NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 23 — Langkah Licik

Tiga hari setelah kejadian itu, suasana kantor Vibe Media terasa ganjil.

Ryan masih bekerja seperti biasa — bercanda dengan tim, menciptakan ide-ide kreatif — tapi setiap kali ia menatap ke arah ruang Liam, selalu ada rasa tegang yang samar.

Dan Emma?

Ia menutupi kegelisahannya dengan senyum profesional. Tapi matanya… menyimpan beban yang semakin berat.

---

Pagi itu, sebuah email tiba di kotak masuk Emma.

Dari: Liam Dawson

Subjek: “Meeting Internal - Strategi Kampanye New York Style”

Isi: “Emma, Ryan, dan Trisha, pastikan hadir jam 10.00 di ruang rapat utama.”

Emma menatap layar dengan alis berkerut.

“Meeting internal?” gumamnya. “Kok tiba-tiba?”

Samantha yang duduk di meja sebelah langsung mencondongkan diri.

“Meeting mendadak dari Liam? Itu nggak pernah pertanda baik.”

Emma tersenyum tipis. “Aku mulai sadar itu.”

---

Jam sepuluh tepat, ruang rapat penuh.

Liam berdiri di depan, mengenakan setelan hitam, ekspresinya tenang dan dingin seperti biasa.

“Baik,” katanya, membuka pertemuan. “Kita akan bahas tim untuk proyek kampanye terbaru New York Style. Ini proyek besar. Aku ingin orang yang bisa menjaga reputasi perusahaan.”

Tatapannya berhenti lama pada Emma — cukup lama untuk membuatnya merasa ditelanjangi secara emosional di depan semua orang.

“Ryan,” lanjut Liam, “kau sudah bekerja keras di proyek Boston. Tapi aku ingin melihat bagaimana kau bekerja di bawah tekanan. Jadi, proyek ini akan jadi ujian.”

Ryan mengangkat alis. “Ujian?”

Liam tersenyum samar. “Ya. Dan aku ingin kau berpartner dengan Trisha.”

Seketika ruangan hening.

Emma menatap Ryan refleks, dan Ryan menatap balik — keduanya tahu apa artinya.

Trisha adalah tipe rekan kerja yang ambisius dan tidak segan menjatuhkan orang lain demi terlihat unggul.

Dan sekarang Liam sengaja memasangkan Ryan dengan Trisha.

Liam menatap Emma, suaranya tenang.

“Sementara itu, Emma akan fokus di proyek internal baru. Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya sepenuhnya.”

Kata “percaya” itu terdengar seperti pesan tersembunyi.

Emma menegakkan punggung, berusaha tetap profesional. “Siap, Pak.”

Liam tersenyum tipis. “Bagus.”

---

Setelah rapat bubar, Emma menahan Ryan di lorong.

“Dia sengaja,” bisiknya.

Ryan mengangguk. “Aku tahu.”

“Dia mau pisahkan kita.”

Ryan tersenyum kecil, tapi nadanya datar. “Biarkan saja. Aku tetap bisa kerja.”

“Ryan, Trisha—”

“Aku bisa handle dia.”

Emma menatapnya, ragu. “Jangan lakukan hal bodoh.”

Ryan menatapnya balik, lebih lembut. “Aku nggak akan. Tapi aku juga nggak akan mundur.”

---

Sementara itu, di ruangannya, Liam sedang berbicara dengan Trisha.

“Jadi, aku ingin kau awasi Ryan,” katanya santai. “Pastikan setiap langkahnya… terdokumentasi dengan baik.”

Trisha menyeringai. “Kau ingin aku cari kesalahannya?”

Liam menatapnya datar. “Aku ingin kebenaran. Dan kalau kebetulan kebenaran itu bisa membantu reputasimu naik, itu bukan salahmu, kan?”

Trisha tertawa pelan. “Kau licik, Pak Dawson.”

Liam tersenyum samar. “Aku menyebutnya efisien.”

---

Hari-hari berikutnya, permainan halus itu mulai terasa.

Ryan tiba-tiba tidak diundang ke beberapa pertemuan penting.

Beberapa ide yang ia ajukan “secara misterius” hilang dari presentasi akhir.

Dan laporan kerjanya tiba-tiba penuh catatan kecil dari Trisha — kritik yang tidak pernah berdasar tapi sulit dibantah.

