Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penasaran
“Kenapa Jan? gak enak makanannya?” Jani menggeleng.
Calvin merasa ada yang salah karena sejak tadi wajah Jani terus saja cemberut.
“Apa kau tidak enak badan?” Tanyanya lagi ingin memastikan jika Jani nya tidak sedang marah atau sakit. Lagi-lagi dia hanya menggeleng.
“Aku sudah selesai Kak, Jani ke kamar duluan yah.” Calvin mengangguk.
Sejak pulang kerja tadi wajahnya benar-benar membuat Calvin risau. Dia tidak cerewet seperti biasanya, bibirnya terkunci rapat seolah sedang mogok bicara.
Calvin : Kau yakin Jani baik-baik saja?
Juan : Apa masih diam saja Pak Nona Jani nya?
Calvin : Iya, bicara hanya seperlunya saja seperti sedang marah.
Juan : Setau saya Nona tidak ada masalah di kantornya Pak, semuanya baik-baik saja.
Calvin menaruh ponselnya, Juan pasti tidak akan tahu apa yang terjadi di dalam ruangan. Bisa saja Jani dapat diskriminasi atau tekanan kerja yang berat.
Mungkin ini hari pertamanya yang melelahkan, Calvin ingin mencoba mengerti dengan tidak banyak bicara dan mencari tahu. Tapi hatinya gundah gulana merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Jani mengatasi masalahnya.
Calvin : Apa yang kau lakukan saat kekasihmu sedih?
Ara : Peluk…cium…hmmmm
Calvin : Jangan mengarah ke sana Ra, aku serius.
Ara : Belikanan makanan atau barang kesukaannya, atau ajak dia jalan-jalan.
Calvin : Bagaimana cara bicara dengannya Ra? Aku bingung.
Ara di seberang telpon menahan tawanya, bukan karena pekerjaan Bos nya kewalahan. Dia kewalahan menghadapi Istrinya yang sedang tidak mau bicara dengannya.
Calvin : Jangan coba-coba tertawa sialan. Bantu aku cari cara agar Jani tidak lagi marah.
Ara : Coba bicara dari hati ke hati Bos. Mungkin Nona Jani ingin di dengarkan keluh kesahnya.
Calvin : Begitukah?
Ara : Coba saja, kalau Bos tulus, Nona Jani pasti akan menyadarinya.
Ponsel di tutup begitu saja, Ara sudah biasa dengan Bos nya yang tidak terbiasa basa basi dengannya. Ara hanya merasa lucu karena selama bekerja dengannya tidak pernah sekalipun melihat Calvin kelimpungan seperti ini.
Ini kemajuan dalam hubungan mereka yang masih begitu dingin, mereka hidup bersama tapi tidak saling memiliki satu sama lain.
Tok…tok…tokkkk….
“Sudah tidur?” Sapa Calvin yang melihat Jani sudah berbaring di atas kasur. Jani mendudukkan tubuhnya.
“Apa Kak Calvin butuh bantuan?” Bicara tanpa menatap wajah Calvin, rasanya menyesakkan karena Calvin tidak melihat kehangatan.
Calvin menahan tangan Jani yang ingin beranjak menuruni kasurnya. Jani menunduk, dia sadar Kak Calvin sudah menyadari sikapnya yang begitu acuh.
“Maaf.” Jani tidak ingin memperkeruh suasana.
Jani harus selalu mengalah demi hubungan baik dirinya dengan suami yang super sibuk dan cuek menurutnya.
“Apa aku melakukan kesalahan?” Jani menggeleng. “Lalu ada apa Jan? ungkapkan kalau memang Jani marah dan kecewa padaku.” Jani terisak, akhirnya tumpah juga air mata yang sejak tadi dirinya tahan.
Calvin merengkuh tubuh Jani ke pelukannya, mengusapnya dengan lembut tanpa sepatah katapun lagi yang keluar dari mulutnya.
Jani menangis cukup lama, dia mengeluarkan semua air mata yang malam ini ingin bebas berderai membasahi pipi Jani.
Jani kelelahan, malam ini dia tutup dengan tangis pilu yang menghantarnya sampai tertidur pulas. Calvin hanya memandangi wajah sayu Jani yang terlelap di bahunya.
Gemuruh amarah benar-benar menghantui kalbunya. Jani menangis tanpa penjelasan apapun yang membuatnya penasaran setengah mati.
“Kirim coklat dan bunga mawar putih sekarang juga ke lantai lima.” Pesan yang Calvin kirimkan pada Ara.
“Siap.” Balasnya cepat.
Tidak lama pintu lift lantai lima terbuka, ada Ara yang sudah ada di depan pintu masuk kamarnya menunggu di bukakan pintu.
“Semoga berhasil.” Calvin menahan bahu Ara yang sudah berbalik ingin meninggalkannya. “Ada lagi yang bisa aku bantu?” Wajah Calvin sendu sekali.
“Jani menangis Ra, dia tidak bicara apapun, tidak ada penjelasan darinya Ra.” Ara bingung juga harus bicara apa. Selama ini Nona Jani nya tidak banyak bertingkah, jika menangis seperti ini berarti sedihnya bukan main.
“Aku…..lebih baik tunggu sampai Nona bicara Bos. Mungkin Nona masih butuh waktu untuk bicara alasannya marah apa.” Calvin mengangguk, dia sudah malas juga berfikir lebih keras apa alasan sebenarnya kesedihan Jani ini.
“Bos….” Calvin kembali berbalik. “Apa Nona mengirim pesan atau apa ke Bos?” Calvin mengangkat kepalanya tegak menatap Ara.
