NovelToon NovelToon
Menuju Tenggara

Menuju Tenggara

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Karir / Persahabatan / Cinta Murni / Bad Boy
Popularitas:19.6k
Nilai: 5
Nama Author: nowitsrain

Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.

"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.

Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 23

Setelah puas berbelanja, Selena merengek minta diajak makan di Lontong Balap Garuda Pak Gendut. Tapi karena terlalu ramai dan antreannya panjang, Kafka yang sudah lelah akhirnya membuat keputusan sepihak. Mereka makan di warung tenda pinggir jalan untuk sekadar mengganjal perut, mampir ke minimarket membeli air minum dan camilan untuk di hotel, lalu pergi ke tujuan terakhir mereka sebelum kembali.

Di sinilah mereka sekarang. Duduk di kursi-kursi plastik depan salah satu stand food court di North Quay. Ganesha tampak asyik nyemil sate Madura kelebihan kecap, Selana sibuk dengan Rujak Cingurnya, Kafka lahap menyantap nasi goreng ekstra pedas pilihannya, sementara Tenggara sibuk melamun sambil memandangi kapal-kapal yang bergerak pelan di kejauhan. Nasi goreng di hadapannya hanya disentuh sedikit. Sendoknya bahkan masih mengilat di pinggir piring. Tatapannya kosong, seolah pikirannya sedang berkelana ke tempat lain.

Angin laut berembus pelan, menyibak poni yang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Ia tetap tak bereaksi. Bahkan ketika suara pengamen jalanan terdengar samar di belakang mereka, Tenggara masih dalam mode diam total. Fokusnya hanya tertuju pada laut dan kapal yang mulai menjauh, tenggelam di batas cakrawala yang mulai menggelap.

Dari tiga orang di sekitarnya, Ganesha menjadi satu-satunya yang menyadari hal tersebut. Gadis itu berhenti mengunyah, meletakkan tusuk sate yang masih berisi sepotong daging ke atas piring, lalu menatap Tenggara semakin lekat.

"Kak," panggilnya, "Kenapa?"

Suara halusnya cukup untuk membuat Tenggara tersentak. Lamunannya buyar. Dia tertarik keluar dari dunia imaji yang diciptakannya sendiri.

"Nggak apa-apa." Dari sudut matanya, Tenggara menangkap Kafka sudah melotot dengan pipi menggembung penuh makanan.

Konon katanya ada tiga momen ketika seseorang tak boleh diganggu. Yang pertama saat sedang tidur, yang kedua saat sedang di kamar mandi, dan yang ketiga adalah saat sedang makan. Berhubung Tenggara tidak goblok-goblok amat soal empati, dia memutuskan tak ingin merusak acara makan mereka dengan bicara yang tidak-tidak. Berbekal senyum sekadarnya dan mulai menyendok nasi goreng di piringnya, dia berharap Ganesha akan percaya dan berhenti bertanya.

Tetapi interupsi lanjutan justru datang dari arah lain. Selena yang sudah selesai dengan rujak cingurnya mendadak ikutan bertanya. Gadis itu bilang wajah Tenggara sedikit pucat. Matanya yang jeli juga menangkap eksistensi bulir-bulir keringat di area pelipis dan dahi.

Interaksi itu jelas menghasilan sesuatu yang tidak bagus. Kafka yang dongkol meninggalkan nasi gorengnya yang sisa sedikit. Sendoknya sedikit dibanting, membuat beberapa butir nasi terbang ke udara sebelum jatuh berhamburan ke tanah.

"Kenyang," katanya, matanya melirik antagonis. "Ayo balik."

"Kak Aga belum selesai makan," sela Ganesha.

Kafka memicing tak suka pada sang gadis. "Suruh siapa dari tadi diem doang? Emang dia sepenting itu buat kita nungguin dia sampai selesai makan?" ketusnya.

"Soe...." Selena ikut angkat bicara.

Mata Kafka terpejam selama beberapa detik. Napasnya susah payah diatur supaya emosinya ikutan tertelan kembali sebelum sempat dimuntahkan. Begitu matanya terbuka, satu-satunya objek yang dia sasar adalah Tenggara.

Tidak seperti yang sudah-sudah, Tenggara kali ini tak memprovokasi balik. Lelaki itu mengunyah dalam damai, seakan ocehan Kafka tidak memengaruhinya sama sekali.

"Oke," ujar Kafka pasrah. Dia yang sudah berdiri, terpaksa duduk kembali. "Makan pelan-pelan, gue tungguin."

Tenggara masih tidak menyahut. Dia terus menyendokkan nasi dan mengunyahnya perlahan. Sampai tinggal beberapa suapan, sendoknya diletakkan. Selembar tisu disambar dari meja, dipakai mengusap jejak-jejak minyak di permukaan bibirnya.

"Ayo balik."

"Minum dulu." Sebotol air mineral disodorkan oleh Ganesha.

Tenggara menerimanya, tetapi hanya digenggam tanpa setetes pun ditenggak. "Ayo, keburu gelap," ajaknya.

Ganesha dan Selena kompak berdiri, sementara Kafka malah diam di tempat duduknya dengan kepala mendongak tinggi. Dia menatap Tenggara dengan saksama. Otaknya mulai menerka-nerka apa gerangan yang sedang direncakan oleh lelaki itu dengan mendadak bersikap kalem dan sok mellow begini. Oh, tidak, tidak. Jangan suruh Kafka positif thinking. Dia tidak bisa, kalau orangnya adalah Tenggara.

"Mana kunci mobilnya, gue aja yang nyetir."

Saat pertanyaan itu mengudara, barulah Kafka bangkit dari duduknya. Masih dengan kesongongan yang paripurna, dia berjalan melewati Tenggara. "Nggak perlu, gue nggak percaya sama lo." Lalu dia mengayun langkah lebar. Kali ini tidak repot menggandeng Ganesha dan Selena. Bersama Tenggara, dia tinggalkan keduanya.

......................

Mungkin semesta memang sudah mengatur segalanya sejak Kafka terpaksa memesan dua kamar tipe deluxe dengan satu king bed masing-masing untuk dirinya dan Selena. Padahal kalau ada pilihan standard room dan bisa dipesan, setidaknya dia akan punya alasan untuk mengusir Tenggara pulang. Agar lelaki itu tidak kekeuh nimbrung di acara liburan kali ini.

Tapi apa mau dikata? Gabah sudah menjadi padi, lalu sekarang nasinya telah dimasak menjadi nasi. Mau menendang bokong Tenggara sampai tubuhnya terguling-guling di lantai pun tidak ada guna. Liburan menyenangkannya sudah rusak dan kini tinggal perasaan dongkol serta lelahnya saja.

Satu hal yang mungkin masih bisa Kafka syukuri hanyalah soal preferensi lampu tidur Tenggara yang sama dengan dirinya. Jadi mereka tidak perlu ribut dulu memperdebatkan akan tidur dengan lampu menyala atau mati.

Kafka dengan cekatan menggeser tombol dimmer di samping lampu baca, menurunkan intensitas cahaya sampai ruangan terasa hangat dan remang-remang. Cahaya lembutnya cukup menerangi tanpa membuat matanya terasa silau, pas untuk membangun atmosfer nyaman sebelum pergi tidur.

Di atas ranjang, dia berbaring di tepi satu dan Tenggara di tepi yang lainnya. Di tengah-tengah mereka teronggok empat bantal yang disusun rapi, ditata sedemikian rupa untuk menjadi penghalang agar tidak ada yang kelewat batas. Kafka menatap lurus ke langit-langit kamar, kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Gue nggak ngerti kenapa Ganesha bisa naksir mampus sama orang kayak lo." Dia memulai pembicaraan.

Tenggara tidak mengalihkan pandangan dari set televisi di hadapan mereka yang padam. Sama seperti Kafka, kedua lengannya terlipat di depan dada dengan posisi tubuhnya yang setengah rebah. Selimut menutupi hanya sebatas pangkal paha.

"Gue juga nggak ngerti kenapa lo pura-pura naksir Ganesha padahal sebenernya enggak."

Bibir Kafka tertinggal setengah terbuka. Dengan gerak dramatis, dia menoleh ke arah Tenggara.

"Lo sendiri yang nuduh gue naksir dia," elaknya.

Tenggara tersenyum simpul. "Dan lo mengiyakan," katanya. Perlahan, dia menoleh. "Malam itu gue kira lo bener-bener bakal renggut Ganesha. Tapi tiba-tiba gue sadar kalau orang yang lo taksir itu adalah Selena."

"Ck!" Kafka berdecak keras, kembali kesal karena seperti baru saja ketahuan berbuat tindak kriminal. Tapi tentu saja dia tidak bisa mengaku dengan mudah, jadi dia mengelak, "Sok tahu banget. Lagian, orang kayak lo ini tahu apa sih soal perasaan? Ditaksir sama cewek selama sembilan tahun aja lo nggak peka, sok-sokan mau baca perasaan orang lain."

