Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. MENCARI KEADILAN UNTUK NAYA
"Aku harus menemukanmu bagaimanapun caranya. Aku sangat merindukanmu. Tunggu aku sayang.. Tunggu urusanku selesai.... dan aku akan menikahimu." ucapnya seraya meneteskan air mata.
* * *
Siang yang begitu terik...
Matahari seolah berada tepat di atas kepala. Bunyi klakson bersahut - sahutan seolah mengurai kepadatan lalu lintas kala siang itu. Asap kendaraan bermotor mengepul dengan begitu sempurna seolah ikut menyemarakkan polusi udara yang ada di tempat itu.
Dengan langkah letihnya, Danu Subroto berjalan menyusuri komplek ruko yang ada di tepi jalan raya. Satu persatu bank swasta ia datangi berharap ada secercah harapan untuknya mengajukan pinjaman demi menghidupi kedua cucunya.
Namun hasilnya nihil....
Tidak ada satu pun bank swasta yang mau memberikan pinjaman kepadanya. Semua asetnya telah habis ia jual untuk menutupi ganti rugi perusahaan dan juga tunggakan gaji karyawan yang belum terbayarkan. Dan kini yang tersisa hanya rumah yang ia tempati bersama Embun saat ini.
"Kemana aku harus mencari pinjaman? Bagaimana aku bisa menghidupi kedua cucuku? Aku membutuhkan uang yang sangat besar untuk kesembuhan Naya. Hingga tanpa kakek sadari dirinya sudah berada di tengah - tengah jalan raya yang panas itu.
Tiiinn.... tiiinn...
Suara klakson kendaraan memecahkan lamunan sang kakek. Ia pun terlonjak kaget. Di tengah kepanikannya, sebuah tangan terulur membantunya menyeberang dan menepi dari keramaian jalan raya itu.
"Apa kakek baik - baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya seorang pria dengan balutan kemeja berwarna navy. Diperiksanya dengan begitu teliti tubuh sang kakek tersebut.
"Aku baik - baik saja nak. Terima kasih sudah mau peduli dengan orang tua ini." ucap sang kakek dengan sudut matanya yang berair.
Pria itu tersenyum penuh kelembutan. Dituntunnya sang kakek menuju mobilnya yang terparkir di dekat halte bus. Ia pun bergegas mengambil minuman botol dari dalam mobilnya.
"Ini untuk kakek.. Kalau boleh tau, kakek mau kemana panas - panas begini?"
"Kakek mau mencari pinjaman nak, kakek harus menghidupi kedua cucu kakek. Tapi semua bank tidak mau menerima pengajuan kakek. Katanya usia kakek sudah melebihi batas umur melakukan pinjaman." ucap Kakek diiringi dengan nafas beratnya.
"Oh ya siapa namamu nak? Kamu pasti bukan asli orang sini kan?"
"Saya Wira kek. Saya Asli dari jakarta. Saya kesini karena ada beberapa hal yang harus diurus dirumah sakit." ucapnya dengan nada yang tegas.
"Kalau boleh tau usaha kakek bergerak di bidang apa? Mungkin saja kita bisa saling membantu kek."
"Usaha kakek tidaklah besar nak. Kakek hanya mempunyai perkebunan rempah dan TOGA." ucap Kakek dengan sorot matanya yang sendu.
Wira tampak terdiam seraya berpikir keras. Hingga tak lama kemudian sebuah ide terbesit dalam pikirannya.
"Mungkin aku bisa membantu kakek." ucapnya seraya tersenyum lebar.
Kakek tampak menyunggingkan senyumnya. Senyum kebahagiaan seorang kakek yang penuh harapan akan masa depan terbaik bagi cucunya.
"Aku akan membuka salah satu pabrik obat di kota ini. dan kakek bisa menjadi salah satu pemasok bahan baku di pabrikku nanti kek. Untuk modalnya, kakek jangan terlalu cemas. Biar nanti aku yang akan mengurusnya. Kakek kan lebih paham dan tahu betul daerah sini, jadi kakek urus saja gimana baiknya. Mungkin sesekali nanti aku akan mengunjunginya."
"Betapa tidak tahu malunya kakek saat ini ... Kita baru kenal tetapi aku sudah sangat merepotkanmu nak. Sudah minta bantuan juga masih meminta modal." ucap sang kakek dengan tawanya yang khas.
