Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA26
Malam itu, langit tampak mendung. Angin berembus lebih kencang dari biasanya, namun hujan seolah enggan turun menyirami bumi.
Cuaca itu seakan mencerminkan isi hati Maya, malam yang berat, penuh tekanan.
Maya terduduk di sudut kamar mandi, menggenggam ponselnya erat-erat. Suaranya bergetar saat berbicara kepada Maryam.
"Ibuk, ini bukan keputusanku. Aku hanya ingin melihat Bapak tetap hidup bersama kita... dan Roy bisa kuliah seperti teman-temannya...Maya nggak punya pilihan lain."
Di sisi lain layar, Maryam dan Roy hanya membisu. Keduanya mendengarkan setiap kata Maya dengan pandangan kosong dan hati yang remuk.
"Terserah kamu lah, May," Suara Maryam lirih, nyaris tenggelam oleh sesak di dadanya. Ia menyerahkan ponsel itu kepada Roy dengan wajah lesu, menyimpan beban yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Maryam hanyalah seorang ibu dengan harapan sederhana, ia ingin melihat putri kebanggaannya itu menikah dengan layak, di desa mereka sendiri, di hadapan keluarga dan tetangga. Bukan diam-diam, bukan sembunyi-sembunyi.
"Ibuk! Ibuk masih dengar suara Maya kan?" suara Maya meninggi, sedikit panik.
"Ibu udah masuk kamar, Mbak,” jawab Roy pelan.
Hening sesaat. Lalu Roy bicara, suaranya dalam dan sendu.
"Mbak, Roy nggak apa-apa kok, kalau harus batal kuliah."
Maya menggeleng pelan, meski Roy tak bisa melihatnya.
"Mbak ini sedang terjebak, Roy..." bisik Maya Matanya kosong, bibirnya kelu.
Tiba-tiba, ketukan terdengar dari luar pintu.
"Nona Maya, Anda sudah terlalu lama di kamar mandi. Pernikahan akan segera dimulai. Mohon kerja samanya dengan kami," seru sang penata rias dari luar yang sudah bosan menunggu Maya.
"Iya, sebentar!" saut Maya pelan dari dalam kamar mandi, ia menepis air matanya yang tidak bisa berhenti.
Suasana sempat Hening. Tidak ada perkataan dari dua adik kakak itu, selain hanya detak waktu yang terasa mencekam.
Namun Maya belum memutus sambungan ponselnya. Ia menarik napas panjang, lalu kembali berbicara, kali ini dengan suara yang lebih tegas, menahan gemuruh yang nyaris pecah di dada.
"Enggak lama lagi kamu akan jadi mahasiswa di kampus terbaik. Kau boleh pilih yang mana saja, Roy!"
Roy diam namun menghela nafas berat, ia ingin menyampaikan bawa mbaknya tidak perlu sejauh itu berkorban. Tapi sepertinya nasi sudah menjadi bubur.
"Mbak cuma berharap kamu jadi salah satu dari jutaan anak laki-laki yang paham arti pengorbanan seorang kakak dan orang tua. Jangan sia-siakan kesempatan ini, ya. Raih masa depanmu yang lebih baik dari Mbak, demi harapan Bapak dan Ibuk."
Percakapan berakhir di situ, tanpa sepatah kata pun dari Roy.
Air mata Maya kembali mengalir, membasahi pipinya yang dingin. Hatinya penuh sesal, ada penyesalan yang tak berujung. Ia tahu, Roy dan ibunya kecewa berat mendengar kabar pernikahan sirinya dengan Alan. Tapi tidak ada kata marah dari mereka, namun Maya bisa merasakannya.
Ada rasa malu yang mengendap di hati Maya. Malu karena telah membiarkan dirinya jatuh… pada sosok seperti Alan.
Maya menarik napas dalam-dalam, mencoba menelan semua emosi yang masih berserakan. Ia membasuh wajahnya, lalu mengelap sisa air mata yang tersisa. Dengan langkah berat, ia membuka pintu kamar mandi.
Tanpa banyak kata, Maya digiring menuju meja rias. Ia duduk diam menghadap cermin besar, membiarkan wajahnya disentuh alat make-up dan sorotan lampu. Wajah yang sebentar lagi harus terlihat bahagia padahal hatinya sedang retak.
Tidak sulit bagi Jacob, asisten kepercayaan Alan, untuk mengatur pernikahan siri malam itu. Ia hanya perlu menghubungi penyedia jasa nikah siri. Cepat, sederhana, dan murah bagi Alan yang seorang konglomerat.
Di ruangan lain, Key mengamati Alan mengenakan jas pernikahannya fokus menatap cermin.
