Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Merawat Luka
Sambil menahan sakitnya, Anindya belum mampu bangkit dari posisinya. Sedangkan, sosok yang tadi mengaku dengan bangganya jika dirinya seorang dokter kini telah hilang entah kenapa seperti menggunakan jurus seribu bayangan.
“Sssh,” rintih Anindya yang menahan rasa kebas, panas, sakit, perih berpadu jadi satu di kedua kakinya.
Saat seperti ini, entah kemana perginya orang-orang rumah. Jangankan Arsatya, bahkan Sus Anti pun turut hilang, saat kejadian nampan terbang pun dia tidak ada dan baru Anindya sadari sekarang bahwa dia sendirian.
“Sus! Suster, tolong,” ucap Anindya yang gelisah menahan lara yang seakan menjalar ke bagian tubuh yang lainnya.
“Suster!” teriak Anindya walau tidak sekeras itu.
Namun, suaranya bak mampu mengembalikan nyawa Sus Anti yang sedang melayang di bawah alam bawah sadar supaya kembali ke raganya.
Wanita berusia akhir tiga puluhan itu terperanjak mendengar suara lirih sang nona, lantas dia datang tergopoh-gooh dari lantai atas, ia punlangsung menghampiri Anindya yang terlihat sedang gelisah di atas sofa.
Suster Anti terkejut dan merasa heran melihat keadaan lantai dasar begitu berantakan, banyak pecahan gelas berserakan, puing-puing nampan berbahan kaca, dan lantai yang basah oleh cairan berwarna cokelat pekat.
“Nona, apa yang baru saja terjadi? Maaf, saya ketiduran di kamar nona kembar,” ucap pengasuh itu cemas.
“Tidak papa, nanti tolong dibersihkan ya, Sus,” ujar Anindya yang tidak mau menjelaskan panjang lebar apa yang baru saja terjadi.
Lagi-lagi pengasuh itu dibuat terkejut saat sudah berada di dekat Anindya, “Ya Tuhan, Nona! Nona, apa yang terjadi? Kenapa dengan kaki Anda?” pekik Suster Anti saat mendapati kedua kaki Anindya melepuh dan terlihat mulai bengkak membiru.
Anindya menjawabnya dengan gelengan kepala, merasa tidak ada waktu untuk menjelaskan semuanya hanya memikirkan bagaimana caranya supaya rasa sakit itu bisa segera enyah dari kakinya, “Huft, ssshh. Tolong, ambilkan kotak obat, Sus,” kata Anindya seraya mendesis kesakitan.
Tidak lama kemudian, Sus Anti memberikan kotak obat dan Anindya mengobati lukanya sendiri dengan sesekali menghempaskaan punggungnya pada sandaran sofa.
“Sakit, ya, Non?”
“Perih, Sus,” jawab Anindya saat menempelkan obat merah di sekitar luka yang terbuka.
“Apa ini perbuatan Tuan, Nona? Saya sungguh minta maaf karena ketiduran, Ya Tuhan, Non, kenapa bisa sep–”
“Tidak, bukan. Ini salahku. Tadi ada tamu, aku bawa nampan sama teh panas, terus gitu deh. Keserimpet kaki sendiri,” jelas Anidnya secar asingkat supaya tidak ada salah paham.
“Terus Tuan dimana, Non? Tuan tahu tentang ini?”
Belum Anindya menjawab, tetapi ada suara lain yang menyauti.
“Sudah diobati?” suara Arsatya mengejutkan merera, entah kapan pria itu datang. Tiba-tiba pergi, tiba-tiba datang tanpa aba-aba.
Kedua wanita itu sama-sama terkesiap mendengar suara berat milik tuan rumah itu. “Eh, belum selesai,” jawab Anindya.
“Ayo,” ajak pria itu menyodorkan tangannya pada Anindya.
Tentu, bukan Anindya namanya jika tidak bertanya lebih dulu saat merasa ragu dengan apa yang akan dilakukannya, “Ke-kemana?” tanya wanita itu.
Jujur saja, Anindya bingung dengan ajakan Arsatya yang tidak jelas, ditambah ekspresi wajah yang tidak ramah sekaan tidak ada rasa simpatinya pada dia yang sedang menahan lara.
“Harus dibasuh dengan air supaya tidak semakin melepuh, ayo,” jelas Arsatya ada akhirnya.
Anindya paham. Sebagai seorang tenaga medis, dia pun sebenrnya tahu penanganan yang tepat jika terjadi luka bakar tidak terbuka yakni harus dialiri dengan air biasa selama kurang lebih dua puluh menit, tetapi keterbatasan gerak membuatnya pasrah saja pada keadaan sebelumnya.
Anindya hanya bisa mendesis saat langkah demi langkah dia paksakan untuk bisa sampai ke kamar mandi terdekat.
“Bisa jalan dengan benar, tidak?” kata Arsatya yang sedang menuntun langkahnya.
“Lihatlah sendiri, Mas Satya. Apa masih perlu aku jealskan bagaimana susahnya?” tapi jawaban itu hanya tertahan di hati.
Arsatya yang geram karena langkah kaki wanita itu terlalu lama karena patah-patah dan malah membuang-buang waktu saja, tanpa ba-bi-bu dia langsung menggendongnya seperti tadi. Keputusan yang tepat karena lebih efektif untuk sampai di kamar mandi.
“Mas, turunkan aku,” pinta Anindya, tetapi tidak digubrisnya.
Arsatya mendudukkan Anindya di atas closet, satu kakinya diletakkan di atas kursi kecil, sedangkan kaki yang lain di biarkan menyentuh lantai dan mulai dialirkan air dari shower.
“Pegang,” kata Arsatya memerintahkan shower itu supaya terus diarahakan ke kakinya yang melepuh.
Sedangkan, kini pria itu berlutut dan meminta kotak obat yang dibawa Sus Anti di belakangnya. Pria itu meletakkan kaki Anindya di atas paha kanannya dan merawat luka terbuka di tumit dan daerah mata kaki wanita itu.
“Auh, auh. Sakit, Mas,” keluh Anindya setelah sejak tadi menahan rasa sakit saat Arsatya mengoleskan cairan berwana kuning yang tidak lain cairan antiseptik.
“Sedikit, tahan sebentar,” ujarnya tanpa menghentikan apa yang sedang dilakukan, hanya saja kali ini gerakannya lebih pelan dan hati-hati saat membungkus telapak kaki Anindya setelah diobati.
Anindya yang merasa relaks saat melihat suaminya yang telaten merawat luka dengan terampil pada step by step-nya. Sungguh, di mata Anindya inilah yang dia suka dari seorang dokter. Saat mereka terlihat sangat fokus merawat luka pasiennya, terlebih lagi jika dokternya….
“Tampan,” bibirnya berucap tanpa sengaja sesuai apa yang sedang terucap di dalam hatinya.
Arsatya mendongak, menatap Anindya dengan alis mata yang nyaris menyatu.
“Apa?”
“Hah? Nampan! Itu tadi sepertinya terkena puing-puing nampan kaca yang pecah,” ucap Anindya menunjuk pada lukanya, padahal sedang berkilah.
Tidak lagi mendebat, tetapi melihat Anindya yang bersikap gugup karena kedapatan tengah memperhatikan nya menjadi momen lucu tersendiri bagi Arsatya sampai membuat bibir pria itu terangkat seketika.
Senyumnya samar, nyaris tidak terlihat di bibir tipisnya jika dilihat dengan mata biasa, kecuali jika menggunakan mata batin mungkin dapat dilihat karena sama halnya tak kasat mata dan hanya orang-orang tertentu saja.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano