Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Damian memasuki jalanan yang lebih sempit dan berkelok-kelok. Jalanan itu bagaikan labirin yang terbuat dari aspal, dengan tikungan tajam yang menguji nyali dan suspensi mobil. Ia dengan mahir mengendalikan mobilnya, melewati setiap tikungan dengan kecepatan tinggi. Ia tahu, Revan tidak akan bisa mengejarnya di jalanan seperti ini.
Benar saja, Revan kesulitan mengejar Damian di jalanan yang sempit dan berkelok-kelok. Ia harus mengurangi kecepatannya agar tidak menabrak pembatas jalan. Ia menggeram frustrasi. Obsesinya untuk menangkap Anya kembali membara. Ia harus mendapatkan Anya kembali, tidak peduli apa pun caranya. Anya adalah miliknya, dan tidak ada yang boleh merebutnya.
"Sial! Sial! Sial!" umpat Revan berkali-kali. Ia merasa semakin frustrasi karena tidak bisa menangkap Anya.
Sedangkan Damian terus melaju dengan kecepatan tinggi, hingga akhirnya ia tiba di jalan raya yang lebih lebar. Ia menarik napas lega. Ia berhasil lolos dari kejaran Revan.
"Huuff! Kita aman sekarang," ujar Damian, dengan napas masih memburu, menenangkan Anya yang duduk dengan wajah pucat di sampingnya.
Anya mengangguk pelan. Ia masih merasa gemetar dan ketakutan, tetapi ia merasa lebih baik karena sudah menjauh dari Revan.
"Terima kasih, Damian," ujar Anya, tulus.
Damian tersenyum lembut. "Aku akan selalu melindungimu, Anya," jawab Damian.
Saat Damian mengalihkan pandangannya ke depan, matanya menangkap sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Mobil itu tampak oleng dan tidak terkendali.
"Awas!" teriak Damian, panik. Dengan refleks terlatih, Damian membanting setir ke kiri, berusaha menghindari tabrakan. Namun, semuanya terjadi terlalu cepat.
BRAK!
Mobil Damian terputar beberapa kali sebelum akhirnya berhenti dengan posisi terbalik di tengah jalan raya. Kaca depan mobil pecah berantakan, dan asap mengepul dari kap mesin.
Mobil Revan yang masih mengejar dari belakang, menyaksikan kejadian itu dengan tatapan terkejut. Ia menghentikan mobilnya dan keluar. Ia tidak menyangka kejadian ini akan terjadi. Ia hanya ingin membawa Anya kembali, tetapi sekarang Anya dan Damian malah mengalami kecelakaan tragis di depan matanya.
"Anya!" teriak Revan refleks. Namun, saat ia hendak memastikan keadaan Anya, ia melihat sekelilingnya. Beberapa orang mulai berkerumun di sekitar lokasi kecelakaan. Revan tahu, ia harus segera pergi dari tempat ini sebelum polisi datang.
Dengan berat hati, Revan meninggalkan tempat kejadian. Ia dengan buru-buru kembali ke mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi, menjauh dari tempat kejadian. Rasa bersalah menghantui, namun ketakutan akan konsekuensi hukum lebih mendominasi.
"Sial! Apa yang sudah kulakukan? Aku tidak mungkin mendekat sekarang," gumam Revan, suaranya bergetar.
"Semoga kau selamat, Anya," lirihnya. Lalu segera menghubungi orang-orangnya, memerintahkan mereka untuk menghapus semua jejak yang mungkin menghubungkannya dengan kecelakaan itu.
.
.
Tanpa ada yang menduga, Damian dan Anya berhasil lolos dari maut. Detik-detik terakhir sebelum tabrakan, Damian dengan sigap menarik Anya keluar dari mobil. Ia memeluk Anya erat, melindungi tubuhnya saat mobil menghantam pembatas jalan. Keduanya bergulingan di tanah yang kasar, menghindari jurang yang menganga di sisi jalan.
Damian, dengan Anya yang masih dalam dekapannya, berusaha melindungi Anya dari benturan. Ia mengorbankan dirinya, membiarkan tubuhnya menjadi tameng agar Anya tidak terluka parah. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya, tetapi ia tidak peduli. Yang terpenting adalah keselamatan Anya.
Setelah berhenti berguling, Damian segera bangkit dengan Anya di atas tubuhnya. Ia menatap wajah Anya yang pucat dan ketakutan. Ia bisa merasakan getaran halus dari tubuh Anya. Darah segar mengalir dari pelipisnya, dan beberapa memar mulai membiru di lengannya.
"Anya, kau tidak apa-apa?" tanya Damian, dengan nada khawatir yang kentara di raut wajahnya.
Anya hanya menatap Damian dengan tatapan kosong. Syok masih menguasai dirinya. Jiwanya seolah terpisah dari raganya. Ia merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, tetapi ia tidak bisa merasakan apa pun.
Damian memeluk Anya erat, berusaha menenangkannya. Ia tahu Anya pasti sangat terkejut dan ketakutan dengan kejadian yang tiba-tiba ini, beda dengan dirinya yang sudah terbiasa dalam situasi berbahaya.
"Kita selamat, Anya. Kita selamat," bisik Damian, lembut. Ia mengusap punggung Anya, mencoba menenangkan tubuhnya yang gemetar.
Setelah beberapa saat, Anya mulai tersadar. Ia mengerjapkan matanya, lalu menatap Damian dengan tatapan bingung.
"Damian ... apa yang terjadi?" tanya Anya, lirih.
"Kita kecelakaan. Tapi kita selamat," jawab Damian, sambil tersenyum tipis. Ia berusaha menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya. Tulang rusuknya terasa nyeri, dan ia yakin ada beberapa memar yang akan menghiasi tubuhnya dalam beberapa jam ke depan.
Anya melihat sekelilingnya. Ia melihat mobil mereka yang ringsek di tengah jalan. Ia juga melihat jurang yang menganga di sisi jalan.
"Kita hampir mati," gumam Anya, dengan suara bergetar. Air mata mulai mengalir di pipinya.
Damian menggenggam tangan Anya erat. "Tapi kita selamat, Anya. Itu yang terpenting," ujarnya, berusaha menyemangati Anya.
Damian membantu Anya berdiri. Mereka berdua berjalan menjauh dari mobil yang ringsek. Tubuh mereka terasa remuk dan memar akibat benturan saat bergulingan. Anya berjalan dengan terpincang-pincang, dan Damian harus memapahnya agar tidak terjatuh.
"Kita harus pergi dari sini," ujar Damian, sambil melihat sekelilingnya. Ia khawatir Revan akan kembali bersama anak buahnya untuk mencari mereka.
Anya mengangguk setuju. Ia tidak ingin bertemu Revan lagi. Ia ingin menjauh sejauh mungkin dari pria yang ia sebut suami, suami yang lupa bagaimana cara memperlakukan istrinya sendiri.
Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir jalan raya. Mereka berjalan dengan susah payah karena tubuh mereka terasa sakit dan ngilu di beberapa bagian akibat benturan saat jatuh. Setiap langkah terasa seperti siksaan, tetapi mereka tidak punya pilihan lain.
Setelah berjalan cukup jauh, Damian melihat sebuah gubuk kecil tak jauh dari arah mereka saat ini. Gubuk itu tampak seperti bangunan yang terlupakan, dengan dinding yang lapuk dan atap yang berlubang. Bau pengap dan lembap menusuk hidung, menciptakan suasana yang tidak nyaman. Damian memutuskan untuk mengajak Anya beristirahat dulu di gubuk itu.
"Kita istirahat sebentar di sana," ujar Damian, sambil menunjuk ke arah gubuk.
Anya mengangguk setuju. Ia merasa sangat lelah dan butuh istirahat.
Mereka berdua berjalan menuju gubuk itu. Gubuk itu tampak kosong dan tidak terawat. Namun, setidaknya mereka bisa berlindung dari panasnya matahari dan beristirahat sejenak.
Damian membersihkan gubuk itu seadanya. Ia menyuruh Anya duduk di atas tumpukan jerami yang ada di sudut gubuk. Jerami itu berdebu dan gatal, tetapi Anya tidak peduli. Ia hanya ingin duduk dan memejamkan matanya sejenak.
"Kau istirahatlah di sini. Aku akan mencari air," ujar Damian. Ia tahu meninggalkan Anya sendirian di gubuk itu berisiko, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Anya membutuhkan air, dan ia harus segera mencarinya.
Anya mengangguk lemah. Rasanya untuk bersuara saja susah. Ia duduk di atas tumpukan jerami dan memejamkan matanya. Ia merasa sangat lelah dan ketakutan masih menguasainya.
Damian keluar dari gubuk dan mencari sumber air di sekitar hutan. Meninggalkan Anya sendirian di gubuk itu, dengan harapan Revan tidak akan menemukan mereka.
Bersambung ....