Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Tanpa Restu
Gedung pernikahan itu berdiri megah di tengah kota, dikelilingi pagar besi tinggi dan pohon-pohon beringin tua yang menjulang. Tapi tak ada tawa, tak ada haru. Hanya wajah-wajah datar yang hadir karena undangan, bukan karena cinta. Sebuah upacara hukum yang dirancang seperti bisnis. Formal. Dingin.
Langit di luar mendung, awan pekat menggantung seolah turut berduka atas sebuah ikatan yang tak berakar dari cinta. Angin sore berembus pelan, membawa aroma hujan yang menyesakkan. Seolah alam pun tahu bahwa hari ini bukan awal dari kebahagiaan, melainkan sebuah perang sunyi yang baru dimulai.
Xandrian berdiri di altar, gagah dalam setelan hitam dan dasi abu gelap. Bahunya tegap, tatapannya lurus ke depan, tapi tak seorang pun bisa menebak isi pikirannya. Wajahnya seperti batu: tak tergoyahkan, dingin, nyaris kejam. Di belakangnya, dua pengacara dan satu sekretaris keluarga mencatat setiap momen. Mereka bukan saksi cinta, tapi penjaga warisan.
Lalu pintu utama perlahan terbuka, dan semua mata menoleh.
Langkah kaki terdengar menyusuri lorong ruangan. Suara sepatu hak tinggi menggaung dalam keheningan. Dan di sana, berdiri Nadiara, dalam gaun putih sederhana tanpa renda atau pernak-pernik. Tak ada mahkota, tak ada hiasan mewah. Hanya dia, dengan wajah yang pucat namun mata yang menyala tegas. Setiap langkah yang diambil terasa seperti beban batu yang dipikul di dadanya. Ia bukan pengantin yang bahagia. Ia seperti seseorang yang berjalan menuju takdir yang tak bisa dihindari.
Ketika ia tiba di altar, mereka berdiri bersebelahan. Tapi tak ada tangan yang saling menggenggam. Tak ada tatapan. Bahkan hembusan napas pun terasa seperti silet yang mengiris ruang di antara mereka.
Lalu suara pendeta memecah keheningan.
"Saudara Xandrian Elvaro dan Saudari Nadiara Elvano, apakah Anda menyetujui pernikahan ini sesuai dengan syarat hukum yang telah diatur dalam surat wasiat Arvano Elvaro?"
Sunyi. Waktu seperti berhenti. Lalu
“Saya setuju,” jawab Xandrian, tajam, tanpa ragu.
Nadiara memejamkan mata sejenak, mengambil napas panjang. Dalam hati, ia mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya, pada mimpinya yang dulu ingin ia bangun di London.
"Saya juga," katanya akhirnya, pelan namun jelas.
Pena digoreskan. Tanda Tangan dibubuhkan. Notaris mengesahkan. Dan hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, mereka resmi menjadi pasangan suami istri di atas kertas.
"Selamat," ujar notaris datar. Tapi tak satu pun dari mereka yang tersenyum. Bahkan tepuk tangan pun tak terdengar. Yang ada hanya diam. Yang menggema hanyalah kesepakatan dingin dan takdir yang tak bisa dihindari.
Usai pernikahan, mobil hitam membawa mereka kembali ke rumah besar keluarga Elvaro. Sebuah mansion yang tampak megah di luar, tapi dingin dan hampa di dalam. Seperti museum warisan keluarga yang tak pernah benar-benar jadi rumah.
Tak ada resepsi. Tak ada pelukan selamat. Tak ada ciuman. Bahkan tak ada bunga yang ditabur.
Malam turun dengan cepat, membawa kesunyian yang menyesakkan. Rumah itu seakan menjadi labirin tak bernyawa.
Nadiara berdiri di depan pintu kamarnya, memandangi lorong panjang yang remang. Pintu lain di ujung koridor terbuka: kamar Xandrian. Cahaya dari dalam menyorot siluet tubuh pria itu. Pandangan mereka bertemu sejenak hanya sejenak.
"Kita sudah menikah. Tapi aku harap kamu tetap jaga jarak," kata Nadiara, suaranya rendah namun tajam, seperti pedang yang diselipkan di balik gaun pengantin.
Xandrian tak tersenyum. Tak juga tersinggung. Ia hanya mengangguk pelan. "Jarak itu bukan masalah, Nadiara. Yang berbahaya adalah kalau kamu ingin mendekat."
Itu bukan ancaman. Itu peringatan. Tapi juga pengakuan terselubung akan kegoyahan yang mulai tumbuh di antara mereka.
Nadiara menutup pintu kamarnya perlahan. Tapi malam itu ia tidak tidur.
Di balik dinding, Xandrian juga terjaga. Ia duduk di dekat jendela, menggenggam gelas berisi bourbon, menatap langit malam yang mulai diguyur hujan. Di balik kaca, pantulan wajahnya terlihat rapuh sesaat—tak seperti Xandrian Elvaro yang dikenal publik.
Ia telah menikahi Nadiara. Secara hukum. Tapi perasaannya justru makin kacau. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menghancurkan jarak. Tapi ada juga bagian yang takut. Takut jika perasaan itu nyata. Dan lebih takut lagi jika itu berbalas.
Sementara itu, di ruang bawah, seorang wanita paruh baya sedang menyusun sesuatu di balik layar.
Tante Mirana.
Dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, ia membaca ulang berkas-berkas legal dari kantor pengacara. Matanya penuh siasat.
Ia tidak pernah benar-benar ingin Nadiara menjadi bagian dari keluarga Elvaro.
Dan ia akan memastikan, bagaimanapun caranya, bahwa gadis itu tak akan bertahan lama dalam rumah itu.