Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Pertama Dari Orang Kedua.
Sudah lewat tengah hari saat telepon itu masuk. Nama "Ibu mertua" muncul di layar ponsel. Rania menatapnya tanpa ekspresi, tapi dadanya seperti diremas. Ia tahu, panggilan itu jarang membawa kabar baik untuknya.
Perlahan, ia geser layar.
"Halo, Ma..."
"Rania, besok kan ulang tahun Ibra. Kamu kan tahu, keluarga kita biasanya ngumpul di rumah kamu. Tolong siapkan makanannya, ya. Jangan sampai kami datang, tapi kamu malah nggak siap apa - apa."
Rania menarik napas panjang. Tangannya menekan pelipis yang berdenyut sejak pagi.
"Ma, saya minta maaf. Mbak sudah nggak kerja di rumah, tadi Niko bilang dia dipecat. Terus saya juga lagi nggak enak badan, dan..."
Tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara dari seberang sudah memotong cepat.
"Rania... kalau kamu memang sayang sama Ibra, ya harus mau berkorban. Namanya juga Ibu. Jangan karena alasan - alasan kecil kamu jadi lupa tanggung jawab. Saya dulu juga begitu, masak sendiri, urus anak sendiri, ngurus suami sendiri. Kamu pikir saya nggak pernah capek?"
Rania memejamkan mata. Ia diam, menahan gejolak yang naik ke kerongkongan.
"Pokoknya saya minta semuanya rapi besok. Jangan bikin malu."
Lalu panggilan terputus. Tanpa pamit, tanpa mendengar jawabannya.
Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk.
"Ini ya menunya: Tumpeng nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya, ayam bakar bumbu madu, urap sayur, sambal kelapa jangan lupa, telur pindang, perkedel kentang, es buah yang segar dan jangan terlalu manis, camilan buat anak - anak, yang enak."
Rania menatap layar ponsel itu cukup lama. Ponsel itu seakan berubah jadi benda asing di tangannya.
Tangannya bergetar.
Kepalanya tertunduk.
Ia sedang lelah.
Ia sedang sakit
Ia bahkan belum sempat minum obat apa pun sejak semalam.
Tapi hari tak memberinya waktu untuk patah.
Dengan tubuh yang nyaris roboh, ia berjalan ke dapur. Membuka lemari satu per satu, memeriksa apa yang masih tersisa. Beras tinggal setengah toples. Telur dua butir. Minyak habis. Santan tak ada. Sayur tak sedikit pun tersisa di kulkas.
Ia terduduk pelan di lantai, di depan lemari bumbu. Mengusap wajah dengan kedua tangan. Lalu memeluk lututnya. Sunyi.
Di lantai dapur yang dingin, Rania bergumam sendiri. "Aku ini apa, sebenarnya..."
Tak ada yang menjawab.
Tak ada yang mendengar.
Suara langkah terdengar dari arah ruang tengah. Rania tidak menoleh. Ia masih duduk di lantai, memandangi sisa bawang merah yang sudah mulai mengering di sudut lemari. Tangannya masih memeluk lutut, tubuhnya terasa berat dan pegal, tapi tak sebanding dengan perih yang terus menumpuk di dada.
Tiba - tiba beberapa lembar uang seratus ribuan dilempar begitu saja ke lantai, tepat di depan kaki Rania.
Rania menoleh. Uang itu sedikit tersebar, karena caranya sampai di lantai... dilempar tanpa hati... membuat Rania menunduk lagi.
"Buat belanja," kata Niko. Ia tidak duduk. Tidak menatap istrinya. Hanya berdiri bersandar di pintu, memegang ponselnya.
"Buat apa?" Rania bertanya pelan.
"Untuk ulang tahun Ibra. Biar kamu bisa masak makanan yang Mama minta."
Rania menatap uang itu. Lama. Lalu suaranya lirih menyusul. "Lalu... Untukku?"
Niko mengangkat wajah. Sejenak ia diam, sebelum akhirnya menjawab enteng, "Kamu nggak dapat uang bulanan bulan ini."
Dunia seakan memutar pelan di kepala Rania. "Kenapa?" Tanyanya datar.
"Kamu lupa? Gaji kamu dari kantor dipotong buat ganti rugi proyek. Dan semua pengeluaran rumah ini sudah aku atur, jadi untuk apa kamu megang uang? yang irit lah..."
Kalimat itu tajam, bukan karena nadanya tinggi, tapi karena artinya dalam. Rania tak menyahut. Ia hanya menunduk. Uang di lantai tetap tak tersentuh.
Niko mendekat, lalu mengambil kunci mobilnya di meja, melirik jam tangan.
"Aku mau pergi sebentar. Jangan lupa belanja, ya. Ibra nunggu - nunggu banget ulang tahunnya kali ini."
