Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah Pernikahan yang Tak Diharapkan
Ikhsan memeluknya kembali, tangannya mengusap punggung Mulia. "Tenang, Sayang. Tenang. Ini hanya pemadaman. Aku akan menyalakan senter."
Ikhsan meraba meja, mencari senter yang selalu ia siapkan. Namun, di tengah kegelapan, di tengah badai, Mulia merasakan sentuhan yang tidak menyenangkan.
Ia merasakan aroma samar, bau yang tidak asing, bau yang tercium saat ia diserang di ballroom—bau parfum Bu Hanim yang khas, percampuran wewangian mahal dan sesuatu yang tajam seperti besi.
Mulia tersentak dalam pelukan Ikhsan. Ia menarik wajahnya sedikit.
"Ikhsan... kamu mencium itu?" bisik Mulia, suaranya tercekat.
Ikhsan mengerutkan dahi. "Mencium apa, Sayang? Bau hujan?"
Mulia menggeleng, matanya memandang ke sudut gelap ruangan. "Bau parfum... Bu Hanim..."
"Itu hanya imajinasimu, Lia. Aku yakin—"
Ucapan Ikhsan terpotong. Di tengah kegelapan, di tengah gemuruh petir, mereka mendengar suara langkah kaki yang sangat pelan dari arah dapur, langkah kaki yang seharusnya tidak ada.
Suara itu diiringi oleh tawa serak yang sangat rendah, tawa yang tidak lain adalah tawa gila Bu Hanim.
Firasat buruk Mulia ternyata benar.
"Aku di sini, Mulia. Hadiah pernikahanmu sudah datang," bisik suara itu, suaranya dipenuhi kegembiraan yang mengerikan.
****
Detik itu juga, seluruh ilusi keamanan mereka runtuh. Suara tawa serak yang rendah, yang baru saja didengar Mulia, membuat darahnya berdesir dingin. Rasa takut Mulia yang semula hanya firasat, kini berubah menjadi kenyataan brutal.
"Aku di sini, Mulia. Hadiah pernikahanmu sudah datang," bisik suara itu, diiringi gemuruh guntur yang memekakkan telinga.
Ikhsan segera mendorong Mulia ke belakangnya. "Bu Hanim! Jangan mendekat! Kami sudah menghubungi polisi!"
"Polisi? Mereka terlalu lambat, Ikhsan," balas suara itu. Tawa rendah itu kini pecah menjadi tawa membahana yang bergaung di antara gemuruh petir, tawa yang penuh kegilaan dan kemenangan.
Kilat menyambar, menerangi ruangan sesaat. Dalam cahaya singkat itu, Mulia melihat sosok Bu Hanim berdiri di ambang pintu ruang tengah. Rambutnya basah kuyup, gaun rumah sakitnya kotor, dan wajahnya—wajah itu adalah refleksi sempurna dari iblis dalam mimpi Mulia. Di tangannya, Bu Hanim memegang sebuah benda tajam yang berkilauan.
"Kamu pikir kamu bisa mencuri kebahagiaan anakku? Kamu pikir kamu bisa mencuri suamiku? Semua yang kamu miliki adalah milikku!" raung Bu Hanim.
"Jauhi kami, Bu Hanim!" teriak Ikhsan, mencoba melangkah maju.
"Jangan! Jangan mendekat, Ikhsan!" seru Mulia, memegang lengan Ikhsan.
Bu Hanim tidak berbicara lagi. Ia menerjang! Didorong oleh adrenalin kegilaan, Bu Hanim bergerak secepat predator.
Ikhsan yang terluka di bahu dan baru pulih, tidak sepenuhnya siap menghadapi serangan sebrutal itu. Ia mencoba menangkis, tetapi benda tajam di tangan Bu Hanim menusuk sisi tubuh Ikhsan.
"AARGH!" Ikhsan menjerit tertahan. Ia terhuyung mundur, tangannya memegangi luka yang seketika terasa perih dan panas.
Mulia menjerit histeris melihat suaminya terluka. Matanya dipenuhi kengerian yang nyata. Mimpi buruk itu, bayangan darah di altar, kini terulang dalam kegelapan dan badai yang menggila.
Bu Hanim memanfaatkan celah itu. Ia memukul kepala Ikhsan dengan keras menggunakan siku tangannya yang bebas.
BRAK!
Ikhsan limbung. Tubuhnya yang lemah akibat serangan tiba-tiba itu tidak mampu menahan pukulan. Ia jatuh ke lantai, tubuhnya terkulai pingsan.
Lari dalam Ketakutan
"Ikhsan! Ikhsan!" Mulia berteriak, suaranya pecah.
****
Di tengah kegelapan, di antara suara hujan yang menghantam atap dan gemuruh petir, Mulia tahu ia tidak bisa melawan. Satu-satunya kesempatan adalah berlari.
