NovelToon NovelToon
Jati Pengantin Keramat

Jati Pengantin Keramat

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Tumbal
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Septi.sari

Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.

Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.

"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"

Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.

Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.

2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.

Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jati Keramat 23

Gendhis dan Nanda sudah tiba. Namun sebelum masuk, Bu Asih lebih dulu menahan keduanya. "Jangan masuk dulu! Bapak yang memintanya." kata Bu Asih menarik lengan Nanda untuk diajaknya duduk.

Nanda mengerutkan dahi. Namun ia tahu tabiat Eyangnya seperti apa. Sementara Gendhis, wanita itu duduk agak berjarak, diam dan sejak tadi memegang tas selempangnya, memastikan jika benda mistis itu masih ada didalam.

'Semoga saja mas Wira setelah ini cepat pulih. Aku harus segera membakar benda ini, sebelum sakit Bapak semakin parah!'

"Ndis ... Nanti mau 'kan temani Eyang?" tanya Bu Asih yang berhasil menyadarkan lamunan Gadis didepannya. "Untuk sementara kamu libur dulu dari Toko. Nanti Ibu akan gaji dua kali lipat dari gaji kamu."

"Baik, Bu! Sama mau." Jawab Gendhis sopan.

Selagi menunggu didalam, saat ini Gendhis mencoba pamit ke kamar mandi terlebih dulu. Takut jika wanita pujaannya pergi menemui Wira, kini Nandaka diam-diam mengikuti Gendhis dari belakang.

Ruangan Wira ada di lantai paling ujung. Jadi, Gendhis harus melewati lorong panjang terlebih dulu. Namun semakin ia melangkah, seolah ada beberapa pasang mata yang kini tampak memantau gerak gerik jalannya saat ini. Senormal mungkin Gendhis mencoba menahan rasa takutnya. Bahkan, keringat dingin kini sudah mulai mengalir dari kepalanya. Jantung Gendhis berdegup cepat, hingga membuat bulu kudunya kembali meremang.

Entah mengapa suasana rumah sakit itu mendadak senyap, tanpa ada satu orang pun yang lewat.

Baru saja akan berbelok, Gendhis di kejutkan dengan sosok wanita bergaun putih, berambut sebahu agak mengembang, dan ia hanya duduk diatas kursi roda sendirian. Wanita itu menghadap depan, yang dimana terdapat sebuah ruangan spesialis organ dalam.

Hiks ... Hiks ....!!!

Tangisan wanita tadi begitu pilu, bahkan mampu mengiris hati Gendhis saat ini. Berbekal jiwa nekad, Gendhis menghampiri wanit tadi. Mungkin saja wanita itu ingin kembali ke ruanganya namun ia masih menunggu pihak keluarga. Gendhis masih mencoba berpikir positif.

Begitu ia berhasil mendekat sambil bertanya, "Maaf, Mbaknya kenapa menangis?"

Tiba-tiba wanita tadi menoleh. Tangisan tadi menghilang, dan malah berganti dengan suara tawa yang begitu melengking. Wajah wanita itu hancur, meleleh bahkan organ wajahnya seketika hancur.

Awww ....!!!

Gendhis menjerit kuat, sambil menutup wajahnya. Jantungnya hampir melonjak, dengan nafas terengah hebat. Namun tak lama itu, sosok wanita itu bangkit dan menunduk sembah kepada Gendhis.

Reflek saja Gendhis memundurkan kakinya, mencoba berlari namun kedua kakinya itu terasa berat untuk melangkah celat. Nafas Gendhis masih belum juga teratur. Namun ketika ia membalikan badan, tiba-tiba ...

"Awww ...." teriak Gendhis kembali.

"Ndis, ini saya! Kamu kenapa?" Nandaka menyadarkan ketakutan Gendhis, dan mencoba mendongakan wajah gadis itu.

Gendhis menoleh kebelakang kembali. Dadanya masih naik turun, hingga Nanda dapat merasakan nafas berat dari dekat. "Mas, kita kembali saja ke ruangan Eyang." ucap Gendhis nyaris patah.

Dan ternyata sosok wanita tadi sudah menghilang.

Gagal sudah rencananya untuk menemui Wira. 'Kenapa sosok wanita tadi menyembahku seperti itu? Apa karena tusuk konde emas ini?! Semoga saja cepat pagi, dan aku dapat membakar benda laknat ini.'

Begitu mereka sudah sampai didepan ruang rawat Eyang Wuluh, bersamaan dengan keluarnya Pak Lurah dari dalam. Tidak ada kalimat apapun yang keluar dari mulut sang Lurah. Ia hanya menatap istrinya, mengisyaratkan degan mata, jika sudah saatnya mereka berdua pulang.

