Hana Hafizah menjadi perempuan paling tidak beruntung ketika ayah dan ibu memintanya untuk menikah, tetapi bukan dengan lelaki pilihannya. Ia menolak dengan tegas perjodohan itu. Namun, karena rasa sayang yang dimilikinya pada sang ayah, membuatnya menerima perjodohan ini.
•••
Gadibran Areksa Pratama. Dosen muda berumur 27 tahun yang sudah matang menikah, tetapi tidak memiliki kekasih. Hingga kedua orang tuanya berkeinginan menjodohkannya dengan anak temannya. Dan dengan alasan tidak ingin mengecewakan orang yang ia sayangi, mau tidak mau ia menerima perjodohan ini.
•••
“Saya tahu, kamu masih tidak bisa menerima pernikahan ini. Tapi saya berharap kamu bisa dengan perlahan menerima status baru kamu mulai detik ini.”
“Kamu boleh dekat dengan siapapun, asalkan kamu tahu batasanmu.”
“Saya akan memberi kamu waktu untuk menyelesaikan hubungan kamu dengan kekasih kamu itu. Setelahnya, hanya saya kekasih kamu. Kekasih halalmu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYusra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Kekasih Halalmu – Mama
Hana bangun pukul empat sore dengan kondisi yang lebih baik. Ia membuka mata dan melihat kearah jendela, ternyata sudah sore. Mencoba mengingat hal yang terakhir kali ia lakukan sebelum tidur, Hana tiba-tiba tersenyum. Ia ingat dengan jelas jika dirinya tertidur dipelukan sang papa. Rasanya sangat membahagiakan setelah beberapa hari tidak saling bertegur sapa.
Hana lalu bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Badannya masih terasa hangat, maka dari itu ia belum mau mandi. Sebentar lagi, pikirnya.
Hana turun tangga dengan pelan. Wajahnya masih terlihat pucat dan lemas. Tetapi rasa lapar yang menderanya tidak bisa ia lawan. Maka dari itu, sampai lah Hana didapur mamanya yang terlihat ada beberapa makanan. Sepertinya sisa makan siang tadi.
“Hana?”
Suara mama yang terdengar olehnya itu, membuatnya berbalik saat sampai di meja makan. “Iya, Ma?”
Lidia mendekat lalu menempelkan tangannya di kening sang anak. “Masih panas, sayang. Kenapa keluar kamar?”
Hana menampilkan deretan gigi putihnya. “Hana laper, Ma. Mau makan. Lagian udah agak mendingan, kok.”
Lidia menghela napas. “Ya sudah, Mama masakin bubur, ya?”
Hana menggeleng. “Nggak, Ma. Hana mau makan ini aja,” katanya dan duduk dikursi meja makan.
Lagi. Lidia kembali menghela napasnya, tetapi ia juga mengangguk. Tidak ingin berdebat, karena Hana akan tetap kekeuh dengan keputusannya.
Dengan segera Lidia mengambil makanan untuk Hana. Nasi kemudian lauk yang sebelumnya dibuat sup olehnya dan sudah dipanaskan. Hana hanya memperhatikan yang dilakukan oleh mamanya. Ia tersenyum. Senang sekali rasanya melihat mamanya tengah mengambilkan makanan untuknya.
“Terimakasih, Mamaa,” ucap Hana sambil tersenyum setelah Lidia menaruh piring di depannya. Kemudian langsung melahap makanan itu dengan lahap.
Lidia ikut tersenyum. “Sama-sama, Sayang,” balasnya.
“Papa mana, Ma?” tanya Hana setelah minum. Ia sedari tadi belum melihat kehadiran papanya dirumah ini sejak ia bangun.
“Tadi–”
Perempuan beda generasi itu langsung menoleh ketika mendengar bunyi bel. Hana menatap mamanya, pun dengan Lidia juga begitu. “Mama ke sana, ya? Kamu lanjutin aja makannya,” ucap Lidia pada Hana, dan Hana mengangguk.
Setelah Lidia berlalu untuk melihat siapa yang datang, Hana melanjutkan makannya yang lumayan lahap. Tentu saja, ia sangat lapar setelah berjam-jam tadi tidur dengan pulas.
Tidak berselang lama dan Hana juga masih melahap makanannya, mama kembali datang menuju Hana.
“Kenapa, Ma?” tanya Hana saat mamanya sudah berada disampingnya. “Siapa yang datang? Teman papa? Atau teman Mama?”
Lidia menggeleng. “Bukan. Dibran yang kesini. Kalau kamu udah selesai makannya, langsung ke depan aja,
yaa. Ini biar Mama yang beresin.”
Hana terdiam. Lebih terkejut karena tiba-tiba saja tunangannya itu datang kesini tanpa memberitahunya. Ada apa?
“Pak–, Ma-mas Dibran, Ma?” ulang Hana. Mama tertawa geli sambil mengangguk. Sedangkan Hana meringis ketika ia hampir saja menyebut Dibran dengan sebutan ‘pak’
“Udah selesai, kan, makannya? Gih, susulin Dibran. Dia nanyain kamu.”
Hana kembali diam. Bingung apakah ia harus menemui laki-laki itu atau tidak. Karena sebenarnya bukan Dibran yang ingin dia lihat. Tetapi Galang! Kekasih yang sudah tiga hari ini tidak ada kabar!
“Kenapa malah bengong? Sana susulin Dibran. Dia udah nunggu kamu,” kata mama saat membersihkan meja makan, dan melihat Hana masih duduk manis di sana.
Hana menatap Lidia dengan bingung. “Ma,” panggilnya.
“Hm?”
“Apa … Hana terlambat ya, buat ngebatalin perjodohan ini?” Lidia terhenyak. Ia segera berbalik badan setelah menaruh piring kotor itu diwastafel. “Maksud kamu?”
Hana menunduk. “Maaf. Tapi Hana nggak bisa, Ma. Bukan Mas Dibran yang Hana mau. Tapi Galang. Hana cintanya sama Galang, Ma. Bukan Mas Dibran.”
Lidia masih diam beberapa saat. Kemudian bergerak untuk duduk disamping anaknya yang masih menunduk. Ia membelai rambut Hana dengan lembut.
“Kamu yakin mau ngebatalin?” tanya Mama lembut.
Hana tidak memberikan respon.
“Waktu itu kamu nerima pertunangan kenapa?” tanya mama lagi.
Hana mengangkat pandangannya, lalu menggeleng. “Hana cuma mau ngebahagiain Mama sama Papa. Selama ini apapun keputusan Hana, Mama sama Papa nggak pernah nolak. Jadi Hana coba untuk nerima perjodohan ini untuk bisa membalas sedikit kasih sayang kalian,” jawab Hana dengan pelan.
Lidia tersenyum lembut. Kemudian menggenggam Hana. “Kenapa keinginan Hana nggak pernah kami tolak, karena Mama sama Papa sayang sama kamu. Kami mau yang terbaik buat kamu. Kamu udah bisa bedain mana yang baik dan mana yang buruk. Kamu juga bisa menentukan pilihan yang menurut kamu terbaik. Makanya Mama sama Papa selalu mendukung hal yang kamu lakuin,” ucap Mama.
“Bahkan perihal jodoh. Dan saat ini, ketika Mama sama Papa ingin menjodohkan kamu, keputusannya tetap sama kamu. Karena yang akan menjalani ini nantinya, pasti kamu. Dan yang terpenting untuk kami, kamu bahagia dengan keputusan kamu. Kalau waktu itu kamu menolak perjodohan ini, Mama yakin, Papa pasti akan paham,” lanjut mama membuat Hana terdiam.
“Jadi menurut Mama, gimana?”
“Keputusannya tetap sama kamu.”
Sesak. Sunguh semuanya terasa berat untuk Hana. Mendengar penjelasan mamanya tadi, membuat ia semakin bingung. Ia tahu bahwa orangtuanya akan menerima semua keputusannya. Tetapi saat melihat respon mamanya yang seperti ini, membuat Hana semakin bimbang!
Raut tenang yang dimiliki oleh mamanya ini seolah akan menjadi boomerang ketika nanti ia memilih mundur dari perjodohan ini. Ia takut gurat kecewa akan terlihat dari wajah mama, terlebih papanya.
“Tapi Hana maunya sama Galang, Ma … Hana cintanya sama Galang. Bukan Mas Dibran,” ucap Hana lirih dengan air mata yang menetes. Ia terisak, dan menunduk.
...***...
Hana akhirnya menemui Dibran diruang tamu. Perkataan mamanya tadi masih menjadi momok dalam pikirannya. Ia kembali takut dalam mengambil langkah. Pemikiran yang muncul untuk membatalkan perjodohan ini juga hasil dari keputusannya untuk menerima Dibran dalam hidupnya. Berkutip demi membahagiakan kedua orangtuanya.
Hal ini membuat Hana menjadi plin-plan demi kebahagiannya. Ia hanya terpaksa. Maka dari itu lebih baik dibatalkan saja perjodohan ini. Tetapi akan lebih menyakitkan untuknya ketika perjodohan dibatalkan saat pernikahannya akan berlangsung dalam hitungan minggu.
Tidak hanya malu yang akan didapatkannya, tetapi juga sorot kekecawaan yang akan ia peroleh dari orangtua, terutama papanya.
“Hana?”
Panggilan heran yang terdengar olehnya, mengalihkan atensinya pada sosok pria yang yang sangat ia sayangi.
Hana tersenyum, lalu duduk di kursi kiri sebelah sang papa. Dibran juga duduk di kursi kanan. Mereka duduk berhadapan.
“Gimana keadaan kamu?” tanya Evan.
Hana mengangguk. “Udah mendingan kok, Pa.”
Dibran memperhatikan wajah Hana yang masih terlihat pucat dan lesu.
Evan tersenyum kecil dan mengangguk. “Ya sudah, Papa mau ke belakang dulu. Dibran ingin membicarakan sesuatu sama kamu.”
Hana mengernyit, kemudian menatap Dibran yang masih menatapnya lurus. Tetapi setelah itu, sang pria mengalihkan pandangannya pada Evan dan mengangguk kecil sambil tersenyum. Evan kemudian berlalu dan meninggalkan dua sejoli itu.
Setelah Evan pergi, selama beberapa saat keduanya masih diam. Hana juga masih menampakkan wajah bingungnya. “Kenapa?” tanya Hana.
Tanpa mengatakan apapun, Dibran beranjak dari duduknya kemudian beralih duduk di samping Hana.
Perempuan yang nampak pucat itu semakin terlihat bingung dengan tingkah tunangannya itu. Tetapi pada detik berikutnya, jantung Hana mendadak berdebar dengan kencang ketika Dibran menggerakkan tangannya untuk menyentuh kening lalu pipinya.
“Istirahat aja dikamar. Kamu masih belum sehat.”
Hana bergeming. Ia masih dalam mode kaget dan bingung. “Pa-papa bilang Bapak mau bilang sesuatu,” ucap Hana melawan rasa gugup-nya.
Dibran mengangguk sembari menurunkan tangannya yang tadi masih menempel dipipi perempuan itu. “Nggak jadi. Kamu juga ternyata lagi sakit. Jadinya minggu depan aja.”
Hana makin bingung. “Kenapa? Emangnya bapak mau ngomongin apa?”
“Saya mau ngajak fiting baju pengantin. Mama juga mau ketemu kamu. Tapi berhubung kamu lagi sakit, ya sudah, setelah kamu sehat aja kita pergi.”
Hana diam. Tidak memberikan respon apapun.
“Itu saja?” tanya Hana dan Dibran menggeleng.
“Lalu?”
“Sebenarnya tujuan saya datang ke sini untuk izin sama Papa kamu.”
Hana mengernyit. “Izin buat apa?”
“Saya izin mau ajak kamu ke Paris. Sahabat saya nikah dua hari lagi, makanya saya ajak kamu. Saya nggak mau datang sendiri karena saya sudah memiliki pasangan,” jawab Dibran dengan lepas. Tetapi hal itu justru membuat jantung Hana berdetak lebih lepas. Mengapa laki-laki itu mendadak seperti ini! Bukankah dia orang yang kaku? Lalu ini apa?!
Huh! Oke, Hana, tenang. Tarik napas, buang!
Tetapi Hana tidak bisa melakukannya! Dia masih bergeming dan terus menatap Dibran tanpa berkedip.
Dibran juga balas menatap Hana. “Tapi sepertinya saya memang harus datang sendiri. Karena kamu masih sakit, jadi saya nggak mungkin maksa kamu buat ikut.”
^^^
Hana merenung dikamarnya setelah selesai makan malam. Ia duduk dikursi dekat jendela kamar sambil menatap langit yang sangat ramai dengan bintang. Bulan malam ini juga sangat indah, dengan bulatan yang tidak penuh.
Tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya, kemudian sikap Dibran yang kadang manis membuat jantungnya sering berdebar dengan kencang, lalu hari pernikahan yang sebentar lagi akan terlaksana. Hana dilanda kebingungan. Jantungnya saat ini berdetak lebih cepat ketika memikirkan kemungkinan yang terjadi ketika ia membatalkan perjodohan. Raut kecewa, malu, dan yang lain sepertinya sudah terbayang olehnya.
Sekali lagi Hana menoleh pada ponsel yang berada digenggamannya, namun kabar dari Galang belum juga ia dapatkan.
Hana menghela napas dan menutup jendela. Kemudian ia berdiri dan merebahkan badannya dikasur bersiap untuk tidur. Pikirannya yang masih melayang tentang semuanya, membuat kepalanya terasa sakit. Badannya yang baru saja pulih seolah menolak untuk memikirkan apapun.
Sebelum terlelap, Hana menatap langit-langit kamar yang begitu terang dengan cahaya lampu. Selimut sudah membungkus badannya hingga dada. Tadi sore Dibran menemui papanya untuk meminta izin agar ia bisa pergi ke Paris menemani laki-laki itu ke acara pernikahan sahabatnya. Tetapi karena kondisinya yang kurang baik, membuat Dibran pergi seorang diri. Mengingat itu, membuat Hana tersenyum kecil ....
Setelahnya, barulah ia terlelap dengan senyum menghiasi bibirnya.
...***...
suexxx gak mudeng aku lama2 sama para karakter di novel ini.