Emma melihat semua itu dari kejauhan, dan hatinya perih.

Tapi ia tahu, kalau ia ikut campur, Liam akan tahu.

Malamnya, Ryan mengirim pesan.

> Ryan: “Trisha mulai bermain. Dia kirim email ke HR tentang ‘kinerja tidak konsisten’.”

Emma: “Oh Tuhan…”

Ryan: “Tenang. Aku tahu cara hadapi orang seperti dia.”

Emma: “Kamu serius nggak mau aku bantu?”

Ryan: “Kalau kamu bantu, dia menang. Mereka mau kita bereaksi.”

Emma menggigit bibir, frustrasi.

Ia tahu Ryan benar — tapi sulit melihat orang yang ia cintai diperlakukan tidak adil.

---

Keesokan harinya, Liam memanggil Emma ke ruangannya lagi.

“Bagaimana pekerjaanmu dengan proyek internal?” tanyanya.

“Sudah hampir selesai, Pak.”

“Bagus.”

Liam berdiri, melangkah ke arah jendela, tangannya di saku.

“Aku dengar Ryan mulai punya masalah dengan Trisha. Kau tahu sesuatu tentang itu?”

Emma menatapnya datar. “Tidak, Pak. Itu di luar tanggung jawab saya.”

Liam berbalik, menatapnya langsung. “Benarkah? Aku pikir kau selalu tahu apa yang terjadi di sekitar Ryan.”

Nada itu menancap seperti pisau.

Emma menatapnya lurus. “Kami hanya rekan kerja, Pak.”

“Ah, tentu,” jawab Liam, dengan senyum yang tak sampai ke mata.

“Tapi rekan kerja yang baik biasanya tahu kapan temannya butuh diselamatkan.”

“Ryan nggak butuh diselamatkan,” kata Emma pelan. “Dia tahu apa yang dia lakukan.”

“Kalau begitu,” Liam berjalan mendekat, menatapnya tajam, “kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan.”

---

Sore itu, di ruang kerja Ryan, Trisha berdiri sambil menatap layar laptopnya.

“Ryan, kau salah input data di sini,” katanya dingin.

Ryan melirik. “Itu format dari tim keuangan, bukan aku.”

Trisha tersenyum kecil. “Tetap saja, tanggung jawabmu sebagai project lead.”

Ryan menghela napas. “Trish, kalau kau mau cari kesalahan, pastikan datanya benar.”

Trisha mendekat. “Oh, aku pasti pastikan. Karena setelah proyek ini, mungkin cuma salah satu dari kita yang masih di sini.”

Ryan menatapnya tajam. “Kau benar. Tapi aku bukan orang yang bisa dijatuhkan pakai rumor.”

Trisha mendengus. “Kau pikir ini cuma rumor? Kau belum kenal betul siapa yang kau hadapi.”

Ryan menatapnya dingin. “Kalau kau pikir aku takut, kau salah orang.”

Trisha hanya tersenyum, lalu berjalan keluar — meninggalkan aroma parfum dan bahaya di belakangnya.

---

Malamnya, Emma duduk di apartemennya, menatap layar laptop kosong.

Pesan dari Ryan masuk lagi.

> Ryan: “Dia kirim laporan ke Liam. Besok aku dipanggil.”

Emma mengetik cepat.

> Emma: “Aku datang.”

Ryan: “Jangan, Em.”

Emma: “Aku nggak peduli. Aku nggak biarin kamu hadapi ini sendiri.”

Ryan tak langsung membalas. Tapi setelah beberapa menit, pesannya muncul.

> Ryan: “Baik. Tapi kalau kamu datang, aku nggak mau lihat kamu takut.”

Emma menatap pesan itu lama, lalu mengetik:

> Emma: “Aku lebih takut kehilanganmu.”

---

Di sisi lain kota, Liam duduk di ruang kerjanya yang gelap, menatap layar laptop — membaca laporan dari Trisha.

Ia meneguk wiski pelan, lalu tersenyum tipis.

> “Kau mau main, Ryan Miller? Baiklah. Tapi di permainan ini, aku yang pegang aturan.”

Dan di luar jendela, lampu-lampu New York berkelap-kelip — seperti saksi bisu permainan cinta, kuasa, dan ambisi yang baru saja berubah jadi perang dingin.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!