"Ibu titip Eyangmu, Nda! Jika terjadi sesuatu, segeralah telfon Ibu." kata Bu Asih sambil menepuk bahu putranya. "Ndis, Ibu pamit dulu ya!"

Gendhis tertunduk sopan, lalu segera masuk ke dalam.

Tidak ada yang mengganjal. Eyang Wuluh masih terlelap di atas ranjang. Gendhis sejujurnya begitu benci. Ia yang masih berdiri, kini menatap penuh telisik pada wajah kendur itu. 'Ingat Eyang ... Sebentar lagi kegilaan Eyang akan Gendhis musahkan! Sudah cukup keluarga Gendhis menderita karena obsesi Eyang pada kekayaan serta kecantikan!'

Nanda mendekat, "Ndis, ayo makan dulu! Ini mumpung masih anget." semangkuk bakso itu masih tampak mengebul didalam mangkuk stainless yang dibawa Nanda.

Gendhis menerimanya. Ia lalu segera membawa mangkuk tadi untuk duduk di kursi.

"Ndis, nanti kalau kamu sudah mengantuk ... Kamu tidur saja disofa." Ucap Nanda menoleh.

"Mas Nanda sendiri bagaimana?" Gendhis tahu jika hanya terdapat satu sofa cukup besar di ruangan Eyang Wuluh.

"Saya gampang, nanti bisa tidur di karpet ini." Putus Nanda.

***

Setibanya di rumah, Pak Woyo langsung saja bergegas masuk kedalam tanpa menunggu Istrinya terlebih dulu.

Wajah pria itu sejak tadi sudah memucat, serta dekat jantungnya terdengar nyaris patah. Tujuannya saat ini menuju kamar sang Ibu, mencari benda keramat yang membuat hidup keluarga itu makmur.

Pak Woyo menutup kembali pintu kamar Ibunya. Pria itu segera mendekat kearah ranjang, dan segera mengambil peti kecil didalam kolong itu.

Deg!

Setelah terbuka, dan benar saja peti itu kosong. Hanya tertinggal kain putih yang menempati. Tusuk konde emas itu hilang musnah bak tertelan bumi. Wajah Pak Woyo semakin memucat, tanpa adanya darah yang mengalir.

'Dimana tusuk konde itu? Siapa yang telah mengambilnya? Kurang ajar!' batinnya menggeram.

Tidak ingin menyerah, parubaya itu kini berjalan menuju lemari tua Ibunya, dan mengobrak abrik isi didalamnya. Namun tetap saja hasilnya nihil.

Tok!! Tok!!!

"Pak ... Bapak nggak papa 'kan? Coba buka dulu pintunya, Pak?" Bu Asih mengetuk pintu itu dengan wajah cemasnya.

'Bagaimana ini? Tubuh Ibu sedang ditawan Iblis itu. Apa yang harus aku lakukan?!' Lurah Woyo mengusap kasar wajahnya, benar-benar merasa frustasi.

Kembali ke rumah sakit.

Tengah malam pun tiba. Eyang Wuluh yang tadi terlelap, kini tiba-tina kedua matanya terbuka dengan kuat. Kornea itu bewarna merah padam, hingga tatapanya sangat menusuk.

Seperti biasa, panggilan alam kini mengetuk kandung kemih Gendhis. Gadis itu terbangun dan segera bangkit. Namun reflek saja matanya menelisik keadaan Eyang Wuluh saat ini. Dan betapa terkejutnya, kala mendapati angin berhembus kencang dan hanya mengelilingi ranjang rawat itu. Bagaikan sihir, kini tubuh Eyang Wuluh terangkat tinggi, dengan teriakan melengking menusuk pendengaran Gendhis.

Arhhh ....!!!

Bagaikan patung, Gendhis hanya terdiam menyaksikan kejadian mistis didepannya itu. Ingin berteriak pun, mulut itu terasa terkunci, karena seumur hidupnya melihat kejadian di luar nalarnya itu.

Brak!

Setelah angin besar tadi menghilang, tubuh Eyang Wuluh terjatuh kuat hingga menimbulkan ranjang tadi bergerak. Dan barulah setelah itu kaki Gendhis bisa untuk ia gerakan. Gadis itu berjalan kearah samping, untuk membangunkan Nandaka.

"Mas Nanda ... Cepat bangun! Eyang, Mas ...." Suara Gendhis nyaris patah karena saking terkejutnya.

Perlahan Nanda mulai mengerjabkan matanya. Pria itu bangkit setengah badan, menatap Gendhis dengan kening berkerut. "Ada apa dengan Eyang, Ndis?"

"Tubuh Eyang terangkat kuat tadi, Mas!"

Deg!

1
Lucas
seru banget lo ceritanya
Septi.sari: Kak terimaaksih🙏❤❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!