Tari tiba-tiba jadi buronan debt collector setelah kekasihnya menghilang berbulan-bulan. Tari dipaksa melunasi utang Rp500 juta meski dirinya tak pernah mengajukan pinjaman sepeser pun.
Putus asa mendapat ancaman bertubi-tubi hingga ingin mengakhiri hidupnya sendiri, Tari mendadak dapat tawaran tak terduga dari Raka.
Pewaris keluarga konglomerat tersebut berjanji melunasi utang yang dibebankan kepada Tari jika gadis itu mau menjadi istrinya. Raka bahkan bersedia membantu Tari balas dendam pada sang kekasih.
Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sekarani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Boleh Selamanya?
"Kamu pawang hujan?"
Pupus sudah harapan Okta menjadi saksi adegan romantis yang tadinya dia pikir bakal terjadi antara Raka dan Tari. Okta sungguh tak habis pikir. Dari semua hal yang bisa dikatakan Raka untuk menanggapi ucapan Tari, kenapa bosnya ini pilih menyebut profesi keramat itu?
Walau demikian, apa yang lebih mengejutkan adalah cara Tari menanggapi Raka.
"Saya benar-benar belajar banyak hal seumur hidup saya. Jika memang itu yang dibutuhkan, apakah Anda bisa mencarikan mentor profesional untuk saya? Pawang hujan adalah pekerjaan yang mengagumkan, apalagi jika klien utama saya adalah Anda."
Mendengar kata-kata Tari, Okta diam-diam langsung berpikir keras. Adakah perguruan pawang hujan yang bisa menerima Tari sebagai murid baru mereka sekarang? Pada akhirnya, bukankah Okta juga yang bakal kerepotan mengurus segalanya?
"Kamu sungguh mau belajar jadi pawang hujan?" tanya Raka serius.
Tari menjawabnya dengan sebuah anggukan. Dia terlihat serius.
Raka berdecak pelan. Dia tersenyum sinis, tetapi hatinya terasa hangat melihat Tari yang tampak peduli padanya. Obrolan yang entah memang serius atau tidak ini, tanpa sadar juga membuat level kecemasan Raka mereda lebih cepat dari biasanya.
Namun, tubuh Raka kembali menegang saat gemuruh petir tiba-tiba terdengar. Tak lama setelahnya, hujan datang lagi.
Itu hanya hujan ringan, tidak sederas sebelumnya. Sialnya, mau bagaimanapun bentuknya, hujan tetaplah hujan. Raka benci.
Okta seketika panik melihat Raka yang langsung menunduk dengan tubuh gemetaran. Kenapa hujan harus turun saat mereka hampir sampai? Pintu gerbang kediaman keluarga Bhaskara sudah di depan mata, tetapi tetap butuh waktu 1-2 menit untuk sampai ke bangunan utama.
"Sebentar lagi sampai, Pak Raka. Maaf, mohon Pak Raka …"
Okta mendadak terdiam. Kali ini, sang sekretaris benar-benar melihat apa sebelumnya dia bayangkan.
Tari meraih kedua tangan Raka, kemudian menuntun suaminya menutup kedua telinganya sendiri.
"Suaranya mengganggu, 'kan? Jadi, jangan didengar," kata Tari pada sang suami.
Tari bertahan menggunakan tangannya untuk membantu Raka menutup indera pendengarannya.
"Jangan dilihat juga," ucap Tari sambil mengarahkan Raka agar hanya menatap lurus ke arahnya.
"Cukup dengarkan suara saya. Lihat saja mata saya. Paham?"
Seolah dihipnotis, Raka benar-benar mengikuti apa yang dikatakan Tari padanya. Dia memusatkan perhatiannya pada Tari seorang.
Hanya Tari yang ada di mata Raka. Hanya suara Tari yang harus dia dengar. Cukup istrinya saja, tak perlu ada yang lain.
"Entah payung, jas hujan, pawang hujan, atau apa pun itu, Anda boleh menganggap saya sebagai pelindung Anda."
Tari menggerakkan kedua ibu jarinya dengan posisi tangan yang masih menangkup jari-jari besar Raka. Tari memberikan elusan lembut yang secara magis terasa begitu menenangkan bagi Raka.
"Lain kali, kalau hujan tiba-tiba turun saat Anda bersama saya lagi, jangan langsung kabur seperti tadi."
Kata-kata itu membuat Raka tertegun. Tari juga memandangnya dengan tatapan teduh, membuat pria itu teringat kembali dengan apa yang pernah terjadi di antara mereka lebih dari 10 tahun lalu.
Selama aku masih hidup, Mas juga harus tetap hidup.
Napas yang tertahan akhirnya dilepaskan dalam embusan panjang. Raka merasa lega, tetapi sekaligus kecewa pada dirinya sendiri.
"Sekarang Anda percaya, 'kan? Perkara hujan yang menyebalkan ini, Anda benar-benar bisa mengandalkan saya."
Seutas senyum merekah di sudut bibir Tari saat menyaksikan Raka mulai bisa berusaha mengatur napas untuk menenangkan diri. Entah hanya terbawa suasana atau memang tulus berempati, Tari juga berkali-kali mengucap syukur dalam hati ketika menyadari bahwa hujan di luar sana telah berhenti.
"Sampai kapan?" Raka tiba-tiba bertanya dengan suara setengah berbisik.
Kening Tari berkerut, tanda dirinya tak mengerti maksud pertanyaan Raka.
"Sampai kapan saya boleh mengandalkan kamu? Selamanya …?"
tapi aku suka gaya penulisan authornya
5 like + /Rose/buatmu sebagai hadiah perkenalan.
semangat menulis terus ya
Terima kasih untuk dukungannya! Semoga suka dengan kisah yang disajikan /Smile/