"Aku harap kau cukup memakai Maya selama dua bulan saja. Waspadalah, wanita seperti itu hanya terlihat sederhana, tapi otaknya sangat licik!" gumam Key dingin, sombong dan sinis menilai Maya.
Alan diam tak bergeming. Ia bahkan tak menoleh kepada Key. Pandangannya terpaku pada jas pengantin yang terus ia rapikan, seolah ada lipatan tak sempurna yang menyita seluruh perhatiannya.
Meski hanya pernikahan siri, Alan tetap memilihkan kebaya akad berwarna putih nan mewah untuk Maya, bertabur detail halus yang membuatnya tampak seperti pengantin sejati, sehingga Maya terlihat menawan.
Langkah Maya pelan tapi pasti, menyusuri lorong menuju bangku tempat Alan duduk. Gaunnya menjuntai anggun, setiap geraknya menyita perhatian. Sorot mata siapa pun yang hadir terhenti memandangnya, terpukau oleh parasnya, meski badai tengah berkecamuk di hatinya.
Alan tersenyum tipis. Wajahnya bercahaya. Sementara Key begitu muak memandang tingkah Maya yang menurutnya terlalu naif.
Pernikahan pun berlangsung. Ringkas. Tertutup. Hanya dihadiri oleh penghulu jasa nikah siri, Jacob, dan Key.
Pukul 23.00 WIB.
Malam semakin gelap, Apartemen Alan kembali sepi dan rapi.
Segalanya telah selesai. Maya duduk di depan cermin, sambil menyisir rambutnya yang baru saja ia keringkan. Alan berdiri di belakangnya, menatap wajah cantik Maya lewat pantulan cermin.
Sorot matanya tajam dan penuh gairah.
Maya membalas tatapan itu dengan senyuman, sambil bergumam dalam hatinya;
"Aku harus buat dia cepat bosan padaku."
Maya terus menebar senyum manis kepada Alan, berusaha menampilkan sisi lembut dan anggun yang selalu ia miliki, menyembunyikan luka dan kekecewaan.
Dengan gerakan perlahan namun penuh keyakinan, ia berdiri. Lalu, tanpa ragu, melingkarkan lengannya ke leher Alan manja, menggoda, seolah ingin mencairkan dingin yang sedari tadi membungkus pria itu.
"Aku sudah siap, Tuan Alan," bisiknya lembut, memeluk tubuh Alan. Nada suaranya hampir terdengar seperti gumaman pengantin yang sungguh jatuh cinta.
Dua bola mata Alan tampak gelisah, senyumnya kaku. Alan tidak bisa merasakan kehangatan pelukan Maya yang dulu.
Alan refleks mengangkat tubuh Maya, mendudukkannya di bufet rias. Ia mendekatkan wajahnya ke Maya.
"Kenapa kau memanggilku Tuan?" bisiknya.
"Apa salah?"
Alan mengusap pipi Maya dengan lembut, jemarinya menyusuri kulit wajahnya seolah ingin mengingat setiap lekuknya. Maya membalas dengan sentuhan ringan di dada Alan, tatapannya menggoda, penuh permainan.
Namun, gerak refleks Alan menangkap tangan Maya, menggenggamnya erat, seolah tak ingin dilepaskan lagi.
"Jangan pernah sembunyikan apa pun dariku," ucapnya pelan, mengancam penuh tekanan. "Aku tidak main-main, Maya. Tetaplah menjadi kamu… Maya yang aku kenal."
Tatapan Alan tajam, menusuk seperti panah. Tegas. Penuh hasrat. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam, obsesi yang tersembunyi di balik ketenangan wajahnya.
"Kenapa kau berkata seperti itu?" Maya tersenyum tipis, penuh makna. "Aku hanya kagum… karena aku sudah menjadi wanita kelima dalam hidupmu. Kamu hebat, sayang."
Ada nada sindiran yang dibungkus manis dalam ucapannya. Tatapan Maya tak sepenuhnya lembut, ada luka yang terselip, namun ia memilih untuk menyembunyikannya di balik senyum.
Alan menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan tenang, "Mungkin mereka memang bukan jodohku."
Tanpa memberi waktu untuk Maya merespons, Alan mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan. Langkahnya mantap menuju ranjang, tatapannya berubah lebih dalam bercampur rindu, kepemilikan, dan obsesi yang mulai memuncak.
"Sudah terlalu lama kau tidak bekerja untukku…" bisiknya serak di dekat telinga Maya. "Dan malam ini, aku cukup haus."
Ia mulai membuka kemejanya.
Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka akan menyatu sebagai pasangan suami-istri...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga