NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:620
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 23 Luka dan Rahasia

Hutan setelah pertempuran seperti makam terbuka. Bau darah bercampur tanah basah menusuk hidung, kabut tipis menutupi mayat-mayat yang berserakan di sela pepohonan.

Revan berdiri tegak, pedang masih di genggamannya. Tubuhnya berlumur darah, sebagian miliknya, sebagian bukan. Nafasnya terengah, tapi tatapannya tidak bergeming.

Mauryn menatapnya dengan mata membesar, tubuhnya masih gemetar. Jantungnya berdebar kencang, seolah ingin meloncat keluar. Di dalam kepalanya, bisikan hati musuh yang tersisa perlahan memudar… meninggalkan ruang kosong yang menakutkan.

Ardan duduk di tanah, tangannya bergetar. Ia menatap ranting yang tadi digunakannya untuk melukai musuh, lalu melemparkannya jauh.

“Aku… aku baru saja… membunuh orang? Atau hanya melukainya? Aku bahkan tidak tahu…”

Revan menoleh, suaranya serak tapi tegas.

“Kamu bertahan. Itu cukup.”

Ardan mendongak, wajahnya pucat.

“Cukup bagimu, mungkin. Tapi aku…” suaranya pecah

“…aku bahkan masih ingin muntah sekarang.”

Mauryn menoleh, matanya penuh iba. Ia ingin menghibur, tapi lidahnya kelu.

Mereka akhirnya memutuskan untuk meninggalkan lokasi itu. Terlalu berbahaya jika mereka tetap tinggal; musuh bisa kembali kapan saja.

Revan memimpin, meski jelas terlihat ia pincang di satu sisi. Luka di lengannya dibiarkan terbuka.

“Revan…” Mauryn berjalan cepat menyusulnya.

“Kamu terluka parah. Kamu harus berhenti sejenak.”

“Tidak bisa. Kita harus menjauh sebelum fajar.”

“Tapi kalau kamu teruskan, kamu bisa pingsan di jalan.” Suaranya meninggi, antara marah dan cemas.

Revan berhenti, menatapnya dengan tatapan tajam.

“Kalau aku berhenti, kita semua mati. Apa kamu mau itu terjadi?”

Mauryn terdiam, hatinya tersayat. Namun ia menggenggam lengan Revan perlahan, berbisik

“Aku tidak mau kamu mati juga.”

Mata Revan melembut. Hanya sebentar. Lalu ia kembali melangkah.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di tepi sungai kecil. Ardan langsung menjatuhkan diri, menenggak air dengan rakus.

“Ini… ini rasanya seperti surga,” katanya, meski wajahnya masih pucat.

Revan duduk di batu besar, meletakkan pedangnya. Ia menyeka darah di lengannya, menahan desis kesakitan.

“Biar aku yang bersihkan.” Mauryn mendekat, jongkok di hadapannya.

Revan menggeleng.

“Kau harus istirahat.”

“Kau selalu bilang begitu. Tapi kalau aku hanya duduk dan melihatmu terluka… aku akan merasa lebih hancur daripada ikut bertarung.”

Revan terdiam. Tatapannya bertemu dengan mata Mauryn. Dalam sorot itu ada kelelahan, ada luka, tapi juga ada kekuatan yang menolak padam.

Akhirnya ia menghela napas.

“Baiklah.”

Mauryn merobek ujung bajunya, mencelupkannya ke air sungai, lalu mulai membersihkan luka di lengan Revan. Ia berhati-hati, meski tangannya bergetar.

Revan meringis, tapi tidak bersuara.

Ardan yang duduk agak jauh menoleh, lalu mendengus.

“Kalian berdua… bahkan di tengah neraka seperti ini masih sempat menatap satu sama lain. Aku benar-benar orang ketiga yang tersesat di sini.”

“Bukan begitu!” Mauryn menoleh cepat, wajahnya memerah.