Apa aku salah bicara? Kenapa dia menakutkan sekali.
Calvin buru-buru masuk, Ara hanya menunggu di depan pintu. Kamar pribadinya di lantai lima tidak ada satu orang pun yang berani memasukinya selain Bibi dan Jani.
Jantung Ara ikut berdegub menunggu Calvin yang tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Calvin keluar dengan raut wajah yang cukup tegang. “Lihat Ra.”
"Kak, Runi ingin bertemu. Kangen katanya Kak, boleh tidak pulang kerja nanti aku menemuinya dulu? Jani juga rindu dengan sahabat Jani Kak."
Ara mengusap tengkuknya bingung harus menanggapi apa kecerobohan Calvin ini. “Mungkin ini penyebabnya Bos.” Sedikit saja Ra, banyak bicara hanya akan memperkeruh suasana.
“Bodoh sekali aku tidak baca pesannya. Tenggelam begitu jauh sampai aku tidak sadar Jani menunggu balasan dariku Ra.”
Ara hanya mendengarkan saja, tidak mau berkomentar terlampau jauh. Calvin sudah cukup menyalahkan dirinya karena ceroboh.
Akkkhhhh….
Jani memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
“Kak Calvin kok gak ada.” Bicara sendiri karena tidak mendapati Calvin di sisinya. Jani menghela nafasnya mengingat tangis pilunya semalam.
“Sudah bangun?” Calvin menyapanya dengan lembut.
Jani mengangguk, kali ini matanya sudah bisa menatap langsung pada dirinya.
Calvin mengusap dua mata Jani yang bengkak dengan lembut.
“Maaf menyakitimu lagi Jan.” Jani menggeleng. Bukan karena balasan pesan Kak Calvin alasanya bersedih begitu larut. “Aku sudah kirim nomor baru ku padamu. Kirim pesan ke nomor itu saja mulai sekarang Jan.”
“Jani….ehmmmm….” Calvin menggeleng.
Dia meminta Jani untuk tidak menjelaskan lebih jauh lagi. Calvin tau Jani tidak akan bisa mengucapkan kekesalannya meski pasti begitu ingin.
“Aku yang salah Jan, seharusnya kau memakiku dan marah padaku Jan, jangan menahannya Jan, aku mohon.” Pinta Calvin yang masih memeluknya erat.
“Luapkan apapun yang ingin kau sampaikan padaku Jan, jangan menahannya.” Jani hanya mengangguk.
“Kau ini istriku, lupakan hubungan kita yang awalnya memang sebuah keterpaksaan. Kau ini Istriku sejak aku mengikrarkan janjiku menerima mu sebagai pendamping hidup ku Jan, sejak kau merima ku sebagai suami mu Jan.” Jani hanya bisa menitikkan air matanya.
“Sudah sayang, cukup air matamu.” Calvin dengan sadar mengecup pipi Jani menghapus jejas air mata yang sangat menyakitkan baginya.
“Terimakasih Kak.” Calvin tidak mengijinkan Jani beranjak dari kasurnya, masih ingin memeluknya erat menumpahkan semua cintanya yang sudah terlampau besar pada Jani.
“Kau tau Jan apa yang membuat ku sangat merasa gagal sekarang?” Jani mendongak, menatap bola mata Calvin yang sudah berkaca-kaca. “Aku tidak bisa menjaga mu tetap bahagia, membuat mu menangis dan merasa aku tidak berguna sama sekali dalam hidup mu.”
“Tidak Kak, Kak Calvin sudah sangat baik pada Jani. Kakak tidak boleh bicara begitu Kak.” Calvin mengeratkan pelukannya.
“Aku harus memastikan setiap detik mu hanya berisi kebahagiaan Jan, setelah itu aku akan merasa seluruh hidup ku berhasil. Aku tidak akan merasa gagal lagi sebagai seorang suami dan laki-laki.”
“Jani bahagia Kak, sungguh.”
“Belum Jan, masih banyak yang harus aku benahi. Semua masih kacau karena aku belum terbiasa dengan peran ku sebagai seorang suami. Aku masih sering lupa waktu setelah meninggalkan rumah, aku masih belum sepenuhnya menjadi seorang suami yang baik untuk mu.”
“Aku ingin menjadi tempat pulang kapan pun untuk mu Jan, aku bersungguh-sungguh dengan semua yang aku ucapkan Jan.” Jani yang kali ini mengeratkan pelukannya.
“Jani tidak merasakan kekurangan apapun saat ini, Kakak sudah jadi rumah nyaman untuk Jani. Kakak sudah mengisi setiap kekosongan dengan semua yang Jani inginkan, Jani sudah penuh dengan kebahagiaan Kak."
"Terimakasih Sudah mengatakannya Jan, terimakasih mau memaklumi semua kekurangan ku ya Jan.” Jani bahagia Kak Calvin begitu mencintainya.
Jani begitu berarti untuk dirinya, padahal sebelumnya Jani tidak pernah jadi orang penting untuk siapa pun selain Mas Angga.
“Lain kali balas pesan Jani ya Kak, Jani nungguin tau Kak.”
“Iya sayang, aku sudah beli ponsel khusus untuk menerima pesan mu.” Jani membulatkan matanya. “Pesan mu tertimpa banyak pesan masuk lain karena kemarin ada proyek yang sedikit bermasalah, banyak yang menghubungiku sampai pesan mu tidak aku lihat sama sekali sayang.”
“Pantas saja tidak di balas.”