata menyala, bibirnya menipis. “Gara-gara kamu, selera makan kami jadi hilang!” Ucapnya dingin, hampir seperti cambukan kata yang menghantam dada Amira.
Amira hanya bisa menelan ludah, hatinya perih. Jemarinya gemetar menggesekkan kuku-kuku ibu jari. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada amarah Angga atau Hendra sebelumnya. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan, tapi suaranya seolah hilang di tenggorokan.
Hilda mencondongkan tubuh sedikit ke depan, senyumnya tipis namun menusuk. “Kamu pikir dengan diam dan manis begitu, kamu bisa menutupi siapa dirimu yang sebenarnya? Tidak, Amira. Saya tahu siapa kamu. Kamu itu hanya wanita rendah, miskin, gak tahu diri yang sembarangan hadir ke dalam kehidupan keluarga Hendra Atmajaya!"
Amira menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris tumpah. Suasana di ruang makan kini terasa semakin mencekam; udara seakan menekan setiap tarikan napasnya.
“Kamu…” Hilda memulai, suaranya meninggi sejenak, namun tiba-tiba terputus seolah ada sesuatu yang menghentikan kata-katanya. Matanya menatap Amira tajam, namun ia tak melanjutkan ucapannya. Saat itu juga, ia berbalik tanpa sepatah kata lagi.
Beberapa detik hening menyelimuti ruang makan, hanya terdengar detak jam dan napas berat Amira yang menahan perih.
Mbok Surti yang sedari tadi memperhatikan dari sudut ruangan akhirnya melangkah mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran. Ia menepuk bahu Amira perlahan dan menunduk sedikit.
“Non, nggak apa-apa?” Tanyanya lirih, suaranya hangat namun tetap rendah, seolah takut mengganggu suasana yang masih tegang.
Amira menatap Mbok Surti sebentar, matanya sembab dan bibirnya bergetar. Ia menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski hati dan dadanya terasa sesak. “Aku… aku baik-baik saja, Mbok,” Jawabnya dengan suara serak, berusaha menenangkan diri sendiri lebih dari orang lain.
Mbok Surti menggenggam tangan Amira sebentar, memberi sedikit sentuhan yang menenangkan. “Non yang sabar ya, Non. Si Mbok setuju apa kata Bapak. Non itu kuat, tulus, bisa nerima Den Angga."
Amira menarik napas panjang, menahan perih yang mengganjal di dada. Ia menunduk, menyadari bahwa satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya saat ini hanyalah Mbok Surti.
****