Lihat, dia kayak hantu!"
"iya dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."
"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."
"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"
"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.
Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.
Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widya saputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Dalang
Dini hari, api berhasil dipadamkan oleh pemadam meski beberapa ruangan rusak berat. Anak-anak berhasil diselamatkan, tapi ketakutan masih tergambar jelas di wajah mereka.
Ayla duduk di halaman, tubuhnya lelah, rambutnya berantakan, matanya sembab. Arman memeluknya erat.
"Kau sudah berjuang sekuat tenaga, Ayla. Rumah ini masih berdiri karena kau." Kata Arman menenangkan Ayla
Ayla menatap ke arah Rumah Harapan yang hangus sebagian.
“Tidak… ini baru permulaan. Mereka ingin menghancurkan bukan hanya rumah ini, tapi juga harapan kita semua. Dan aku tidak akan biarkan itu terjadi.” Lirih Ayla
Rani dan Nina bergabung, sama-sama duduk di sampingnya. Mereka saling menggenggam tangan, tiga sahabat yang pernah terluka, kini bersatu melawan ancaman baru.
Sementara itu, di sebuah ruangan gelap entah di mana, seorang pria misterius duduk di kursi besar, menatap layar yang menayangkan berita tentang serangan Rumah Harapan.
Ia tersenyum tipis sambil menyesap rokok.
"Kau pikir bisa melawan aku, Ayla? Ini baru babak pertama. Permainan baru saja dimulai.”
Inisial “J” kembali terngiang di kepala semua orang yang terlibat.
****
Pagi itu, sisa-sisa asap kebakaran masih mengepul dari dinding gosong di bagian belakang Rumah Harapan. Bau arang bercampur dengan hujan semalam menyisakan suasana muram.
Ayla berdiri di halaman bersama Rani dan Nina. Mereka menyaksikan anak-anak berbaris rapi, hendak diperiksa kesehatannya oleh tim medis. Beberapa anak terlihat pucat, ada yang menangis setiap kali mendengar suara keras, bahkan ada yang menolak masuk ke kamar karena takut terjebak dalam api lagi.
Anak kecil berumur 7 tahun menangis
“Kak… aku takut tidur di kamar. Kalau mereka datang lagi, gimana?”
"Kamu tidak sendiri. Kami akan jagain kamu, Nak. Rumah Harapan ini milik kita semua, dan kita akan melindunginya.” Nina menggenggam tangan anak kecil itu
Ayla menoleh pada Arman yang sedang berbicara dengan Kapten Bayu. Hatinya hancur melihat anak-anak yang seharusnya hanya tahu bermain, kini hidup dalam ketakutan.
Di kantor polisi, Kapten Bayu menunjukkan hasil investigasi terbaru.
"Kami sudah memeriksa penyerang yang tertangkap. Mereka orang bayaran. Rantai perintahnya putus di atas mereka. Namun satu nama yang sempat muncul yaitu Joseph
Nama itu membuat Ayla bergidik.
"Joseph… siapa dia?”
Kapten Bayu menyalakan layar, menampilkan foto pria paruh baya berjas hitam dengan senyum licik.
"Dia mantan rekan bisnis Darmawangsa. Saat Darmawangsa jatuh, dia menghilang, tapi rupanya diam-diam membangun jaringan baru. Dia yang menamai dirinya Mr.J."
Arman mengepalkan tangan.
"Jadi semua teror ini… untuk melanjutkan warisan kotor Darmawangsa?”
"Lebih dari itu. Joseph ingin mengambil alih segalanya, termasuk menghancurkan simbol yang membongkar rahasia mereka yaitu Rumah Harapan.”
Sementara penyelidikan berjalan, Ayla memimpin upaya memulihkan Rumah Harapan. Mereka bekerja bahu-membahu bersama warga sekitar, membangun kembali ruangan yang terbakar, memperbaiki jendela, dan membersihkan abu.
Namun luka batin anak-anak lebih sulit disembuhkan daripada dinding yang rusak. Banyak anak mengalami trauma. Ada yang terbangun di malam hari karena mimpi buruk, ada yang bersembunyi di bawah ranjang ketika mendengar suara pintu dibuka.
Ayla mengadakan sesi khusus bersama seorang psikolog anak.
"Anak-anak ini butuh lebih dari sekadar tempat tinggal. Mereka butuh rasa aman kembali. Dan itu hanya bisa hadir jika orang-orang terdekat mereka terus menunjukkan kasih sayang yang konsisten.”
Maka setiap malam, Ayla, Rani, dan Nina bergiliran mendongeng untuk anak-anak sebelum tidur. Mereka bercerita tentang pahlawan, tentang cahaya yang selalu menang melawan kegelapan. Sedikit demi sedikit, tawa anak-anak mulai terdengar lagi, meski sesekali masih diselingi isak tangis.
Di sela-sela pemulihan, Rani semakin terseret ke dalam trauma lamanya. Ia melihat bayangan masa kecilnya sendiri di wajah anak-anak itu.
Suatu malam, ia duduk sendirian di halaman sambil menangis. Ayla menghampirinya.
"Rani… kenapa kau tidak bilang?” Tanya Ayla
"ku pikir aku sudah kuat… tapi melihat mereka ketakutan begitu, aku kembali seperti dulu. Seolah-olah aku anak kecil lagi, sendirian di ruangan gelap.” Kata Rani terisak
Ayla memeluk Rani erat.
"Kita sudah melewati semua itu bersama. Kita tidak sendirian lagi. Dan sekarang, kita harus kuat… untuk mereka.”
Pelukan itu menjadi pengingat bahwa mereka bertiga tidak hanya sahabat, tapi juga keluarga yang saling menopang.
Sementara itu, Arman dan polisi bergerak cepat. Jejak transaksi keuangan yang mencurigakan membawa mereka pada gudang di pinggiran Jakarta. Gudang itu digunakan sebagai tempat persembunyian senjata dan dokumen.
Dalam penggerebekan, polisi menemukan laptop berisi data penting alur dana, jaringan orang suruhan, hingga rencana serangan berikutnya.
"Ini bukti kuat. Tapi Joseph bukan orang sembarangan. Dia licin. Kita harus bergerak sebelum dia lenyap lagi.”
Arman menatap data itu dengan wajah tegas.
"Kita tidak bisa hanya menunggu. Kalau Joseph berhasil kabur, ancaman ini tidak akan pernah berakhir.”
Di Rumah Harapan, malam terasa lebih tenang setelah pasukan polisi berjaga di luar. setalah memastikan anak-anak sudah tidur semua. Ayla duduk di ruang tengah, memandangi foto anak-anak yang mereka pajang di dinding.
Arman menghampirinya dengan secangkir teh hangat.
"Kau terlalu keras pada dirimu sendiri sayang.”
"Aku hanya takut… takut anak-anak ini kehilangan harapan lagi. Setiap kali mereka menangis, rasanya aku gagal menjaga mereka."Kata Ayla pelan
"Tidak. Justru karena kau, mereka masih bisa tersenyum. Kau cahaya bagi mereka dan bagiku.”
Ayla terdiam, menunduk. Jantungnya berdegup cepat. Kata-kata Arman selalu menjadi penguat di tengah badai.
Di tempat lain, Joseph duduk di ruang kantor mewahnya, menatap berita tentang penggerebekan gudangnya di televisi. Alih-alih panik, ia justru tersenyum.
"Kalian memang pintar, tapi belum cukup. Aku sudah menyiapkan langkah berikutnya. Dan kali ini kalian akan tahu rasanya kehilangan segalanya."
Ia menutup televisi, lalu menatap peta besar Jakarta yang penuh dengan tanda merah. Entah apa arti dari tanda merah itu
Badai yang lebih besar sedang menunggu.
Bersambung...
kok teror melulu sich 🤦
maaf y thooor 🙏