Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Jam digital di meja samping tempat tidur menunjukkan 02:17 dini hari.
Kamar hotel suite itu gelap, hanya diterangi cahaya lampu kota yang masuk melalui tirai tipis.
Di atas ranjang besar, Karan dan Helena tertidur pulas, saling berpelukan seperti dua jiwa yang akhirnya tenang setelah hari panjang.
Mereka tidak mendengar bunyi halus pintu balkon yang perlahan terbuka.
Ceklek…
Helainya bergerak pelan saat seseorang melangkah masuk dari sisi balkon lantai atas.
Mustahil bagi orang biasa, namun tidak untuk seseorang yang datang dengan niat kuat dan perlengkapan lengkap.
Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Ia memakai pakaian serba hitam, sarung tangan kulit menutupi jemarinya, dan masker gelap menutupi setengah wajah.
Ia berjalan perlahan, nyaris tanpa suara, seperti bayangan yang menyusup ke dunia mimpi orang lain.
Langkahnya berhenti tepat di sisi ranjang dan berdiri di sana cukup lama menatap kedua orang yang tengah tertidur damai itu.
Momen itu terasa seperti dunia berhenti bernafas.
Tatapannya jatuh pada wajah Karan.
Orang yang dulu pernah ia panggil kakak.
Rahangnya mengeras.
Perlahan, ia meraih selembar kain putih dari saku jaketnya, kain yang sudah dibasahi cairan bening beraroma tajam.
Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menutup mulut dan hidung Karan.
Karan menggeliat.
Tubuhnya menegang sejenak, refleks mencoba bangun. Tangannya hampir meraih pergelangan Firdaus, namun kekuatannya meluruh dalam hitungan detik.
Kedua matanya yang sempat terbuka separuh kini kembali tertutup. Nafasnya melambat.
Firdaus menatapnya hampa dengan senyuman sinisnya.
“Tidurlah.”
Lalu ia beralih ke Helena.
Wanita yang tak pernah secara langsung menyakitinya, namun tetap menjadi bagian dari sosok yang ingin ia hancurkan.
Tangannya sempat berhenti di udara, ragu sejenak.
Helena tertidur tampak begitu damai, dengan wajah bersandar di dada Karan.
Namun keraguan itu tak lama.
Kain kedua diangkat.
Pelan, namun pasti, ia menutup mulut dan hidung Helena.
Helena sempat bergerak resah, seolah merasakan sesuatu dalam tidurnya.
Tangan kirinya hampir memukul kain itu,tapi terlalu lambat.
Dalam hitungan detik, Helena langsung tidak sadarkan diri.
Lalu ia memberi kode ke arah balkon dengan dua ketukan jari.
Tok… tok…
Dalam lima detik, dua bayangan lain muncul dari balik tirai balkon.
Pria-pria bertubuh besar, berpakaian serba hitam dan mengenakan headset.
Tanpa satu kata pun, mereka mendekat dan mengangkat tubuh Karan terlebih dahulu, membopongnya dengan cekatan.
Dua lainnya mengangkat Helena, yang tubuhnya terkulai lemah seperti boneka kain.
Firdaus berjalan paling dulu, membuka pintu samping menuju tangga darurat.
Lampu-lampu lorong redup, suara langkah kaki mereka teratur dan terlatih. Tak ada saksi. Tak ada alarm.
Semuanya berjalan terlalu mulus dan tiba di lantai bawah menuju pintu servis, Firdaus berhenti sejenak dan menatap kembali ke arah hotel yang sepi.
“Paris, simpan baik-baik rahasia malam ini…”
Lalu ia melangkah pergi, menghilang bersama Karan dan Helena ke dalam kegelapan kota.
Gelap.
Hening.
Dingin.
Helena tak tahu sudah berapa lama ia tak sadarkan diri semua terasa seperti mimpi buruk yang kabur.
Kepalanya berat, tubuhnya lemas, tetapi pelan-pelan, kesadarannya mulai kembali.
Cahaya redup dari lampu gantung tunggal menyambutnya.
Bukan cahaya hotel Paris dan bukan tempatnya tertidur semalam.
Ia terbaring di atas lantai dingin yang kasar. Kedua tangannya terikat ke belakang.
Mulutnya dibungkam dengan kain tebal sehingga ia tidak bisa membuka mulutnya.
"Mmmmphhh!!'
Helena meronta. Nafasnya memburu. Panik merayap seperti ular dingin menyusuri tulang punggungnya.
Ia memaksa tubuhnya berguling ke samping dan ia membelalakkan matanya saat melihat Karan tergeletak tak jauh darinya.
Tubuhnya penuh luka memar. Wajahnya berdarah.
Bajunya koyak di beberapa bagian, seperti sudah dihantam berkali-kali.
“Mmmmphh!!”
