Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA30
Pagi itu, suasana meja makan terasa berbeda. Sarapan Alan dan Maya seperti menyimpan rasa, ada getar malu-malu yang sulit diungkapkan, namun perlahan mulai menghangat di antara sendok dan tatapan mata.
"Biasanya kamu cuma buat sarapan ringan. Kenapa sekarang langsung makanan berat begini?" tanya Alan perutnya terasa penuh, tapi tetap dalam nada suara yang menggoda.
Matanya memperhatikan Maya membereskan piring bekas mereka dengan tenang, tetapi Maya seolah tak peduli dengan tatapan Alan yang memancarkan perhatian lebih.
"Aku terlalu lapar," sahut Maya cuek, tanpa menatap Alan. "Energi aku benar-benar butuh makanan berat."
Saat Maya hendak bangkit untuk membawa piring ke dapur, Alan tiba-tiba menyambar lengannya. Tarikan itu membuat tubuh Maya tersentak, menempel pada dada Alan yang hangat.
"Harusnya tinggal pesan makanan aja, sayang!" rengek Alan manja, sambil menunjuk lehernya. "Lihat nih, aku jadi mandi nggak bersih. Banyak kuman nempel di leherku."
Alis Maya langsung berkerut. Ia menyipitkan mata, menatap tajam ke arah leher Alan.
"Terus itu jadi masalahku?" sahut Maya, menantang.
"Ya, tentu!" jawab Alan serius, tatapan matanya menyala, nyaris seperti psikopat yang sedang mengintai mangsanya.
Maya tiba-tiba membalas dengan menggigit leher Alan pelan, gemas. "Kau sudah besar, tapi tetap saja manja!" gerutunya.
"Aaa!" teriak Alan, berlebihan.
Keduanya terjatuh dari kursi makan. Gelak tawa mereka pecah dalam ruang makan yang biasanya sepi dan kaku.
"Alan, kamu seperti anak-anak!" Maya bangkit, wajahnya kesal tapi sulit menahan senyum.
"Kamu duluan yang mulai!" sanggah Alan, ikut bangkit sambil menjulurkan tangan.
"Tolong bantuin aku dong, bawahan harus patuh!" godanya.
Maya meraih tangan Alan, menariknya untuk berdiri. Namun tubuh Alan yang tinggi dan berat membuat Maya mengerutkan wajah, menahan beban dengan kedua tangan.
“Berat banget, sih!” keluh Maya dengan wajah cemberut yang lucu, ekspresinya berubah jelek tapi justru membuat Alan terkekeh pelan.
Namun bukannya langsung duduk kembali, Alan justru memeluk Maya dari depan. Mereka saling menatap dalam diam, ada jeda yang terasa manis dari aura pengantin baru.
"Aku bisa masak, jadi kenapa harus pesan?" ucap Maya lembut. "Orang tuaku mengajarkan, kalau ingin sesuatu, jalani prosesnya dulu. Supaya tahu caranya bersyukur."
Alan tersenyum. Kata-kata Maya menyentuh sisi dirinya yang jarang ia tunjukkan.
"Aku mau... sekali lagi," bisiknya genit, mulai mendekat dengan niat terselubung.
"Sebelum ke klinik, aku enggak akan pernah mau," tolak Maya cepat, tersipu malu namun tetap tegas.
"Ok, baiklah," Alan menarik napas. "Sekarang kita program penundaan hamil lagi, ya?"
"Benar?" Maya menatap bahagia, refleks tersenyum manis. Senyuman yang manis membuat Alan terpaku beberapa detik.
"Iya," Alan mengangguk mantap.
"Yes!" gumam Maya bahagia.
Alan menatap Maya dengan tatapan yang tak biasa. Ada kegundahan sekaligus kebingungan dalam matanya. Ia bicara dalam hati:
"Maya memang berbeda. Wanita lain biasanya terobsesi ingin hamil dariku, tapi dia... bahkan tidak berminat. Justru aku yang ingin punya anak darinya. Ada apa ini? Apa aku sudah benar-benar terjebak dengan perasaan ini, gawat?"
--
Mobil mewah milik Alan terparkir rapi di halaman luas sebuah kompleks yang cukup tenang. Di depan sebuah plang besar tertulis dengan jelas: Klinik Pratama, sebuah klinik kesehatan terpercaya yang bekerja sama dengan RVC, Klinik tersebut dikenal memberikan fasilitas pemeriksaan gratis bagi seluruh staf dan keluarga mereka.
Alan menggandeng tangan Maya dengan lembut saat keduanya melangkah masuk ke dalam klinik. Suasana dalam klinik cukup tenang dan profesional. Seorang perawat mempersilakan mereka menuju ruang praktik Dr. Erni, dokter spesialis kandungan yang telah cukup lama menangani pasien-pasien penting dari RVC.
