Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan Setelah Badai
"Kau akan mendengar jawabanku besok malam, jadi, tinggallah satu hari lagi." Jinhwa menatap Zeyan lurus.
"Kau bilang butuh waktu, aku bisa menunggu jawabanmu dari bentengku. Jangan membuat keputusan yang terburu-buru," ucap Zeyan sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Sederhana saja, Zeyan hanya menghindari mendengar jawaban yang tidak ingin ia dengar. Jinhwa terkekeh kecil sebelum menyeringai tipis.
"Tadi siang kau sendiri yang mendesak jawaban, sekarang kau sedang mencoba sok sabar?"
Zeyan beranjang dari duduknya dan melangkah ke tepi balkon. "Aku tidak ingin kau membuat keputusan yang salah."
Mereka berdua berbincang di teras balkon aula utama dengan pemandangan langsung ke halaman utama, dimana para tamu tengah menonton para penari yang diundang oleh Jinhwa untuk menghibur para tamu yang masih berada di kediamannya.
"Kau hanya tidak ingin mendengar penolakan, Tuan Qi."
Mata Zeyan menelusuri orang-orang di bawah sana, seolah mencari keberadaan seseorang. Musik dan riuh sorakan terdengar kontras dengan pembicaraan mereka yang tenang.
"Baiklah, aku akan tinggal sehari lagi."
Jinhwa tersenyum, menyesap tehnya. "Bagus. Lagi pula, akan sangat menyiksa melakukan perjalanan dalam situasi perang dingin."
Zeyan mengernyit namun menyadari maksud wanita itu, dan Jinhwa kembali berbicara. "Kau bisa gunakan sisa waktu itu untuk berdamai dengan gadis itu."
Pria itu menyilangkan kedua tangannya dan mendengus. Matanya masih mencari-cari sampai akhirnya matanya berhenti menelusuri. Dari tempatnya berdiri, ia melihat Yuer. Ia mengenalinya hanya dari caranya berjalan.
Di dekatnya berdiri seorang pria dengan ikat pinggang berhias bulu elang. Putra sulung pemimpin Longbei.
Zeyan menyipitkan mata, sepintas tidak ada yang aneh meski pemandangan mereka tampak sedang berbicara itu sangat mengganggunya. Ia terus menatap hingga Yuer mendongak ke atas tepat ka arah balkon tempatnya berdiri. Tatapan mereka bertemu. Hanya sesaat. Tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang Zeyan tidak mengerti apakah itu sebuah permohonan diam-diam karena alisnya tampak bergerak ke tengah dengan kerutan lembut samar.
Sebelum Zeyan sempat mencernanya, mereka sudah tidak di tempat yang sama. Yuer terlihat berjalan pergi dan pria berna Li Yucheng itu berjalan di sampingnya sedikit mengejar langkah Yuer.
"Apa yang dia lakukan?"
Sesuatu meledak dalam dadanya begitu menyadari sesuatu. Ia berbalik, melangkah cepat ke tangga meninggalkan Jinhwa yang masih duduk dengan tenang.
Li Yucheng. Putra sulung Tuan Li yang dikenal cabul dan mengincar wanita manapun yang menarik di matanya. Seharusnya Zeyan ingat lebih awal.
...
Yuer menyadari seharusnya dia tak berbelok ke arah ini, jalur ini sedikit lebih gelap dan sepi. Pria itu berjalan di sampingnya terus, mencoba mengikutinya, mengabaikan penolakannya.
"Kau sadar kan, kalau kau terlalu cantik untuk pria kejam itu? Gadis sepertimu harus diperlakukan lembut.."
Yuer mendengus. "Dan menurutmu kau lebih baik?"
Pria itu mengangguk percaya diri, menepuk dadanya dengan bangga. "Aku bisa memperlakukanmu lebih baik, dan lebih lembut tentunya."
Tangan pria itu mulai berani menyentuh pinggang Yuer. Mungkin karena tempat ini lebih gelap dan lebih sepi sampai tak ada seorang pun yang lewat. Namun Yuer langsung menepis, mencoba mundur dengan tatapan marah.
"Kau sudah keterlaluan."
Yuer mencoba kembali menuju ke arah dia datang, namun sebelum ia melangkah sepenuhnya menjauhi area gelap itu sebuah tangan menarik pinggangnya dan mulutnya dibekap hingga ia tak bisa berteriak.
"Diam." Pria yang tak ia kenal itu menyeretnya lebih jauh ke tempat yang lebih gelap. Yuer meronta, matanya membelalak marah.
"Tidak akan ada yang bisa menemukan kita disini," bisik pria itu di telinganya dan Yuer tak bisa menahan perasaan jijiknya.
Yuer melakukan segala cara untuk meloloskan diri, namun sialnya pria itu memiliki tenaga yang cukup kuat.
"Ayolah, kau juga akan menikmatinya."
Perut Yuer terasa mual mendengarnya. Pria itu menekan Yuer ke dinding, satu tangan menahan kedua tangan Yuer di atas kepalanya sementara tangan satunya masih membekap mulutnya.
Amarah dan rasa takut bercampur jadi satu. Kedua mata Yuer melotot tajam dan mulai berair.
"Hmmph!" Yuer mencoba berteriak.
"Berhenti menolak, kau pasti sudah terbiasa dengan ini. Qi Zeyan itu tak mungkin mengabaikan tubuh indahmu begitu saja."
Wajah pria itu nyaris menyentuh leher Yuer ketika tiba-tiba terdengar suara pukulan keras yang memecah udara. Dalam sekejap, tubuhnya terpental ke samping, menghantam tanah dengan keras. Yuer terhuyung dan merosot lemas, kedua matanya basah, tubuhnya gemetar saat ia perlahan menoleh dan di sanalah Zeyan berdiri, napasnya memburu, matanya membara penuh amarah yang liar dan brutal.
Zeyan hanya menatap Yuer sekilas, cukup untuk melihat air matanya, cukup untuk memantik ledakan yang lebih besar.
"Bajingan."
Satu kata umpatan terlontar dari bibirnya sebelum ia mencengkeram kerah Li Yucheng dan menyeretnya berdiri, hanya untuk menghajarnya tanpa belas kasihan.
Tinju pertamanya menghantam wajah pria itu dengan suara retak. Yang kedua menghujam ke perut, memaksa Li Yucheng menunduk dengan napas tercekik. Zeyan terus menghantamnya tanpa jeda, tanpa menahan diri. Menyalurkan amarahnya dalam tiap pukulan, seperti binatang buas yang lepas kendali.
Li Yucheng menjerit, memohon, namun itu hanya membuat Zeyan makin ganas. Ia menendang tubuh pria itu yang sudah tergeletak, lalu menginjak tangan yang berusaha melindungi wajahnya.
"Kau sentuh dia?! Hah?!" bentaknya, suaranya meledak penuh kemarahan dan rasa jijik.
Tak cukup dengan itu, Zeyan membungkuk dan kembali memukul wajah Li Yucheng yang kini berdarah, bahkan ketika pria itu sudah tak mampu melawan. Setiap pukulan adalah bentuk dari rasa bersalah, ketakutan, dan kemarahan Zeyan yang meledak sekaligus. Orang-orang mulai berdatangan, mungkin karena teriakan Li Yucheng. Tetapi Zeyan tak peduli pada siapa yang menonton atau pada konsekuensinya.
Baru ketika dua penjaga mencengkeram lengan Zeyan dan darah membasahi lengan bajunya, ia berhenti. Kemudian ia menoleh ke tempat Yuer berdiri.
Namun, Yuer sudah tak di sana.
Dari kejauhan, ia melihat siluet Yuer berjalan tertatih menuju kegelapan, lalu menghilang di balik bangunan batu dan pohon plum yang mekar di malam hari.
Zeyan langsung menyusul.
...
Ia menemukannya di sana, berdiri bersandar pada dinding di belakangnya, tubuh membungkuk dengan tangan mencengkram gaunnya. Rambutnya berantakan, pipinya memerah, dan bahunya gemetar perlahan. Ia tidak menangis, tapi air mata menggenang di matanya.
Zeyan melangkah perlahan, menyentuh pelan lengannya sambil memastikan Yuer tak keberatan.
"Yuer, kau bisa duduk." suaranya rendah, hampir pelan.
Yuer merosot perlahan, kini duduk dan Zeyan berlutut di hadapannya dengan satu lutut menyentuh lantai batu.
Tangannya terulur, menyentuh pelan wajah Yuer, menggiring dagunya agar menatapnya.
"Sudah tidak apa-apa sekarang," katanya. "Kau aman."
Air mata itu akhirnya jatuh.
Zeyan mengusapnya dengan ibu jarinya. Kali ini, tangannya gemetar. Ia menghela napas panjang, dan berkata, "Seharusnya aku langsung menghampirimu. Ini salahku."
Yuer masih diam. Tapi tubuhnya perlahan bergerak dan akhirnya, ia menjatuhkan diri ke pelukan Zeyan.
Tangisnya pecah di dadanya, menghancurkan sisa kendali yang ia pertahankan sejak tadi. Kedua tangannya mencengkram jubah Zeyan.
"Aku takut sekali," Isak Yuer.
Zeyan menutup mata, memeluknya lebih erat. Tangannya mengusap punggung dan rambut Yuer perlahan.
"Aku tahu," katanya pelan. "Ini salahku."
Malam itu, Qi Zeyan adalah tempat paling hangat bagi Yuer. Satu-satunya yang secara tak terduga mampu menenangkan badai yang tak terlihat di dalam dirinya. Atau mungkin karena Yuer tidak memiliki siapapun untuk memeluknya
Zeyan memang berharap mereka berdamai tanpa perlu mengungkitnya kembali, tapi tidak dengan cara ini. Bukan dengan apa yang baru saja menimpa Yuer. Bukan dengan darah di tangannya sendiri.
Entah melakukannya dengan sadar atau tidak, Zeyan mengecup puncak kepala Yuer dan mendekapnya lebih erat.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi, Yuer. Tidak akan."
susunan kata nya bagus