Helena meraung dalam jeratan kain di mulutnya, mencoba menyeret tubuhnya ke arah suaminya.
Air matanya tumpah tanpa bisa dikendalikan. Ia menggeliat seperti orang tenggelam yang mencari udara.
"Karan… Mas… Mas… bangun…" ucap Helena dalam hati.
Tapi suara itu hanya berputar di dalam kepalanya, tak bisa keluar.
“Mmmpphh!!”
Langkah kaki terdengar.
Perlahan. Berat. Tenang.
Firdaus muncul dari kegelapan, berdiri tak jauh dari mereka.
Hoodie hitamnya masih sama. Sorot matanya tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
Helena menatapnya dengan mata membesar, penuh ketakutan dan amarah sekaligus.
Firdaus mendekat dan helena langsung menggelengkan kepalanya keras-keras sambil tersedu.
“Mmmmpphh! Mmmhh!!”
Namun Firdaus hanya menatapnya lama. Dengan gerakan pelan, ia berlutut di samping Helena.
Helena meringkuk, mencoba menjauh meski terikat.
Firdaus mengulurkan tangan dan mengecup kening Helena dengan ringan.
Helena membeku, air matanya mengalir deras. Tubuhnya bergetar hebat. Ia mengguncang kepalanya sambil meraung dalam tangis tertahan.
“Mmmmppphhh!!!”
Firdaus menatapnya lama, lalu berbisik pelan — suaranya dingin namun nyaris lembut seperti bisikan mimpi buruk.
“Tenanglah. Aku tak akan menyakitimu…l selama dia”
Firdaus melirik tubuh Karan yang masih terkapat tak berdaya.
Helena membeku. Nafasnya tercekat.
Firdaus berdiri perlahan. Lalu ia berjalan ke arah Karan, menendang pelan bahunya.
“Bangun, Kak Karan. Sudah waktunya kau melihat kenyataan.”
SPLASH!
Satu ember air dingin disiramkan ke wajah Karan dengan kasar.
“GUGH—!!”
Karan tersentak keras dengan nafasnya yang memburu, tubuhnya gemetar karena dingin dan luka yang belum kering. Kelopak matanya terbuka paksa.
Penglihatannya buram namun perlahan fokus. Dan yang pertama ia lihat adalah Helena.
Istrinya dalam keadaan terikat dan mulutnya masih tersumpal.
Tubuhnya gemetar. Air mata mengalir deras di pipinya.
Tapi yang membuat darah Karan mendidih adalah Firdaus yang berdiri tepat di belakang Helena, satu lengannya melingkari bahu istrinya, seolah mengklaimnya.
“Mmmpphh!!” Karan langsung meraung walau mulutnya masih dilakban. Matanya merah penuh amarah.
Firdaus menatap Karan dan tertawa keras.
“HAHAHAHA! Bagus. Bangunlah, Kak Karan.”
Ia memberi isyarat dengan dagunya.
Sret—
Salah satu anak buahnya melepaskan lakban yang menutup mulut Karan.
“Lepaskan dia!!” teriak Karan parau, suaranya serak bercampur amarah.
Firdaus berhenti tertawa. Ia menatap Karan tajam, lalu menjawab dengan tenang.
“Aku akan melepaskannya.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Asalkan kita duel. Kau dan aku. Siapa yang menang berhak membawa Helena.”
“Mmmmpphhh!!!”
Helena mengguncangkan kepalanya keras-keras, menangis makin kencang.
Ia berusaha meronta agar bisa mendekati Karan, tapi ikatannya terlalu kuat.
Karan mengepalkan tangan meski tubuhnya masih lemah.
“Lepaskan aku,” ucapnya dengan suara gelap.
Firdaus memberi aba-aba.
Dua anak buahnya maju, lalu melepas ikatan Karan.
Tangannya bebas, tapi tubuhnya limbung. Karan hampir jatuh, namun ia paksa berdiri.
Helena menangis melihatnya.
“Mmmmhhh!! Mmmmhhh!!”
(Mas, jangan…)
Firdaus melangkah maju.
Karan berdiri dengan napas berat. Luka di wajahnya masih mengucur. Tapi matanya menyala.
“Duel,” ucap Firdaus ringan,
“Tanpa senjata.”
Karan maju. Tinju pertamanya dilepaskan tapi terlalu lambat.
BUGH!
Firdaus menepis lalu membalas pukulan telak ke perut Karan.
Karan terhuyung dan bertahan agar tidak jatuh ke lantai m
BRAK!
Pukulan lain menghantam pipinya.
Karan hampir tumbang tapi ia lawan rasa sakitnya.
Helena terisak semakin keras. Tubuhnya bergetar tak berdaya.
Firdaus tertawa pelan.
“Begitu saja?”
DUARR!
