NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Dua Puluh Tiga

****

Hari Kamis, jam sebelas lewat sedikit, langit Jakarta berwarna kelabu, seolah mencerminkan isi hati Hafiz yang masih diliputi kabut pertanyaan.

Ia baru saja menyelesaikan dua pertemuan virtual dengan tim keuangan dan bagian pengembangan proyek saat suara ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya. Pikirannya masih sibuk menyusun strategi kerja, jadi ia menjawab tanpa berpaling dari layar laptop.

"Masuk."

Pintu terbuka perlahan. Namun bukan suara dari salah satu staf yang ia dengar, melainkan aroma tajam dari sesuatu yang tidak biasa—aroma makanan panas, dibungkus rapi dengan kain dan wadah beraroma rempah. Dan saat ia akhirnya menoleh, Hafiz nyaris kehilangan kata-kata.

Airin.

Berdiri di depan pintu dengan senyum manis, wajahnya dirias ringan, rambut diikat rapi, dan di tangannya tergenggam kotak makan berukuran sedang.

“Hai,” sapa Airin pelan. “Aku bawa makan siang.”

Hafiz berdiri perlahan, mencoba mencerna pemandangan yang ia lihat. Beberapa detik ia hanya diam menatap Airin, lalu mengerutkan kening.

“Kamu ke sini?” suaranya datar.

“Iya dong. Kebetulan tadi lewat, terus kepikiran kamu belum makan siang. Aku masak sendiri,” jawab Airin sambil tersenyum bangga, lalu berjalan masuk tanpa menunggu izin lebih lanjut.

Hafiz memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Terlalu percaya diri. Terlalu lancar.

Dan disitulah ia mulai merasa tidak nyaman. Karena ia tahu pasti satu hal, Airin tidak bisa masak.

Sejak kecil, Airin selalu menghindar dari urusan dapur. Dulu, saat keluarga mereka berkumpul, Airin lebih senang duduk membaca majalah Fashion atau bercanda di taman belakang. Bahkan saat remaja, Airin pernah mengaku langsung pusing melihat minyak panas atau bau bawang.

Kini tiba-tiba dia muncul dengan bekal "buatan sendiri"?

Hafiz duduk kembali, matanya tidak lepas dari Airin yang kini meletakkan kotak makan di atas mejanya.

“Aku masak ayam kecap, tumis sayur, sama sambal tomat. Nggak terlalu pedas, kok. Aku ingat kamu nggak suka yang terlalu menyengat,” kata Airin penuh percaya diri.

Hafiz menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia memandangi Airin lama, tidak membalas senyum itu.

“Kenapa kamu tiba-tiba ke sini, Airin?”

“Ya aku bilang tadi, mau nganterin makan.”

“Kamu yakin ini alasan utamanya?”

Airin menatap Hafiz sejenak. Lalu tertawa kecil, canggung. “Kamu ini curigaan banget. Memangnya salah kalau teman masa kecil pengen sesekali perhatian?”

“Kalau kamu teman masa kecil biasa, mungkin nggak salah. Tapi kamu itu perempuan yang tadi malam bilang nggak setuju dengan rencana perjodohan kita. Kamu bilang kamu juga nggak tertarik, bukan?”

Airin terdiam. Senyum di wajahnya perlahan menghilang.

Hafiz mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun tapi tegas.

“Sekarang kamu datang ke kantor. Bawa makanan, ngaku masak sendiri. Tapi aku tahu kamu benci dapur. Jadi, Airin... sebenarnya kamu ini lagi main sandiwara apa?”

Airin membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar dalam beberapa detik. Matanya tampak berkedip lebih cepat. Lalu ia tersenyum lagi, kali ini tipis—dan ada sedikit getar di ujung bibirnya.

“Jadi kamu ingat, ya?” gumamnya.

“Tentu aku ingat,” kata Hafiz pelan. “Aku ingat siapa kamu sejak dulu. Dan aku juga tahu kamu itu bukan tipe orang yang bisa berpura-pura. Jadi kenapa sekarang?”

Airin menghela napas. Ia berdiri dan berjalan pelan ke arah jendela besar di sudut ruangan, memandangi jalanan di luar.

“Aku cuma…,” ia ragu. “Aku cuma mau mencoba jadi bagian dari hidup kamu lagi. Itu salah?”

“Kalau kamu bilang kamu suka aku, dari dulu... ya, aku ngerti. Tapi pura-pura nggak suka dan kemudian muncul begini, itu yang aku nggak bisa pahami.”

Airin membalikkan badan. Tatapannya lembut, tapi kini tak lagi penuh topeng.

“Aku takut kamu menolakku kalau aku tunjukkan bahwa aku masih punya rasa. Aku malu, Hafiz. Dulu kita dekat, tapi aku tahu kamu nggak pernah menganggapku lebih dari teman. Aku tahu kamu cuma menghargai aku sebagai anak dari teman orang tuamu.”

Hafiz menatapnya lama. “Dan sekarang kamu berpikir, dengan ikut rencana Mama dan Papa, kamu bisa masuk dalam hidupku lewat pintu belakang?”

Airin menunduk. “Awalnya iya. Tapi setelah ngobrol sama kamu tadi malam… aku sadar kamu udah punya orang lain di hati kamu. Tapi tetap aja, rasanya susah untuk ngelupain gitu aja.”

Hafiz berdiri, menghampiri Airin. Ia berdiri beberapa langkah darinya, memberi ruang.

“Airin, kamu cantik, pintar, dan orang yang baik. Tapi kamu harus tahu, rasa itu nggak bisa dipaksa. Kamu layak dicintai oleh seseorang yang benar-benar memilih kamu. Bukan karena kebetulan masa kecil. Bukan karena orang tua kita sahabatan.”

Airin mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu.

“Aku tahu,” katanya pelan. “Dan aku akan mundur. Tapi aku cuma minta satu hal.”

“Apa?”

“Kalau nanti kamu dan Serena bersama, jangan bikin dia ngerasa seperti orang yang merebut sesuatu. Karena aku yang salah, aku yang terlalu berharap.”

Hafiz mengangguk pelan.

“Terima kasih karena kamu bisa bicara jujur. Aku juga minta maaf kalau selama ini aku jadi terlalu... diam.”

Airin tersenyum kecil. “Kamu selalu terlalu tenang, Hafiz.”

Mereka tertawa kecil bersama. Lalu Airin mengambil tasnya kembali, menatap Hafiz sekali lagi dengan tatapan yang lebih damai.

“Kalau gitu... aku pulang dulu. Dan soal makanan ini... sebenarnya bukan aku yang masak. Aku pesen catering dari sahabatku, dan pura-pura aja itu buatan sendiri.”

“Pantas,” kata Hafiz sambil terkekeh. “Tapi setidaknya kamu jujur sekarang.”

Airin berjalan ke pintu, membuka perlahan.

“Semoga Serena tahu, betapa beruntungnya dia nanti,” ucapnya sebelum keluar dan menutup pintu.

Hafiz berdiri sendiri di tengah ruangan. Ia menatap kotak makan itu sebentar, lalu berjalan ke jendela. Angin siang berhembus pelan. Rasanya seperti satu simpul beban dalam hidupnya mulai terlepas.

Kini satu langkah lagi, bicara jujur pada Serena. Sebelum ia kehilangan kesempatan untuk selamanya.

.

Udara siang di dalam kantor tak sepanas di luar, tapi suasana di ruang Divisi Umum terasa hangat bukan karena suhu—melainkan karena topik hangat yang sedang ramai diperbincangkan.

“Mbak, serius loh itu cewek cantik banget! Tadi aku lihat langsung pas keluar dari lift. Pakai dress putih tulang, rambutnya disanggul, cantiknya kayak model!” Fifi nyaris tak bisa menyembunyikan semangatnya saat menceritakan pertemuan singkatnya dengan Airin.

Mereka pernah melihat waktu di acara ulang tahun perusahaan waktu itu, tapi dari jauh bukan dari dekat. Kalau sekarang Fifi melihatnya dari dekat.

“Iyaaa, iya! Aku juga lihat pas dia lewat depan pantry. Siapa namanya? Airin, ya? Katanya sih temen kecilnya Pak Hafiz?” sahut Mbak Rina yang memang paling hobi menyebar gosip, apalagi yang berkaitan dengan manajemen atas.

Andra dan Jaja hanya senyum-senyum, menikmati teh hangat sambil sesekali saling lempar pandang. Sepertinya mereka juga tertarik, tapi cukup tahu diri untuk tidak ikut membakar situasi.

Serena duduk di meja kerjanya, mencoba fokus ke dokumen yang terbuka di layar komputer, meskipun pikirannya sulit lepas dari percakapan yang terdengar jelas dari meja sebelah.

“Dan tadi tuh katanya dia bawain makanan buat Pak Hafiz, loh! Bawain makanan ke kantor? Hello, udah kayak istri resmi aja,” kata Fifi sambil berdecak, nadanya penuh rasa tak percaya dan sedikit iri.

“Jangan-jangan… benar soal gosip mereka tunangan.?” Mbak Rina ikut menimpali, suaranya sedikit dikecilkan seolah sadar ia mulai masuk ranah sensitif.

Serena masih diam. Tangannya menggenggam mouse, tapi kursornya hanya berpindah-pindah tanpa arah. Ia berusaha tetap tenang, meski hatinya mulai mengeras pelan-pelan. Setiap kata yang meluncur dari mulut Mbak Rina dan Fifi seperti peluru kecil yang menembus pikirannya—menambah ketidakpastian yang sudah sejak semalam menghantuinya.

Dan semuanya terasa semakin nyata sekarang. Airin.

Perempuan yang malam itu berdiri di samping orang tua Hafiz. Perempuan yang terlihat begitu serasi bersama mereka. Perempuan yang kini bahkan datang ke kantor Hafiz membawa bekal makan siang.

“Eh, Ren… kamu kok diam aja dari tadi?” Fifi tiba-tiba menoleh ke arah Serena, menyadari bahwa satu-satunya yang belum bersuara adalah gadis yang duduk di sudut ruangan itu.

Serena menoleh pelan, berusaha tersenyum, meskipun senyum itu terasa getir di bibirnya.

“Nggak, aku cuma dengerin aja,” katanya singkat.

“Ya tapi kamu kan sering bareng Pak Hafiz, masa nggak tau apa-apa sih?” MBak Rina menimpali dengan alis terangkat.

“Bareng kerjaan, Mbak,” jawab Serena, masih dengan nada tenang. “Kalau urusan pribadi, aku nggak pernah tanya. Lagian itu urusan atasan, ya nggak?”

Fifi tertawa kecil. “Iya juga sih, kita siapa sih sampai tahu urusan cinta mereka.”

Andra tiba-tiba bersuara, memotong obrolan dengan nada bercanda yang berusaha menetralisir.

“Aku sih yakin, cowok sekeren Pak Hafiz mah bebas pilih. Tapi ya semoga pilihannya baik hati lah, jangan cantik doang.”

“Bener tuh,” sahut Jaja. “Soalnya cantik doang nggak cukup buat nemenin hidup. Yang sabar dan tulus tuh lebih susah dicari.”

Ucapan itu seperti tamparan lembut bagi Serena. Ia menunduk, pura-pura memeriksa catatan kerja di buku kecilnya.

Sesaat kemudian, suasana ruangan mulai kembali normal. Mbak Rina dan Fifi kembali ke tugas masing-masing meski masih saling berbisik pelan. Tapi bagi Serena, ketenangan itu hanya di permukaan. Hatinya seperti disiram air es dan dibakar sekaligus.

Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap layar komputernya yang tetap kosong.

Entah kenapa... walaupun ia tahu dari awal tidak ada hubungan istimewa antara dirinya dan Hafiz, tetap saja kenyataan bahwa ada "orang lain" di sekeliling laki-laki itu membuat hatinya perih.

Serena menoleh ke jendela kecil di sisi ruangan. Langit siang tampak sendu, seolah ikut merasakan gundah yang tak bisa dibagi ke siapa-siapa.

Dan di dalam dirinya, satu suara berbisik pelan: “Mungkin aku memang harus berhenti berharap.”

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!