Revan hanya mengangkat alis, setengah senyum tersungging di wajah lelahnya.

Saat suasana sedikit mereda, Mauryn akhirnya memberanikan diri bertanya.

“Revan… aku butuh kamu jujur. Musuh-musuh itu… mereka ingin aku. Mereka tidak ingin aku mati. Mereka ingin aku hidup-hidup. Itu berarti mereka tahu sesuatu tentangku. Tentang ayahku.”

Revan menatapnya lama. Api kecil berkobar di matanya.

“Ayahmu… bukan orang biasa, Mauryn.”

Jantung Mauryn berdegup kencang.

“Apa maksudmu?!”

Revan menunduk sejenak, lalu berbicara pelan.

“Aku tidak tahu seluruhnya. Tapi aku tahu cukup banyak untuk membuatmu mengerti: mereka memburumu bukan karena dirimu saja. Mereka memburu darahmu. Warisan yang mengalir di dalam dirimu.”

Mauryn terdiam. Kata-kata itu mengguncang seluruh tubuhnya.

“Warisan? Kamu bicara seolah… seolah ayahku…”

Revan menatapnya lagi.

“Ayahmu pernah membuat pilihan yang mengubah banyak hal. Pilihan yang membuat banyak orang menginginkan kematianmu… sekaligus membuatmu terlalu berharga untuk dibunuh.”

Mauryn menggenggam tanah dengan kuat.

“Kenapa… kenapa tidak ada yang memberitahuku sebelumnya?!”

Ardan ikut bersuara, suaranya pelan.

“Mungkin… mungkin karena kalau kamu tahu lebih awal, hidupmu akan lebih berat dari ini.”

Mauryn menoleh ke arahnya, matanya berkaca-kaca.

“Ardan… aku bahkan tidak tahu siapa aku sekarang.”

Ardan menunduk, lalu bergumam, “Kamu… kamu masih orang yang sama. Gadis keras kepala yang aku ikuti karena tidak ada pilihan lain. Tapi… juga gadis yang sekarang membuatku sadar aku tidak boleh lari lagi.”

Mauryn terdiam, matanya melembut.

Revan akhirnya bangkit, meski luka di tubuhnya masih terasa. Ia menatap langit yang mulai memucat menjelang fajar.

“Kita tidak bisa tinggal di sini lama. Kalau mereka tahu kamu masih hidup, mereka tidak akan berhenti.”

Mauryn berdiri, menatapnya dengan mata penuh tekad.

“Aku tidak akan lari lagi. Kalau mereka ingin aku… biar aku yang tentukan bagaimana mereka mendapatkanku.”

Revan menatapnya, ada sedikit bangga di balik kelelahan di wajahnya.

“Itu semangat yang kubutuhkan darimu.”

“Kalian berdua ini… bicara seolah sudah siap mati kapan saja. Aku? Aku masih ingin hidup lama. Aku bahkan belum sempat minum arak yang enak sejak semua ini dimulai.” Ardan mendengus.

Mauryn tersenyum samar, meski air mata masih menetes. Untuk pertama kalinya setelah lama, bibirnya melengkung.

Revan hanya menggeleng, lalu menepuk bahu Ardan.

“Kalau begitu, bertahanlah. Nanti kamu bisa minum sepuasnya.”

Ardan menatapnya dengan ekspresi setengah putus asa, setengah geli.

“Itu janji? Jangan sampai kamu mati duluan sebelum menepatinya.”

Fajar menyingsing, cahaya pertama menyapu hutan yang basah oleh darah. Mereka bertiga berdiri di tepian sungai, menatap arah yang sama.

Mereka tidak tahu apa yang menanti. Tapi satu hal pasti: perjalanan mereka baru saja memasuki bab yang lebih berbahaya.

Bersambung…

Terimakasih yang sudah support karya othor yah.. jangan lupa Like, komen dan Votenya yang banyak 🥰

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!