Setelah Niko pergi, pintu tertutup pelan.
Rania tetap duduk di lantai dapur. Sunyi.
Matanya terpejam. Dada naik turun. Dalam diam, ia menelan ludahnya sendiri yang pahit.
Tangannya meraih uang itu. Ia genggam erat, kuat sekali... seolah ingin meremas semua rasa tertelan yang tak bisa ia luapkan pada siapa pun.
Hari itu berjalan seperti biasa. Tapi segalanya terasa menyesakkan. Ia lelah secara fisik. Tapi lebih dari itu, ia lelah tidak dihargai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malamnya, saat pulang dari pasar... belanja keperluan ulang tahun Ibra, Rania menemukan kamarnya dan Niko terkunci dari dalam. Lampu dari bawah celah pintu menyala temaram. Ada rintihan dari dalam, lalu desahan - desahan panas.
"Ah....Wulan.... Ah sayang... "
"Ssshhh... Niko, terus Nik... aku udah mau keluar..."
Tangan Rania gemetar saat menekan gagang pintu. Tapi entah kenapa ia tak punya kekuatan untuk membukanya. Ia tahu apa yang terjadi di kamarnya sendiri, ia tahu... seprai bermotif bunga itu kembali menjadi alas persetubuhan suaminya dan perempuan lain.
Tubuh Rania membeku di lorong. Ia tidak mengetuk. Tidak berteriak.
Ia hanya.... berjongkok di depan pintu.
Seperti orang bodoh.
Kedua telapak tangannya ia tekan di telinga, sekuat tenaga. Tapi suara itu tetap menembus.
Napasnya pecah. Ada rasa ingin memukul pintu itu, memaki mereka. Tapi ia tak sanggup.
Hanya menunduk. Menangis diam - diam di lantai rumahnya sendiri. Sampai akhirnya tubuhnya gemetar.
Ia bangkit dengan lutut yang goyah, meraih kunci mobil. Tidak tahu mau kemana.
Hanya ingin pergi sejauh mungkin dari suara itu.
Malam itu ia mengendarai mobil tuanya tanpa arah. Kota terasa asing. Jalan - jalan sepi. Lampu - lampu kota terasa terlalu jauh.
Dan satu - satunya tempat yang menyediakan tempat untuknya sekarang adalah kantor, perusahaan Atmadja Holdings.
Hari Sabtu, gedung itu seharusnya sepi. Tapi ada jadwal piket. Beberapa lampu masih menyala di lantai bawah.
Rania masuk tanpa banyak bicara pada satpam. Berjalan cepat ke ruangannya.
Ruangan itu gelap. Sunyi. Ia duduk di kursinya, menyalakan lampu meja. Lalu diam. Tangannya menutup wajah. Air matanya jatuh tanpa henti.
Pintu ruangannya tiba - tiba berderit terbuka.
Rania tersentak. Air mata yang sejak tadi mengalir ia hapus sekenanya dengan punggung tangan. Tubuhnya menegang.
"S-siapa...?" katanya dengan suara tercekat, lalu terdiam begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
Askara.
Ia ada disana.
Tidak memakai jas. Hanya kemeja putih yang digulung sampai siku, celana bahan gelap yang jatuh rapi di pinggang, dan jam tangan mewah warna hitam di pergelangan. Rambutnya sedikit acak, seolah ia sudah lembur lama, tapi justru membuatnya terlihat tampan... dan menawan.
Rania tidak menyangka. Malam Minggu, kantor sepi, ia pikir tidak akan ada siapa - siapa. Dan ternyata... pria itu disini.
"Maaf..." Rania buru - buru memalingkan wajah, bangkit berdiri dari kursinya.
"Saya... saya cuma butuh tempat yang sepi. Maaf saya membawa drama ke kantor, tapi saya baik - baik saja."
Askara tidak langsung bicara. Ia menutup pintu dengan pelan, lalu berjalan ke arah Rania. Langkahnya tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Rania tak sanggup bergerak.
"Saya baik - baik saja," ulang Rania, seperti mantra.
"Tidak," suara Askara tenang, rendah. "Kamu tidak baik - baik saja."
Ia berdiri tepat di depannya sekarang. Jarak mereka hanya sejengkal. Aroma tubuhnya... maskulin, dingin, mahal... menghantam hidung Rania, membuat napasnya berantakan.
Rania berusaha mundur, tapi mentok ke kursi, lalu ia terduduk kembali.
Askara menunduk, berlutut di depan Rania. Ia mengangkat wajah Rania dengan jemari panjangnya. Tatapannya menembus, membuat dada Rania berdegup tak karuan.
"Aku muak melihatmu menangis sendiri." ucap Askara.
Lalu... jarak itu lenyap.
Bibirnya menyentuh bibir Rania.
Lembut sekali, seperti hembusan angin. Seperti ia takut Rania akan hancur jika disentuh terlalu keras.
Awalnya hanya satu kecupan, ringan. Tapi ada sesuatu di balik kecupan itu yang membuat jantung Rania berhenti sejenak... rasa hormat, rasa kagum, dan rasa terkejut bercampur baur.
Dan ciuman itu tak berhenti di sana.
Askara menahan wajah Rania dengan kedua telapak tangannya. Ia menarik napas di sela bibir mereka, lalu kembali mencium, kali ini lebih dalam. Perlahan, seolah menunggu izin. Tapi ketika Rania tak menjauh ia menenggelamkan semuanya.
Udara di ruangan seolah habis tersedot.
Wangi tubuh Askara memenuhi kepala Rania... maskulin, segar, mewah. Hangat napasnya, kerasnya dada yang menyentuh tubuhnya, semua bercampur menjadi satu.
Rania terperangkap.
Luluh.
Tangannya yang sejak tadi kaku di pangkuan akhirnya bergerak. Meraih bahu Askara. Meremasnya, seperti berpegangan pada satu - satunya tempat aman yang tersisa.
Ciuman mereka makin dalam.
Rania merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Lelaki ini terlalu tampan, terlalu berkuasa, terlalu wangi... dan terlalu nyata.
Ciuman ini terasa seperti mimpi yang seharusnya tidak ia alami.
Dan justru karena itu, ia tidak ingin berhenti.
Detik demi detik terasa panjang. Dunia di luar sudah hilang.
Yang tersisa hanya dentum jantung, napas yang berat, dan bibir Askara yang menuntut tapi penuh hormat.
Saat akhirnya mereka terpaksa berpisah, Rania kehabisan napas. Kening mereka masih menempel. Matanya buram, wajahnya panas.
"Pak... " Suaranya pecah
"Panggil Askara saja...," bisik Askara serak.
Askara menatapnya lekat - lekat. Ada sesuatu di tatapan itu... campuran marah, peduli, dan keinginan yang sudah terlalu lama ia tahan.
"Ran... " bisiknya, napasnya hangat di bibir Rania.
Rania ingin berkata hentikan. Tapi suara itu tak pernah keluar.
Karena Askara sudah kembali mencium. Kali ini bukan lembut. Kali ini penuh tuntutan.
Ciuman itu semakin dalam.
Awalnya Askara hanya berlutut, tapi pelan - pelan ia berdiri, menarik Rania bangkit bersamanya tanpa pernah melepas bibir.
Tubuh mereka saling menempel.
Langkah - langkah kecil Rania mundur, terpaksa mengikuti desakan tubuh Askara.
Sampai punggungnya menabrak dinding dingin ruangan.
Rania terperangah ketika udara dingin menempel di kulitnya, kontras dengan panas tubuh Askara. Lelaki itu menahan dinding dengan satu tangan di samping Rania, sementara tangan satunya memegang pinggangnya erat, membuatnya tak bisa kemana - mana.
"Ran..." napas Askara berat, deras di wajahnya, "aku... kehilangan akal kalau dekat denganmu."
Jawaban Rania hanyalah mencari bibirnya lagi.
Ia tak peduli lagi apa yang benar dan salah.
Askara membalas, dalam, berlapis perasaan. Bibir mereka bertaut, bergesek, kadang terputus karena mereka kehabisan napas lalu kembali saling mencari.
Punggung Rania menempel penuh ke dinding. Tangannya yang gemetar meraba bahu Askara, lalu naik ke tengkuknya, memegang rambutnya.
Ciuman itu bukan lagi sekadar pelarian. Ada sesuatu yang meledak di sana... amarah, kecewa, rasa ingin dimiliki.
Rania merasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini terlalu dekat, terlalu hangat. Aroma maskulin yang ia bawa membuat kepala Rania seolah melayang.
Askara menurunkan wajahnya ke leher Rania sebentar, menarik napas panjang seolah berusaha mengendalikan diri.
"Kalau aku teruskan, aku tidak akan bisa berhenti," bisiknya, suara seraknya bergetar di kulitnya.
"Jangan lepaskan aku malam ini..." jawab Rania lirih, nyaris seperti doa.
Ia menegakkan wajah Askara dengan kedua tangannya, dan kembali mencium.
Kali ini, mereka benar - benar hanyut. Tidak ada jarak, tidak ada jeda, hanya panas tubuh yang bersatu di antara dinginnya dinding kantor yang sunyi.
Dari luar, malam Minggu tetap hening. Tapi di ruangan itu, waktu... berhenti, dan dua hati yang selama ini terbakar diam - diam akhirnya meledak.
(Bersambung)...