"Tidak masalah kek. Anggap saja kita ini keluarga. Bukankah persaudaraan itu lebih baik daripada permusuhan?" celetuk Wira dengan senyum ramahnya.
"Kakek tidak tahu harus berterima kasih seperti apa kepadamu nak? Seandainya kamu mau, kakek mempunyai dua orang cucu perempuan.. Dan kamu bisa memilih salah satunya." ucap kakek dengan canda tawanya.
"Aku ikhlas kek. Aku benar - benar tulus ingin membantu kakek. Tapi apa boleh aku meminta satu hal kepada kakek? Doakan aku selalu bahagia kek. Aku ingin mencoba bahagia mulai saat ini. Ingin belajar mengikhlaskan jalan takdir yang digariskan untukku." ucap Wira seraya menitikkan air mata.
"Tentu nak... Berbahagialah mulai sekarang. Semoga kelak kamu akan dilimpahi kebahagiaan yang sejati." Doa tulus sang kakek seketika membuat Wira terenyuh.
"Baiklah kek.. Aku akan pergi ke rumah sakit mengurus pasienku. Oh ya, ini kartu namaku. Kakek bisa menghubungiku kapan saja." Disodorkannya kartu nama tersebut kepada Kakek Danu.
"Aku pamit dulu kek." ucapnya seraya mencium tangan sang kakek dengan takzim.
"Dokter Wira Bhakti Arya Satria Wiguna. Nama yang bagus. Seandainya aku bisa menjodohkannya dengan salah satu cucuku. Pasti aku bisa merasa tenang dalam menjalani hidup." Kakek hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Tapi siapa yang harus aku jodohkan? Naya.. Tidak mungkin dokter itu mau dengan cucuku yang hamil dan sakit. Sedangkan Embun.. dia masih sekolah. Sudahlah.. Aku akan pulang terlebih dahulu dan mengatur semuanya." ucap sang kakek dengan senyum merekahnya. Secercah harapan baru akhirnya muncul juga dalam kehidupan kakek.
Akhirnya Wira meneruskan perjalanan ke rumah sakit tempat Naya dirawat. Hingga beberapa saat kemudian sampailah ia di Rumah sakit itu.
Tap.. Tap.. Tap..
Langkah kakinya semakin mantap memasuki lorong rumah sakit kala sore itu. Dengan berbekal sebuah rekam medis milik Naya, ia bergegas menuju ke ruang kepala yayasan rumah sakit tersebut.
"Permisi.. Apakah Tuan Rendra ada ditempat?" ucap Wira dengan nada datarnya.
"Maaf apa sebelumnya tuan sudah membuat janji?" tanya resepsionis dengan sopan.
"Bilang saja Putra Wiguna ingin berkunjung."
"Baik silahkan duduk dulu. Saya akan menghubungi Pak Rendra."
Akhirnya resepsionis itu menghubungi Kepala Rumah Sakit. Hingga beberapa saat kemudian, Wira dipersilahkan masuk ke dalam ruangan menemui Tuan Rendra.
CEKLEK..
Pintu terbuka dari luar...
Nampak Rendra yang sedang duduk di kursi kebesarannya sedang membenahi bajunya yang acak - acakan. Seorang wanita dengan baju kurang bahan, turun dari pangkuan Rendra. Tanda merah tercetak jelas di lehernya. Sesuatu yang tak layak untuk dipertontonkan di khalayak umum.
"Pergilah sayang.. Aku akan menemuimu di apartemen malam ini." ucap Rendra dengan nada sensualnya di telinga wanita itu.
"Ada perlu apa kamu jauh - jauh kesini?" ucap rendra seraya menyudut rokoknya.
"Wah hebat sekali.. Disini kau bersenang - senang dengan wanita, sedangkan anak buahmu di bawah bekerja dengan tidak kompeten sama sekali." ucap Wira dengan nada mengejeknya.
"Hidup cuman sekali bro.. Harus dinikmati.. Apalagi kau tau sendiri kan, aku tidak bisa melewati hari tanpa sentuhan wanita. Bagiku .. Hidupku hanya untuk wanita.