“Selamat pagi, Bapak Alan,” sambut hormat Dr. Erni, senyumnya ramah dan hangat, “Silakan duduk.”
Maya menunduk sedikit sambil tersenyum malu-malu, sementara Alan membalas sapaan dokter dengan anggukan sopan.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak Alan?” tanya Dr. Erni sambil membuka file kosong di komputernya, bersiap mencatat.
Alan menoleh sebentar pada Maya lalu berkata dengan tenang namun yakin, “Dia kekasih saya, dan kami ingin melakukan penundaan kehamilan.”
Dr. Erni mengangguk ringan. “Maaf, apakah sebelumnya sudah pernah menggunakan metode penundaan?”
Maya cepat-cepat membuka tasnya dan menyerahkan selembar formulir berkas yang sudah diisi. “Sudah, Dok. Sekitar delapan bulan lalu, saya pernah konsultasi dengan dr. Shela,” ujarnya lirih, masih malu-malu.
Dokter Erni menerima formulir itu dan membaca dengan cepat. Ia kemudian menatap Maya sambil tersenyum lembut. “Mbak Maya belum memiliki anak sebelumnya?”
“Belum, Dok,” jawab Maya pelan, gelengan kepalanya disertai senyum tipis.
Dokter Erni mengambil napas, lalu mulai menjelaskan dengan hati-hati, “Saya bisa bantu. Tapi sebelum itu, saya perlu menjelaskan risikonya. Usia Maya masih muda dan tergolong sangat produktif. Jika terlalu sering menggunakan pil penunda atau program KB dalam waktu panjang, ada risiko rahim menjadi kering dan bisa menyulitkan proses kehamilan di kemudian hari.”
Maya menoleh sekilas pada Alan, lalu cepat-cepat menjawab dengan suara mantap, “Enggak apa-apa, Dok. Ini hanya untuk sementara waktu saja.”
“Betul kan, sayang?” tambahnya sambil menyikut pelan lengan Alan, lalu menggenggam tangan pria itu erat-erat. Ekspresinya riang, bahkan terlalu riang sampai membuat Alan terkekeh geli.
Alan menggelengkan kepala pelan, senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. “Sok tahu kamu, May,” gumamnya.
---
"Kalau begitu, baiklah. Sebelumnya saya akan periksa dulu kondisi rahim Maya, ya. Silakan ikut," ucap dr. Erni sambil memanggil dua suster pendamping untuk membantunya.
Maya pun diarahkan ke ruang pemeriksaan. Suasana ruangan sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang bekerja. Dr. Erni duduk tenang di kursinya, menatap monitor yang menampilkan visual kondisi rahim Maya.
"Rahimnya sangat subur, Pak Alan," ucap dr. Erni tanpa melepaskan pandangannya dari layar.
Alan ikut memperhatikan tampilan monitor. Wajahnya tampak puas. Ia kemudian menyodorkan ponselnya ke dr. Erni, memperlihatkan pesan yang baru saja diketik nya.
"Begini, Dok... bagaimana kalau pil penunda kehamilan itu diganti saja dengan vitamin biasa?" tulis Alan.
Dr. Erni membaca sekilas, lalu melirik Alan dengan senyuman "Bukankah kalian harusnya sepakat soal penundaan?"
Alan menghela napas pendek, lalu berbisik, "Demi kebaikannya," jawab Alan.
Suasana ruangan menjadi lebih hangat dan santai. Dr. Erni pun tersenyum. Di balik keseriusan topik yang dibicarakan, ia bisa melihat ada kasih sayang yang tumbuh dan saling menjaga, meski hubungan keduanya tertutup dan malu-malu.
"Tapi...Bagaimana jika kedepannya Maya hamil, lalu ia komplain atau menuntut saya?" bisik dr. Erni
"Soal itu, Biarkan menjadi urusan saya," Jawab Alan.
Dr. Erni mengangguk, masih dengan senyum geli. "Baiklah, Pak Alan."
Beberapa saat kemudian, pemeriksaan selesai.
"Sudah selesai," ucap dr. Erni.
Maya mengangguk kecil dan tersenyum manis. Maya membereskan penampilannya melangkah bergabung dengan Alan dan dr Erni.
Dr. Erni kemudian mengambil dua botol kecil dari laci, satu berisi vitamin biasa, satunya lagi hanya untuk formalitas. Ia menyerahkannya kepada Maya dengan penjelasan singkat seolah itu adalah obat penunda kehamilan seperti yang diinginkan Maya.
Maya mendengarkan dengan sungguh-sungguh, mengangguk di setiap penjelasan.
Sementara itu, Alan duduk di kursi di samping Maya, menatapnya penuh perhatian. Bibirnya mengulum senyum, berusaha menahan tawa kecil yang ingin meledak senang karena rencananya berjalan mulus mengelabui Maya.
Key itu seperti monster yang bisa menyerang kapan saja tidak peduli dia saudara atau keluarga.