Satu tendangan keras mendarat di bahu Karan dan tubuh Karan terpental ke tanah. Kali ini ia tak langsung bangkit.
Helena meraung dalam sumpalannya dan meminta agar firdaus menghentikannya.
“Mmmmmmpppphh!! MMMMPHHH!!”
(Mas!! Jangan!! Tolong bangun!!)
Karan terbaring, pandangannya kabur. Napasnya berat. Darah menetes dari bibirnya.
Firdaus berjalan mendekat, berdiri di atasnya seperti eksekutor.
“Begitulah, Kak Karan,” ucapnya dingin.
“Kau memang selalu terlihat kuat. Tapi ternyata kamu rapuh juga.”
Firdaus perlahan berbalik, meninggalkan Karan yang masih tergeletak lemah di lantai.
Ia berjalan ke arah Helena dengan langkah santai, seolah pertarungan barusan hanyalah hiburan ringan.
Helena menggeleng keras, tubuhnya meronta hebat.
“Mmmpphh!! Mmmhh!!” (Jangan sentuh aku!!)
Firdaus berlutut di depannya, menatap wajah Helena yang berlinang air mata.
“Kamu tahu, Helena? Kak Karan selalu terlihat kuat. Tapi nyatanya…”
Ia mengangkat tangannya, hendak menyentuh pipi Helena.
“Dia bahkan tak bisa melindungimu.”
BRAGH!!
Satu hantaman keras mendarat ke wajah Firdaus dan semuanya terjadi terlalu cepat
Karan, dengan sisa tenaga terakhirnya, bangkit dan menerjang seperti singa yang terluka.
BUGH!!
Tinju Karan menghantam tepat ke pelipis Firdaus dengan kekuatan penuh amarah bertahun-tahun.
DUARR!!
Firdaus terpental jatuh menghantam dinding beton di belakangnya.
Darah langsung mengucur dari kepalanya. Tubuhnya limbung, tak sempat bangkit.
Karan terengah, hampir jatuh lagi, namun ia menyeret dirinya menuju Helena.
Dengan tangan bergetar, ia melepas sumpal kain di mulut Helena.
“Mas…” suara Helena pecah lemah.
“Tenang, sayang Aku di sini,” ujar Karan, suaranya parau tapi hangat.
Ia membuka ikatan di tangan Helena, lalu pelukannya langsung menyergap tubuh istrinya.
Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sekejap mata.
SRETTT!!
Helena melihat Firdaus yang bangkit dan dengan tubuh berlumur darah, ia meraih pisau lipat dari pinggangnya.
“MAS!!” jerit Helena.
Dalam sekejap, ia mendorong tubuh Karan menjauh.
JLEB!!
Pisau itu menancap dalam ke perut Helena.
Sekali.
Tepat.
Dingin.
“HELENA!!” teriak Karan histeris.
Helena terhuyung, tubuhnya melemas dalam pelukan Karan.
“Tidak! Tidak, sayang. Tolong, jangan tinggalkan aku."
Firdaus hendak menyerang lagi, tapi—
BRAMMMMM!!!
Pintu besi gudang itu dihantam keras dari luar.
“Police Nationale ! Lâchez votre arme !”
Sejumlah polisi Paris masuk menyerbu dengan senjata terarah.
BRUK!!
Salah satu dari mereka menendang Firdaus hingga jatuh tersungkur, pisau terlempar jauh. Ia ditangkap paksa.
Namun Karan tak melihat apa-apa lagi selain Helena.
Ia memeluk erat tubuh istrinya, mengguncangnya pelan.
“Hel, bertahanlah dan jangan tutup matamu!"
Helena menatapnya lemah, senyum kecil terbentuk di bibirnya meski darah mengalir.
“Sakit, tapi asal Mas selamat. A-aku u nggak apa-apa…”
“Jangan ngomong begitu!” Karan nyaris meraung.
Helena mengangkat tangannya pelan, menyentuh pipi Karan yang ikut basah oleh air mata.
“Kalau besok… ada wanita lain ketawa-ketawa… kamu suruh pulang… ya…”
Karan menangis. Bukan sekedar jatuh, tapi pecah.
“Aku janji aku sumpah…”
Helena tersenyum kecil.
“Kalau bohong… aku suruh Eiffel melengkung dua kali…”
Karan tertawa sambil menangis, menggenggam tangan istrinya erat-erat.
Namun tubuhnya mulai limbung. Luka-lukanya terlalu parah. Darah terlalu banyak keluar.
“Hel… Hel…”
Helena memejamkan mata perlahan.
“Kita… sarapan… nanti… ya…”
“HELENA!!!”
Sekian detik setelah Helena jatuh tak sadarkan diri.
Karan pun ikut ambruk, tubuhnya roboh di samping istrinya.
Dua tubuh itu tergeletak berdampingan, tangan masih saling menggenggam.