Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab23
Air mata Nindya menetes tanpa bisa ditahan. Perasaannya campur aduk haru, takut, lega, sekaligus khawatir.
Ia berdiri dari kursinya dan hendak merangkul Andrew, namun demgan sigap Andrew menahan tangannya.
"Eiits... kita bukan muhrim."Ucap Amdrew sambil menarik tubuhnya kebelakang.
Nindya terperangah Ia menutup mulutnya dengan tangan, mencoba meredam gejolak yang tiba-tiba menyeruak.
"Andrew… kamu yakin?" suaranya nyaris berbisik.
Andrew mengangguk, tatapannya tegas.
"Aku yakin dan aku ingin kamu ada di sisiku saat aku mengucapkan syahadat nanti."
Detik itu, dunia seolah berhenti berputar bagi Nindya. Ia tak pernah menyangka hari yang ia takut-takuti justru datang lebih cepat, dan bukan dalam bentuk perpisahan, melainkan awal dari sebuah lembaran baru.
Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi Andrew pagi pagi sekali ia rapi mengenakan koko putih dan sarung ia menuju masjid bersama Nindya dan Johan dan Nia sahabat Nindya.
Ruang kecil di sudut masjid itu terasa hening, hanya suara kipas angin yang berputar pelan di langit langit masjid .
Andrew duduk berhadapan dengan Ustadz Hasan yang selama beberapa bulan terakhir membimbingnya. Johan duduk di samping, menepuk pelan bahu Andrew sebagai tanda dukungan selain itu turut hadir beberapa pengurus masjid.
Andrew menarik napas panjang. Hatinya berdebar, seperti akan melangkah ke sebuah pintu besar yang akan mengubah seluruh hidupnya.
“Apa kamu sudah benar-benar yakin, Andrew?” tanya ustadz lembut, tatapannya penuh wibawa sekaligus menenangkan.
Andrew mengangguk. Suaranya serak ketika menjawab,
“Insha Allah, Ustadz ini keputusan yang sudah lama saya pikirkan saya ingin memulai hidup baru….”
Johan menoleh, menatapnya dalam. Ia tahu betul keraguan yang sempat menghantui Andrew, pergulatannya antara masa lalu dan masa depan. Tapi kali ini, sorot mata sahabat yang juga Atasannya benar-benar berbeda—mantap.
Ustadz kemudian mengajaknya mengucapkan kalimat syahadat. Perlahan Andrew mengikuti, dengan logat asingnya yang sedikit terbata-bata, namun jelas:
“Ashhadu an lā ilāha illallāh, wa ashhadu anna Muhammadan rasūlullāh.”Ucap Andrew dengan suara parau karena menahan tangis
Seketika ruangan itu terasa berbeda bagi Andrew. Ada kelegaan yang sulit dijelaskan, seolah beban yang ia pikul selama ini luruh bersama setiap kata yang baru saja ia ucapkan. Johan menunduk, tersenyum haru.
Air mata Andrew menetes tanpa ia sadari. Ia bukan pria yang mudah menangis, tetapi kali ini hatinya luluh.
“Saya merasa… ringan sekali,” bisiknya.
Sementara Nindya bersama Nia dan Istri pak Ustadz Hasan tidak kuasa menahan airmata haru.
Ustadz Hasan mengangguk, senyum hangat menghiasi wajahnya.
“Selamat datang dalam keluarga besar Islam, Andrew semoga Allah menjaga langkahmu, namamu kini adalah Yakub,"
Andrew menatap Johan, kemudian merangkulnya. Nindya muncul tersenyum lembut perempuan yang membuatnya berani sampai sejauh ini.
Namun ia tahu, jalan di depannya masih panjang. Keputusan ini bukan hanya tentang cinta, tapi tentang keyakinan dan hidupnya sendiri.
Setelah prosesi itu selesai, Andrew duduk berbincang dengan pak Ustadz dan yang lainnya, Tangannya masih gemetar, meski wajahnya tenang.
Johan duduk mendampingi, tidak banyak bicara, karena ia tahu sahabatnya butuh ruang untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.
Andrew menatap telapak tangannya sendiri. “AmazingJo…” ucapnya lirih.
“Saya merasa seakan-akan dilahirkan ulang. Padahal di luar sana, hidup saya masih penuh masalah. Tapi di sini…” ia menepuk dadanya perlahan,
"Saya tenang.”
Johan tersenyum
.“Alhamdulillah.”
Andrew menghela napas panjang, lalu tertawa kecil dengan suara yang berat.
“Semakin saya belajar, semakin saya sadar… ini bukan sekadar untuk menikah dengan Nindya. Ini tentang saya, tentang hidup saya sendiri.”
Johan menepuk bahunya.
“Kalau itu yang kamu rasakan, berarti langkahmu benar.”
Setelah ia pamit pada ustadz dan pengurus masjid Andrew dan rombongan pulang dengan perasaan lega
Mobil yang ia kemudikan melaju perlahan melewati jalanan Batam yang masih ramai. Dari balik kaca, lampu kota terlihat berpendar, tetapi pikirannya melayang jauh.
Ia teringat Michelle di Vietnam, mengingat anak-anaknya, juga orangtuanya di Singapura yang tentu akan kaget bila tahu. Namun di sisi lain, ada kedamaian yang sulit ia jabarkan.
Andrew menggenggam erat kemudi, seolah berjanji pada dirinya sendiri.
“Apapun risikonya, aku tidak akan menyesal. Aku sudah memilih jalan ini.”
Sampai di apartemennya, ia tidak langsung tidur. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi pesan. Jemarinya ragu-ragu sebelum akhirnya mengetikkan kalimat pendek.
Assalamu’alaikum, Nindya.
Andrew terdiam, menatap layar. Kata itu terasa baru, tapi entah mengapa menghadirkan kehangatan tersendiri.
"Waalaikummussalam, ada apa Ndrew?."
"Tidak apa apa ,hanya ingin menyapamu."
Malam itu Andrew duduk sendirian di kamar apartemennya di Batam, lampu meja menyala redup. Di atas sajadah yang baru ia beli, ia menatap buku panduan salat yang Johan hadiahkan. Tangannya yang biasanya luwes menandatangani kontrak jutaan dolar kini tampak kaku membuka halaman demi halaman.
“Aku bisa,” gumamnya pelan dalam bahasa Indonesia yang masih beraksen inggris
Beberapa hari berlalu sejak ia mengucapkan syahadat di hadapan ustadz. Masih terngiang di telinganya, suara yang tegas namun lembut menuntunnya menyebut kalimat itu.
Hatinya bergetar, seolah beban lama luruh seketika. Namun di sisi lain, ia sadar hidupnya tidak serta-merta menjadi lebih mudah.
Pagi itu selepas sholat Subuh yang untuk pertama kalinya Andrew lakukan dengan penuh kesungguhan, ia duduk lama di sajadah.
Hatinya terasa ringan, seperti ada beban yang terlepas. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.
Usai menutup doa, ia sempat tersenyum kecil. Lalu tiba-tiba wajah Michelle terlintas di pikirannya—dan senyum itu memudar.
Telepon genggamnya di meja bergetar, notifikasi masuk. Bukan dari Michelle, bukan pula dari Ibunya. Nama itu membuat dadanya terasa hangat Nindya.
"Assalamualaikum bagaimana kabarmu pagi ini?."
Andrew menatap layar sejenak, lalu mengetik pelan.
"Waalaikummussalam ...aku baru belajar shalat subuh belum sempurna tapi aku mau belajar."
Butuh waktu tak sampai semenit untuk balasan datang.
"Masha Allah aku bangga sama kamu, Drew. semoga istikamah, ya."Balas Nindya sambil menyematkan emoticon peluk.
Andrew menutup mata. Pesan itu sederhana, tapi lebih menenangkan dibanding ratusan ucapan selamat yang ia terima saat menutup proyek-proyek besar di kantornya.
Namun ia tahu, kebahagiaan ini belum utuh. Cintanya pada Nindya jelas, keyakinannya kini sudah sejalan dengan perempuan itu.
Tapi di Singapura, ada janji yang belum ia lunasi. Michelle, anak mereka, dan keluarga yang masih menunggunya untuk menepati kata-kata yang pernah ia ucapkan.
Andrew berdiri, merapikan sajadah. Ia tahu perjalanan barunya baru dimulai, dan setiap langkah akan menuntut keberanian yang lebih besar dari sebelumnya.
Berita tentang Andrew menjadi mualaf merebak di kalangan kecil di kantor ,ada yang terharu ada pula yang sinis.
Karena bukan rahasia lagi kalau Andrew tengah dekat dengan Nindya sebagian dari mereka berspekulasi bahwa semata mata karena ia ingin mendapatkan Nindya.
Namun Andrew tidak mau ambil pusing dengan beragam rumors yang beredar. Karena yang tahu kebenarannya hanyalah ia dan Sang Khalik.
Malamnya ia menerima telepon dari Singapura saat Andrew baru saja menutup buku kecil berisi doa-doa pendek ketika nama Mamanya tertera di layar. Ia menimbang sejenak sebelum mengangkat, sudah bisa menebak arah pembicaraan.
“Andrew,” suara Mamanya terdengar tegas, tanpa basa-basi.
“Sampai kapan kamu menunda urusanmu dengan Cintya? Perceraian itu harus diselesaikan. Dan Michelle… dia sebentar lagi melahirkan anak kedua kamu tidak lupa kan?.”
Andrew mengusap wajahnya, menahan desakan di dadanya.
“Ma aku sedang mengurusnya prosesnya tidak sederhana, Mama pikir aku punya kuasa kendalikan jalannya persidangan?.”