"Cobalah nikmati hidupmu.. Kau akan merasa lepas dan bebas saat wanita itu mengerang kenikmatan seraya menyebut namamu.." ucap Rendra dengan pikiran kotornya. Senyuman mesum jelas tercetak disana.
Dia adalah Rendra Adiwijaya. Teman Wira sewaktu di bangku kuliah dulu. Awalnya hidupnya baik - baik saja. Namun hanya karena ditinggal kekasihnya menikah, ia menjadi pemuja wanita seperti saat ini. Tiap hari yang dilakukannya hanyalah bercinta dan bercinta..
Dengan cepat Wira melemparkan hasil rekam medis Naya ke meja Rendra.
"Coba kamu cek detail rekam medis itu. Bagaimana bisa seorang wanita yang hamil dan mengalami trauma diberi surat rujukan ke rumah sakit jiwa?" ucap Wira dengan nada penuh penekanan.
"Dan lihat juga di catatan bawah, pasien diduga menganiaya perawat disini. Aku sudah mengamatinya 2 hari. Dan kau tau apa yang terjadi? Ia terjatuh dari tangga dan hampir saja keguguran. Dia juga tersiram sup panas, tapi apa yang terjadi? Ia tidak menangis dan merasakan apapun." ucap Wira dengan nada penuh amarah.
Rendra membuka dan membaca detail rekam medis itu. Matanya memicing, seolah melihat sesuatu yang janggal. Ia pun memencet telpon dan menyuruh memanggil dokter yang menangani Naya pada saat itu.
"Memang dia siapamu? Kenapa kau terlihat peduli sekali dengannya? Atau jangan - jangan kau yang sudah menghamilinya. Eehmm.. Aku mencium bau - bau orang kasmaran disini. Apa dia bakalan jadi tempat berlabuhmu yang terakhir?" tanya Rendra dengan tatapan penuh selidik.
"Dia pasienku sekarang. Aku tidak tega melihatnya.. " ucap Wira dengan tatapan sendunya.
Tok.. Tok.. Tok..
Masuklah seorang dokter dan dua orang suster wanita yang menangani Naya pada waktu itu.
Deg..... Ketiga wanita itu membulatkan matanya tatkala melihat Dokter Wira juga berada di ruangan tersebut.
"Pak Rendra memanggil kami?" ucap dokter wanita itu dengan suara yang bergetar ketakutan.
Rendra duduk dengan tegak di kursi kebesarannya dengan sorot matanya yang tajam. "Bukan aku yang memanggil kalian, tapi dokter Wira yang ada perlu dengan kalian bertiga." ucapnya dengan nada penuh ketegasan.
Wira pun berdiri dari kursinya. Berjalan mendekat ke arah mereka. Diambilnya hasil rekam medis milik Naya dan dilemparkan ke arah mereka.
"Jelaskan apa maksud dari rekam medis ini." ucapnya dengan nadanya yang dingin.
Suasana mendadak mencekam di ruangan itu. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari ketiga wanita itu. Hanya bunyi detak jam yang mengisi ruangan itu. Udara terasa pengap. Seketika asupan oksigen dalam ruangan itu seolah menipis dan nyaris habis.
"Maaf dokter Wira. Hasil rekam medis ini adalah asli. Naya memang melakukan penganiayaan kepada salah satu suster disini." ucap salah satu suster dengan ketakutan.
Rahang Wira mengeras. Sorot matanya yang tajam seolah mampu membunuh mereka secara perlahan. Dokter Wira mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
" Ini adalah bukti cctv keseharian Naya disana. Dan ini..
hasil rekam medis kemarin pagi.. "
"Kalian tau hasilnya apa? Dia tidak perlu rawat inap di rumah sakit jiwa. Naya hanya perlu ke psikiater. Dia hanya perlu didengarkan. Apa kalian tau dia sedang hamil. Tapi kalian malah dengan teganya mengirim ke rumah sakit jiwa. "Ucap wira dengan emosinya yang meledak - ledak.
"Maaf tuan.. Maafkan kami." ucap salah satu suster itu seraya bersujud di kaki dokter Wira. Tubuhnya bergetar penuh ketakutan. Ia tidak menyangka tindakannya bakal ketahuan. Niat awalnya hanya ingin memberi pelajaran kepada Naya, namun berakhir dengan karirnya yang bakal terancam.