Seperti habis mendengar lelucon, Tenggara tertawa pelan. "Nggak perlu jadi manusia peka buat tahu kalau ada sesuatu yang udah berubah antara lo dan Selena," ujarnya. Pandangannya beralih lagi ke layar televisi, lalu melanjutkan, "Ada sesuatu yang terjadi malam itu, I guess?"

Merasa seperti sedang dikuliti, Kafka jadi rempong sendiri. Grasak-grusuk dia mengubah posisi tidurnya menjadi miring memunggungi Tenggara. "Udah mah berengsek, nggak peka, sekarang malah omongannya ngelantur kayak anggota DPR," cicitnya nyaris tak terdengar.

Tenggara kembali terkekeh, lalu hening seketika. Bayangan laut dan kapal-kapal yang bergerak pelan kembali mengusik pikirannya. Adegan itu membawa kilas balik perjalanannya di masa lalu. Menghadirkan satu ingatan pahit tentang perpisahannya dengan Rene.

Ditinggal saat sedang sayang-sayangnya itu tidak enak, jadi jangan salahkan Tenggara kalau sampai detik ini dia masih tidak bisa menerima perpisahan yang terjadi di saat hubungan mereka baik-baik saja. Labuan Bajo dan kapal-kapal pinisi seharusnya jadi saksi ketika Tenggara mengajukan lamaran dan menyematkan cincin ke jari manis Rene sore itu, tetapi sang pujaan hati malah memilih pergi dengan laki-laki lain.

"Jangan kasih tahu Ganesha."

Suara berat Kafka membuyarkan kilas baliknya. Tenggara menatap punggung lebar lelaki itu dengan dahi berkerut-kerut.

"Soal apa?"

"Gue sama Selena."

Bersambung.....

1
Dewi Payang
Para memang kesalnya si Kafka ke Tenggara😂
Dewi Payang
Ga senggol donk si Kafka, apa dia masih punya tenaga buat marahi lo😅
Dewi Payang
Biarin lecet, tar beli lagi ya Ga, yang pening bisa ikut nginap😂
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅
Dewi Payang
Ampun dijay😂
Dewi Payang
Ini maah Kafka cari ribut😅
Dewi Payang
Kafka dilawan😅
Zenun
mamam tuh Tengg. Puas banget dibalikin begitu
Zenun
ngapa emang? suka-suka dia atuh😁
Zenun
Nanti kalo lo balik lagi ke tengg, tu laki bakal ngulur lagi. Caya dah
nowitsrain: Yee khan
total 1 replies
Zenun
dengerin tuh baik-baik ya
nowitsrain: Au deh kupingnya kebuka apa enggak tu
total 1 replies
Zenun
kenapa kafka gak ditengah aja
nowitsrain: Mabok dia kalau di tengah
total 1 replies
Dewi Payang
Gwe suke gaya lo Kaf😅
Dewi Payang: Ya ampyun, tapi kali ini lo memang keren👍🏻👍🏻
nowitsrain: Kafka: Harus suka, lah, kan gue keren 😎
total 2 replies
Dewi Payang
Wih... kaya bapaknya Nesha aja🤭
Dewi Payang: Kaya begitu😅😅
nowitsrain: Iya ya, bapak kandungnya aja au deh tuh ke mana wkwk mungkin Tuhan kirim Kafka emang biar jadi sosok yang menggantikan peran bapaknya
total 2 replies
Dewi Payang
Lasaiiiinnnn......
Dewi Payang: 😂😂😂😂😂
nowitsrain: Kasian kasian kasiann
total 2 replies
Dewi Payang
Cakiiiiiit ya Ga.....
nowitsrain: Biar tau rasaaaaa. Itu mah belum seberapa
total 1 replies
Dewi Payang
Tak lama, fans gak lagi segalanya....
nowitsrain: Betulllll
total 1 replies
Dewi Payang
Wkwk😄
Dewi Payang
Bagus lo nyadar
Dewi Payang: Rasanya pengen hajar si Tenggara klo kumat² lagi🤭
nowitsrain: Kalau lagi sadar ya sadar, kalau kumat ya bikin orang lain naik darah
total 2 replies
Dewi Payang
Luar biasa carenya Kafka sama Selenna👍🏻
nowitsrain: Rill sahabat sejati
total 1 replies
Dewi Payang
Entah kenapa, aku berharap Ganesha jual mahal kali ini🙈
Dewi Payang: Harus ya Nes😔
nowitsrain: Ihhh harusnya yaaa.
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!