Mulia mundur, kakinya gemetar, tetapi insting bertahan hidupnya mengambil alih. Ia berbalik dan berlari menyelamatkan diri, meninggalkan Ikhsan yang terkapar di lantai ruang tengah.
Bu Hanim tidak mengejar Ikhsan. Tujuannya adalah Mulia.
"Mau lari ke mana, Mulia? Kamu tidak akan bisa lepas dariku!" Tawa brutal Bu Hanim terdengar di antara gemuruh petir, tawa itu seolah menyatu dengan badai, membuat suasana menjadi semakin mencekam dan menakutkan!
Mulia berlari meraba-raba di lorong yang gelap, menuju kamar tidur utama. Ia tahu, jendela di sana tidak terkunci.
"Iblis! Kamu iblis!" teriak Mulia histeris.
"Ya! Aku iblis yang akan membawamu ke neraka! Neraka yang kamu ciptakan untukku!" sahut Bu Hanim, langkah kakinya terdengar di belakang Mulia.
Tangan Mulia meraba nakas. Ia harus menghubungi polisi. Dengan cepat, ia meraih ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat mencoba menekan nomor darurat.
"Aku akan panggil polisi! Kamu akan kembali ke penjara!" teriak Mulia, mencoba memperlambat Bu Hanim dengan ancaman verbal.
Bu Hanim tertawa keras, tawa yang menusuk tulang. "Aku sudah bosan di penjara, Sayang. Aku datang untuk pembalasan, bukan untuk hukuman!"
Mulia hampir selesai menekan nomor itu. Hanya tinggal satu tombol lagi.
Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di belakangnya. Sekejap kemudian, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya.
"Tidak semudah itu!"
Bu Hanim merampas ponsel Mulia dengan kekuatan brutal. Ia membanting ponsel itu ke lantai marmer hingga hancur berkeping-keping.
"Sekarang, kita hanya berdua. Hanya kita berdua, di rumah yang gelap ini. Dan badai ini... adalah musik kematianmu!" Bu Hanim mendesis.
****
Mulia mundur sampai punggungnya menyentuh dinding. Jantungnya berdebar kencang, memukul rusuknya dengan keras.
"Jangan sentuh aku! Aku tidak punya urusan denganmu!" Mulia menangis, suaranya parau.
"Tentu saja kamu punya! Kamu adalah pemicu kehancuranku! Kamu yang membuat anakku gila! Kamu yang membuat suamiku berkhianat!" Bu Hanim melangkah maju, sorot matanya yang liar terlihat samar-samar dalam kegelapan.
Kilat menyambar lagi, memperlihatkan wajah Bu Hanim yang penuh darah Ikhsan, dan benda tajam yang ia pegang.
"Aku akan memberimu hadiah pernikahan yang paling sadis! Kamu akan melihatnya!" Bu Hanim mengangkat tangannya, siap menyerang Mulia.
Mulia menutup mata, bersiap menerima nasib buruknya. Ia berteriak.
"TIDAAAK!!!"
Tepat sebelum Bu Hanim berhasil menyerang, sebuah suara lain memecah kegelapan.
"HENTIKAN, HANIM!"
Itu suara Kartika. Ia muncul dari balik kegelapan, basah kuyup, memegang tongkat pemukul besi yang ditemukan di garasi. Kartika ternyata datang untuk memeriksa Mulia dan Ikhsan karena firasatnya yang buruk tentang badai dan pelarian Bu Hanim.
"Kartika?" Bu Hanim tersentak, teralihkan.
Mulia membuka mata. Ia melihat Kartika, wanita yang pernah menuduhnya iblis, kini berdiri di antara dirinya dan kematian.
****
Mulia terlonjak, matanya terbelalak melihat sosok yang baru saja memecah kegelapan. Itu adalah Kartika, ibu Ikhsan, yang muncul dari balik pintu dapur, basah kuyup, napasnya tersengal. Kartika-lah yang bergerak. Di tangan Kartika, sebuah tongkat besi berkilauan karena pantulan kilat yang jauh.
"Hentikan, Hanim!" teriak Kartika, suaranya dipenuhi amarah seorang ibu yang melihat anaknya terkapar dan menantunya terancam.
Bu Hanim tersentak. Fokusnya terpecah dari Mulia. Ia menoleh, wajahnya penuh kebencian yang mendalam. "Kamu! Kamu juga ikut campur! Kalian semua ingin menghancurkanku!"
Bu Hanim melepaskan seringainya yang mengerikan. Ia berbalik, siap menerjang Kartika, mengangkat benda tajam di tangannya.
Namun, Kartika tidak memberi kesempatan. Didorong oleh naluri melindungi, Kartika merangsek maju dengan teriakan yang lantang.
"Tidak! Kamu tidak akan menyentuh anak-anakku lagi!"
BRAK!